Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman, Penangkapan Pangeran Diponegoro dan Harimau Minum, berubah jadi "kinclong". Warnanya tak lagi kekuningan dan suram, tapi lebih cemerlang. Langit biru di atas dua gunung di kejauhan, pilar-pilar gedung dan celana para petinggi Belanda yang putih bersih, detail batik lukisan perempuan yang bersimpuh, dan motif baju petinggi Belanda juga keluar.
"Saya pangling, jadi bagus sekali," ujar Wahyuni Saptantinah, Kepala Biro Pengelolaan Istana-Sekretariat Presiden, yang sehari-hari mengurusi lukisan dan benda seni di lingkungan Istana Negara. Restorasi itu hasil garapan Susanne Enhards, ahli restorasi dari perusahaan restorasi Gruppe-Koeln. Goethe Institut dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo membantu mendatangkan ahli tersebut.
Susanne sejak awal Agustus hingga menjelang akhir bulan lalu secara maraton membersihkan lukisan di Museum Istana Bogor. Tiap hari ia bekerja mulai pukul 08.00 sampai sore. Dalam tiga minggu terakhir dia ngebut hingga kerja sampai pukul 21.00. Jam makan siang pun sering dilewatkan. Ia membawa bekal sandwich. N. Arya Subamia, yang mendampingi Susanne, melihat restorator ini memulai melakukan kerja dengan menyapa lukisan tersebut: "Hai, Dipo, apa kabar hari ini? Mudah-mudahan kamu tidak melakukan sesuatu yang membuat saya susah."
Setelah itu, dia akan mengenakan "baju dinas"-nya: pakaian putih seperti dokter dengan kacamata plus kaca pembesar, senter, dan sebuah kayu seperti batang lidi dengan kapas basah oleh cairan kimia. Lalu dia akan tenggelam dalam keasyikan membersihkan lukisan. Perempuan yang meraih gelar diploma restorasi dari Fachhochschule Köln atau Universitas untuk Ilmu Terapan Koln ini mengatakan ia tak terlalu kaget melihat betapa "kotor"-nya kedua karya itu.
Sebelum menjamah "Dipo" dan "Harimau", Susanne menelusuri sejarah kedua lukisan dan pelukisnya. Dia meminta Direktur Goethe Institut Indonesia Franz Xaver Augustin mengirim sekeping kecil kanvas kedua lukisan tersebut untuk diteliti sebagai sampel di laboratorium. Dari sana dia tahu sejarah kanvas, pernis, cat, dan bahan zat kimia yang dipakai Raden Saleh. Menurut hasil laboratorium, Raden Saleh menggunakan resin damar dan tidak berwarna.
Menurut dia, lukisan Raden Saleh tersebut tidak rusak. Hanya pada lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, yang dibuat pada 1857, terlihat pernis yang tebal dan kuning di hampir seluruh lukisan. Bahkan di beberapa bagian terlihat pernis putih seperti susu. Akibat pernis, jamur, dan kotoran yang tebal itu, lukisan ini kehilangan kecemerlangannya dan berubah warna.
Tak mudah merestorasi dua lukisan yang sudah ratusan tahun ini. Kondisi lukisan di bagian pinggir tidak stabil. Karena itu, sebelum melakukan pembersihan, dia mencoba menstabilkan bagian pinggir terutama di kerangka. Setelah bagian itu stabil, dia menambahkan poliester pada kerangka asli. Maka kanvas menjadi kencang. Poliester pabrik dipilih karena tidak mengubah warna pada lukisan. Selain itu, poliester bisa tahan cuaca, jamur, dan serangga. "Ini bahan anorganik, serangga tidak tertarik dan mampu bertahan tahunan," ujar Susanne.
Langkah berikutnya, dia mulai membersihkan kotoran di lukisan yang meÂngandung lebih banyak warna putih. Dengan pengalaman puluhan tahun melakukan restorasi, dia menghindari mengawali restorasi pada bagian yang berwarna cokelat, hijau, dan biru. "Warna-warna ini sangat sensitif," ujarnya. Warna putih, menurut dia, lebih stabil dan tidak terlalu sensitif. Untuk lukisan Penangkapan Diponegoro dari lapisan warna yang stabil, yakni dari bagian latar belakang yang terang. Ia tidak memulai dari bagian putih celana para petinggi Belanda karena lapisan warnanya tipis.
Selangkah demi selangkah kemudian dia mulai menguliti kotoran yang menempel di sekujur kanvas Penangkapan Diponegoro. Susanne mengaku, semakin jauh dia melangkah, dia melihat keunikan lukisan Raden Saleh ini. Lukisannya sangat detail, punya dimensi warna dan lapisan lukisannya. Pada Penangkapan Diponegoro itu detail lukisan terlihat pada pola batik gambar perempuan yang bersimpuh, motif baju, atau wajah, mata, dan rambut petinggi Belanda.
Perempuan yang juga pernah merestorasi lukisan pelukis kondang Van Gogh ini terkesan oleh teknik melukis Raden Saleh. Dia melihat Raden Saleh sering melukis dengan berbagai lapisan warna untuk mendapatkan satu warna yang diinginkan. "Teknik lukisan dan warnanya bukan tipikal teknik pada zamannya," ujar Susanne. Hal yang sama dilihatnya pada lukisan Harimau Minum, yang dibuat pada 1863. Semula lukisan ini juga buram kekuningan dan bahkan terlihat sangat gelap. Kontras-kontras warna pada lukisan itu tidak muncul. Dengan teknik yang sama, dia melepaskan kotoran dan jamur pada lukisan itu. Hasilnya, langit pada lukisan tersebut terlihat cerah dan jelas.
Tahap berikutnya setelah kotoran dibersihkan adalah memperbaiki kerusakan pada cat serta memberi lapisan pelindung debu dan jamur sekaligus memberi warna mengkilat pada lukisan. Untuk itu, sebagaimana Raden Saleh zaman dahulu, dia menggunakan larutan damar juga. Hal itu dilakukan seminggu setelah proses pengeringan.
Susanne mengatakan ia sering bolak-balik Jakarta-Bogor untuk mendapatkan berbagai keperluan merestorasi. Perempuan ini bahkan tak jarang menumpang kereta komuter meskipun ada mobil yang mengantar. Sebagai hiburan, bila jenuh, sesekali dia ke luar ruangan museum di kompleks Istana Bogor dan berjalan melihat-lihat sekitar. Meski pernah kesasar atau salah naik angkot, ia tak kapok. Sebagai senjata untuk bisa balik ke Istana Bogor, dia membuat peta sederhana. Karena tinggal lebih dari dua bulan, dia juga belajar bahasa Indonesia. Apa kalimat yang dihafalnya? "Tidak listrik, tidak lampu?" ujarnya sambil tertawa, ketika dia mengingat kejadian mati listrik saat tengah bekerja.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo