IA selalu menulis namanya dengan lengkap: Mayor Jenderal TNI
Purnawirawan Profesor Dr. Moestopo, Os.Orth.Opdent.Prosth.
Pedo/D.H.Ed. Biol.Panc. Gelar di depan namanya sudah umum
diketahui. Dengan gelar-gelar di belakang itu berarti ia ahli
dalam ilmu bedah rahang mulut, ahli perawatan gigi, ahli
pengawetan gigi. Selanjumya juga ahli kesehatan gigi masyarakat,
ahli gigi palsu, dan ahli dalam biologi.
Panc ternyata dari kata Pancasila. Dalam hubungan ini Moestopo
mengaku sebagai Bapak Pengamal Pancasila. Tapi ia tak pernah
menjelaskan gelar yang berderet itu diperolehnya dari perguruan
tinggi mana. Tapi gelar profesor ia peroleh dari Universitas
Padjadjaran Bandung.
Prof. Moestopo 70 tahun, yang kini lebih banyak menetap di
Bandung, agaknya memang suka berpanjang-panjang. Kalau menulis
surat atau biografi, di akhir tulisan ia selalu mencantumkan
kalimat pujian kepada Tuhan berbagai agama: Dominus Vobis cum,
Maranatha Immanuel La Takhaf Wala Takhzan Innallaha Ma ana,
Namong Sang Hyang Adi Budhaya, Oom SDasty Astu, Tuhan Beserta
Kita.
Di kompleks rumahnya di Jl. Juanda, Bandung, di atas tanah
seluas 3.800 m2 ia juga membangun berbagai rumah peribadatan.
Masjid, vihara, pura dan gereja. "Itu menunjukkan sila
Ketuhanan YME mencerminkan kerukunan agama," katanya. "Rumah
ibadat itu dibangun untuk mempersiapkan kader-kader bangsa
yang taat beribadat."
Di sudut utara kompleks rumah itu ada bangunan dengan simbol
berbentuk perisai segi lima. Terpampang tulisan: world peace
movement based upon trust in the one almighty god. Ada
terjemahannya: Pusat Perdamaian Dunia Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Moestopo mendirikan lembaga ini tahun 1964. "Saya
memimpikan sebuah dunia yang damai," katanya tentang tujuan
lembaga itu. "Saya berusaha menginsyafkan manusia untuk selalu
ingat kepada Tuhan, sebab hanya Tuhan yang bisa menciptakan
perdamaian dunia," lanjutnya.
Cara yang ditempuh Pusat Perdamaian Dunia ini berupa imbauan
yang dikirimkan dengan telegram. Sudah banyak pemimpin dunia
yang menerima telegram imbauan yang ditanda tanani dokter gigi
ini. Di antaranya Almarhum, Leonid Brezhnev, Paus Paulus II,
Jimmy Carter, Ronald Reagan, Menachem Begin, Margaret Thatcher,
Presiden Argentina, pemimpin Iran dan Irak. Setiap ada masalah
yang bisa menimbulkan ketegangan atau meredakan ketegangan,
Prof. Moestopo mengirimkan telegram kepada tokoh-tokoh yang
terlibat.
Di dalam negeri, imbauan rutin kepada lembaga-lembaga keagamaan
juga dikirim lewat telegram. Selama ini sudah lebih dari
Rp 39 juta dihabiskan untuk telegram itu, semuanya dari kantung
pribadi Moestopo. "Setiap bulan saya menghabiskan biaya untuk
surat dan telegram lebih dari Rp 100.000. Itu diambil dari honor
mengajar di beberapa perguruan tinggi," katanya. Menulis surat
dan telegram yang mengatasnamakan Pusat Perdamaian Dunia ia
lakukan sendiri. Sedang urusan administrasi, termasuk
mendokumentasikan, dilakukan anaknya, Muslich.
Imbauan perdamaian itu umumnya ditanggapi positif. Terbukti ada
buku yang berisi koleksi jawaban telegram yang diterbitkan
Moestopo. Untuk tingkat kepala negara, yang membalas biasanya
Duta Besar negara bersangkutan di Jakarta, atau pejabat negara
bersangkutan yang berwenang.
Prof. Moestopo yang lahir di Ngadiluwih, Kediri, 13 Juni 1913,
memang dikenal sebagai orang yang aktif. "Seolah-olah dalam
dirinya ada suatu kekuatan luar biasa yang selalu memompakan
semangat kerja, sehingga sepak terjangnya kadang membingungkan,"
komentar Dr. Ruslan Abdulgani, kawan seperjuangannya.
Yang pasti sejak kecil ia memang sudah senang menyibukkan diri.
Ketika masih di HIS di Kediri - ikut pamannya, seorang asisten
wedana - Moestopo tak betah di rumah. Pagi bersekolah, sore hari
sekolah di sebuah madrasah. Di sela-sela dua waktu sekolah itu,
Moestopo keluyuran. Ternyata ia mengembalakan kambing dan menanam
sayur-mayur.
Di kelas VI HIS bahkan ia menjadi pelayan rumah makan tanpa
setahu pamannya. Hari Rabu minggu terakhir setiap bulan, ia minta
izin tak bersekolah. Ia mencari uang dengan cara menjadi juru
tulis di pasar ternak.
Kebiasan keluyuran ini dibawanya sampai Mulo (SMP) dan HIK
(Sekolah Guru). Bahkan ketika ia menjadi mahasiswa sekolah
dokter gigi di Surabaya, sambil berkeluyuran mengitari kota,
ia mendorong gerobak berisi beras dan kebutuhan sehari-hari
- sebagai pedagang keliling.
Lulus tahun 1973 di Stovit (School tot opleiding van Indische
Tand Artsen) Surabaya, ia membantu praktek gigi Prof. Dr. M.
Knap. Kesempatan mengembangkan keahliannya terbuka ketika Knap
dipanggil oleh Milisi Belanda. Ia juga menggantikan kedudukan
dokter Belanda itu sebagai wakil direktur Stovit (1941). Di saat
pendudukan Jepang ia ikut Peta dan selama 120 hari mengikuti
latihan di Bogor: sejak inilah dokter gigi ini aktif sebagai
militer. Sejarah kemudian mencatat perjuangan Moestopo menjelang
pertempuran 10 November di Surabaya yang terkenal itu.
Berbagai jabatan dipangkunya sejak kemerdekaan diproklamasikan,
dalam karirnya sebagai militer maupun sebagai dokter gigi.
Jabatan-jabatan penting itu membuat Moestopo dekat dengan Bung
Karno. Tetapi ia pernah hampir menantang Bung Karno. Ketika itu,
16 Oktober 1952 sore hari, Moestopo yang sedang praktek di
Jakaru didatangi Pamoerahardjo yang pernah menjadi ajudan Bung
Karno di masa revolusi fisik. Moestopo minta Pamoerahardjo turut
menggerakkan demonstrasi membubarkan parlemen. Orang ini setuju,
asal diperintahkan Bung Karno.
Keduanya lantas menemui Bung Karno di Istana Merdeka. Di sini
Moestopo membeberkan akan ada demonstrasi rakyat esok hari yang
akan dipimpinnya sendiri. Bung Karno diam sejenak. Tapi kemudian
memerintahkan supaya demonstrasi dibatalkan. Moestopo yang waktu
itu berpangkat Kolonel menangis. "Ia memikul dua perintah, yang
satu memimpin demonstrasi membubarkan pirlemen, satunya
membatalkan demonstrasi yang justru ahn ia pimpin. Pak Moes
akhirnya memutuskan untuk menaati perintah Bung Karno," tulis
Pamoerahardjo dalam artikelnya Kenangan Saya Dengan Bung Karno
yang terhimpun dalam buku Solichin Salam, Bung Karno Dalam Kenangan.
Namun demonstrasi rakyat 17 Oktober 1952 tetap tercatat dalam
sejarah. Tidak ditujukan kepada Bung Karno dengan parlemen yang
dibentuknya, tapi diubah Moestopo menjadi demonstrasi untuk
mendukung kebijaksanaan Bung Karno. Presiden yang dielu-elukan
itu tampil membakar semangat demonstran untuk merebut Irian
Barat.
Masih di tahun 1952 itu, Moestopo mendirikan "Moestopo Dental
College" di Kebayoran Baru. Ratusan tukang gigi menjadi
muridnya. Uang sekolah perguruan itu ditabungnya. Tahun 1960 ia
membeli sebidang tanah dan setahun kemudian berdirilah
Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama (UPDMB) - dengan sebuah
fakultas, yaitu Kedokteran Gigi.
Kini setelah 22 tahun, UPDMB sudah punya kampus megah. "Itu
semua dibangun dengan uang kuliah mahasiswa," kata guru besar
FKG Universitas Padiadjaran itu.
Mahasiswanya sekarang lebih dari 2.000 orang dan punya 4
Fakultas: kedokteran gigi, sosial politik, ekonomi dan
publisistik. Pimpinan universitas itu sekarang dipegang Brigjen
Pol. (Pur) Drs. Prajitno Mangunwijoto, SH. Sedang pimpinan
yayasan pendidikannya dipegang drg. Joesoef, anak sulung
Moestopo.
"Saya ingin menciptakan sistem pendidikan dari TK sampai
Universitas dengan dasar agama dan Pengamalan Pancasila,"
ujarnya tentang embel-embel "beragama" di belakang universitas
yang didirikannya.
Di Bandung Moestopo juga mendirikan Yayasan Pendidikan Beragama
yang semua kegiatannya berlangsung di kompleks rumahnya. Ada TK,
SD, dan SMP. Seluruh siswanya 260 orang. Sekolah ini dilengkapi
poliklinik gigi dan menerima pasien dari luar dengan bayaran
ringan. "Hasilnya untuk menghidupi yayasan dan honor karyawan,"
jelas Moestopo yang mengawasi poliklinik dengan 4 dokter gigi itu.
Kakek dari 9 cucu ini setiap hari bangun pukul 7.00. Setelah
mandi air hangat, ia memeriksa administrasi yayasan itu. Sore
hari ia masih berkeliling melihat tempat ibadat yang
dibangunnya. Kadang ia memberi petunjuk membaca Al Quran, kadang
terlihat di Vihara membersihkan patung Budha. Moestopo sendiri
seorang muslim. Namun ia membebaskan ke-12 anaknya untuk memilih
agama: ada yang Islam, Protestan, dan Katolik.
Ny. Supartini istri tuanya yang memberi 9 anak, lebih banyak
mengurus yayasan yang berlokasi di Jl. Hang Lekir, Kebayoran
Baru, Jakarta. Sedang Ny. Lailah, istri kedua, yang memberi 3
anak, lebih banyak di Bandung.
Prof. Dr. Moestopo yang dalam biografinya bergelar Bapak
Publisistik, Bapak Ilmu Kedokteran Gigi, Bapak Pengawal
Pancasila, adalah juga penerima Bintang Mahaputra Utama RI yang
disematkan Presiden Soeharto 15 Agustus 1978. Ia dinilai berjasa
dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pengamalan Pancasila.
Tapi di hari tuanya kini, Moestopo juga menyandang sederetan
penyakit: jantung, tekanan darah tinggi, asma, rematik, ambien,
penyempitan organ keseimbangan dan tulang lemah. Kini untuk
berjalan ia harus selalu dibantu tongkat. Karena itu ia tak lagi
mengajar di kampus Unpad dan Universitas Pasundan Bandung,
apalagi ke Jakarta. Mahasiswalah yang datang ke rumahnya.
Di saat tak bisa banyak bergerak, penampilan Moestopo selalu
tampak serius, seperti juga semua yang dilakukannya. "Pak
Moestopo orang yang selalu serius, tetapi tingkah lakunya memang
aneh-aneh. Hanya kawan dekatnya yang bisa menebak apa motivasi
dan tujuan semuanya itu," komentar Ruslan Abdulgani. "Yang jelas
jiwa patriotnya tak perlu diragukan. Satu lagi, kejujuran
Moestopo sulit dicari tandingannya. Ia juga selalu bicara
blak-blakan," sambung ketua BP7 ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini