Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menelusuri Jejak Mochtar Apin

Pameran yang menampilkan beragam karya Mochtar Apin, dari lukisan nude, optik, hingga grafis. Ia seorang pengarsip ulung.

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUPA Mochtar Apin seakan-akan "hidup" kembali di Galeri Edwin, Jakarta Selatan. Sampai 26 Oktober 2013, dipamerkan karya seni dan sebagian benda milik perupa yang wafat di usia 71 tahun pada 1994 itu. "Mama tadi seneng banget lihat ranjang Papa di situ," ujar Karina, anak sulung Mochtar Apin, yang datang bersama ibu dan adiknya, Marella, saat pembukaan pameran, dua pekan lalu.

Dalam pameran bertajuk Archiving Apin itu, tempat tidur sang seniman memang ikut ditampilkan, persis diletakkan di belakang pintu masuk galeri. Ranjang dengan kasur berseprai putih itu lengkap dengan dua bantal dan gulingnya. Di sampingnya terdapat sejumlah buku dan pernak-pernik milik Apin. Lalu, tak jauh dari ranjang itu, teronggok mesin tik kuno dan pemutar piringan hitam merek Technic.

Boleh dibilang, Archiving Apin merupakan pameran karya (lukisan, sketsa, dan grafis), dokumentasi, arsip, dan benda peninggalan Mochtar Apin. "Ayah saya pengarsip ulung. Setiap katalog pameran yang dia lihat saja disimpannya semua. Lukisan-lukisannya pun sudah difoto semua," kata Marella.

Pameran di Galeri Edwin itu merupakan bagian dari rangkaian pameran besar perjalanan kesenimanan Mochtar Apin yang digelar di tiga tempat berbeda: Edwin Gallery, Museum Nasional University of Singapore, dan Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung. Rencananya rangkaian pameran akan ditutup di Selasar Sunaryo pada akhir tahun ini atau Januari 2014.

Menurut Marella, rangkaian pameran itu disiapkan cukup lama, sekitar lima tahun. Di Galeri Soemardja, ada sekitar 20 karya Apin yang dipamerkan. Paling banyak berupa grafis dengan teknik cukil kayu berwarna hitam-putih seukuran kertas buku. Selain itu, ada karya drawing, poster pameran, arsip katalog, dokumentasi foto, guntingan koran berbahasa Belanda dan Indonesia tentang Apin, serta majalah Gema Suasana yang digarap Apin bersama Chairil Anwar.

Menurut Direktur Galeri Soemardja, Aminudin T.H. Siregar, di ITB, Apin adalah salah satu guru besar dan perintis jurusan seni rupa. Saat mendirikan studio seni grafis pada 1964, Apin lewat kenalannya mendatangkan mesin cetak dari Australia. Dia berusaha mengembangkan seni grafis yang saat itu kurang dihargai orang. Dalam setiap pamerannya, Apin selalu menyertakan lukisan dengan karya grafis. Dengan beragam gaya lukisan dan karya, kekaryaan Apin seperti meloncat-loncat. Sebagian orang ada yang mengatakan ia tak punya jati diri. "Itu karena ketidakpuasan Apin dan menjadi salah satu ciri khas seni modern," ucap Aminudin.

Ragam karya Apin—lukisan, sketsa, dan grafis—yang dibuat sepanjang 1940-1990 itu dapat disaksikan di Galeri Edwin. Beragam aliran dan gaya lukisan Apin dari gambar motif batik, lukisan abstrak, realis, kubisme, figuratif, optik, sampai gambar model. Tak mengherankan jika kemudian lukisan Mochtar Apin seperti tak beraliran khusus. "Bapak memang menggambar segalanya, sesuka dia. Dia baca buku tentang seni dan filosofi banyak bahasa," ujar Sien, janda mendiang Mochtar Apin.

Karya yang dibuat pada 1950-an dan 1960-an cenderung bergaya abstrak. Ambil contoh lukisan berjudul Pasir Putih dan Pemandangan. Tapi, tahun-tahun berikutnya, Apin melukis sangat realis atau kadang-kadang naturalis. Lepas dari aliran seni rupa, ia seperti bereksperimen dengan warna. Lihat saja kombinasi warna-warna yang ditabrakkan satu sama lain pada beberapa lukisannya, seperti Dinding Hijau dan Biru Kuning Terpotong. "Waktu itu memang Bapak terinspirasi warna," kata Sien. Menurut dia, warna yang ditorehkan suaminya di kanvas bukan warna sembarangan. Ketika, misalnya, kuning atau merah berdampingan dengan biru atau merah muda, itu dipertimbangkan betul.

Apin juga banyak melukis perempuan telanjang. Salah satu yang menarik yang dipamerkan di Galeri Edwin adalah Bahagia Ibu. Lukisan akrilik di atas kanvas ukuran 73 x 60 sentimeter itu dibuat pada 1992. Dalam lukisan itu, seorang ibu muda tanpa busana tampak begitu sumringah menggendong bayinya. Menurut Sien, untuk melukisnya, Apin menggunakan model. "Ada modelnya sendiri, bukan saya," ucapnya.

Sebenarnya, menurut Sien, Apin telah lama menggarap lukisan nude. Pada 1950-an, misalnya, ada lukisan berjudul Nude (1952) garapan Apin saat ia bersekolah di Belanda, yang dikoleksi Claire Holt. Di kanvas berwarna ukuran 60 x 80 cm tersebut, tampak seorang perempuan bugil berambut panjang dengan pose duduk seperti sedang merenung dengan kaki kanan terlipat ke dalam. Pada lukisan lain dan seterusnya, gaya lukisan model telanjang Apin bisa bercorak kubisme.

Untuk mendapatkan perempuan sebagai modelnya, kata Sien, Apin tak selalu menemui kemudahan. Ketika ia bersekolah keliling beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan Prancis, pada 1951-1957 pun melukis nude merupakan hal yang tabu. "Tidak gampang mencari model yang dibayar. Melukisnya pun harus di dalam kampus," ujar Sien. Begitu pula sekembali Apin ke Bandung pada 1958. Model perempuannya pertama dari Yogyakarta, ada juga yang dari Indramayu, lalu dari kota tempat tinggalnya sendiri.

Seluruh pengerjaan lukisan nude itu dilakukan di studio rumah Apin. Di studio, model itu disketsa dulu atau difoto. Apin mencuci filmnya sendiri di kamar gelap. Sien mengaku tidak marah atau cemburu kepada para model yang datang ke rumahnya karena mereka bagian dari proses berkesenian Apin. Suaminya tidak pernah menjadikan Sien sebagai model demi menjaga privasi. Beberapa model bahkan sampai ada yang harus menginap, karena pengerjaan biasanya lebih dari sehari. "Mereka jadi dekat dengan kami, seperti keluarga. Sampai sekarang kami masih berhubungan baik," katanya.

Selain dicari, beberapa calon model ada yang sengaja datang ke rumah untuk dilukis. Namun Apin tak langsung sepakat. Ada semacam tes wawancara terhadap para wanita itu sehingga ada yang ditolak. Apin mencari kejujuran dari setiap modelnya. Dia ingin hati para model itu yang berpose dengan tubuhnya, bukan pose paksaan. "Lukisan nude itu buat Papi merupakan lambang kejujuran," katanya.

Arleti, 50 tahun, anak kedua Mochtar Apin, mengenang proses kreatif sang ayah. Setiap hari Apin bangun pukul 4 pagi. Setelah menghirup secangkir kopi hitam Java coffee kesukaannya dan membawa sepotong kue, ia naik ke lantai atas. Di ruangan studionya itu, Apin melukis, membuat sketsa, atau menulis. Batang-batang rokok tak lagi menemani perokok berat itu sejak napasnya sesak pada 1980-an.

Sekitar pukul 9, Apin turun untuk mandi, lalu sarapan. Kebiasaan itu rutin dilakukannya setelah pensiun mengajar di ITB pada 1990. Sebelum pensiun, Apin sering lupa ke kampus. "Mahasiswanya suka ke sini, tanya ujiannya bagaimana," ucap Arleti. Setelah tersadar, Apin tertawa dan lalu berangkat ke ITB. Menurut Arleti, Apin ingin cepat-cepat pensiun supaya bisa punya banyak waktu berkarya.

Bagi Apin, cara kerja seniman tak bisa mengandalkan mood dan menunggu gagasan. Di studionya, keluarga terbiasa melihat dua kanvas, bahkan lebih, yang sedang dilukis Apin. Satu kanvas bisa abstrak, kanvas yang lain bisa lukisan telanjang. Jika pada satu karya ia merasakan kebuntuan, lukisan itu disimpannya untuk diselesaikan kemudian. Pada 1966, Sien ingat ada satu lukisan yang membuat dia terkesan, karena karya itu lama dibereskan Apin. Setelah jadi dan diberi judul Manusia Burung, karya itu dibeli salah seorang pelanggan setianya di Surabaya, Oei Boen Po, yang kini sudah wafat.

Ada pula yang lupa atau terlewat ditamatkan, seperti dua lukisan nude seukuran kaca mobil yang kini dipajang di lantai atas rumahnya di Jalan Taman Sari, Bandung. Lukisan pada 1970-an itu masih seperti sketsa berwarna pastel. Modelnya seorang perempuan dari Yogyakarta.

Menurut Arleti, karya Apin banyak yang disimpan keluarga. Secara berkala, karya-karya itu diputar ke rumah anak-anaknya. Semua karya itu harus dipajang. Sebab, semasa hidupnya, Apin sangat membenci pembeli yang hanya menyimpan karyanya sebagai investasi. Ia bahkan pernah membeli kembali tiga lukisannya sendiri gara-gara tahu karyanya hanya disimpan di gudang.

Lain waktu, Apin pernah membatalkan transaksi karya instalasi flexi glass setelah tahu pembelinya akan menempatkan karyanya itu untuk pajangan di klub malam. Setelah tamunya pulang, Apin misuh-misuh. Dia berkuasa penuh soal karya dan penjualannya. Tak satu pun anggota keluarga yang tahu berapa harga yang ditetapkan Apin untuk sebuah karyanya. Arleti ingat, sebelum melepas karyanya, sang ayah harus tahu latar belakang, minat, dan penempatan karyanya setelah dibeli. Betapapun demikian, Apin suka memberikan cuma-cuma karyanya kepada orang yang disukai. "Bukan hanya kolega di kampus ITB, melainkan juga pemilik toko hingga orang tak dikenal," ucap Arleti.

Nurdin Kalim, Dian Yuliastuti (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus