SEPAK BOLA INDONESIA
Oleh: Kadir Yusuf
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1982, 312 halaman.
KALI ini Kadir Yusuf menulis buku. Judulnya Sepak Bola
Indonesia. Sepintas lalu orang akan menerka, tentu Kadir itu
akan melibatkan kita pada sejarah dan problematik sepak bola
nasional. Tak salah. Malah sejak halaman pertama dia sudah
melontarkan pertanyaan yang paling hakiki: Apa itu sepak bola
a la Indonesia?
Sepak bola bagaimana yang paling cocok untuk Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut Kadir punya konsep sendiri.
Ia menolak konsep permainan sepak bola yang terbagi ke dalam dua
kutub: artistic football kontra power football. Yang pertama
ditujukan pada gaya permainan sepak bola Amerika Latin, dan
kedua, gaya Eropa. Lalu Kadir menyebut nama besar seperti
Stanley Matthews, Ferenc Puskas, George Best, Johan Cruyff,
Frans Beckenbauer yang memiliki karakter Amerika Latin -
stylish, memiliki seni main sepak bola yang tinggi, dan selalu
berimprovisasi. Padahal mereka lahir dari dunia sepak bola
Eropa.
Sementara itu Kadir juga menyebut superstar seperti Pele,
Alfredo di Stefano, dan Juan Schiaffino yang mengembangkan
ciri-ciri power football dengan keterampilan Individual
mengagumkan. Bersama mereka tercatat pula nama Djalma Santos,
Vava, Luis Pereira, dan Daniel Pasarella, pemain Brazil dan
Argentina, yang keterampilannya tidak luar biasa, tapi
memiliki ciri-ciri fisik permainan Eropa.
Berdasarkan pendekatan tersebut Kadir menyimpulkan bahwa
permainan sepak bola adalah universal. Persamaannya lebih banyak
ketimbang perbedaannya.
Lalu, apakah pertanyaan tentang sepak bola Indonesia masih
relevan? Di sinilah kekuatan Kadir: dokumentasinya mengenai
sepak bola, pengalaman sebagai pemain dan tim manajer, relasi
pribadinya dengan tokoh-tokoh sepak bola nasional dan
internasional, semua dia kerahkan untuk memberi jawabnya. Dari
hal yang universal itu dia analisa perbedaan dan persamaannya.
Dia identifikasikan kasus di gelanggang internasional dengan
peristiwa yang terjadi dalam kompetisi Galatama. Itulah sebabnya
pembaca jangan kaget kalau dari kasus Bertie Vogts versus Johan
Cruyff (hal. 98-99) dalam Piala Dunia 1974 tiba-tiba saja kita
dihadapkan dengan soal Taufik Saleh dan Dede Suleman di Stadion
Utama Senayan . Tidak proporsional memang. Tapi berkat daya
analoginya yang begitu kuat, kuakualitas dapat dihindarkan.
Kadir juga membahas selarah sepak bola nasional dengan
memperkenalkan pelatih-pelatih yang pernah berkecimpung di
Indonesia sejak tahun 1940-an. Masing-masing lengkap dengan
gagasan, pendekatan, dan pola permainan yang mereka kembangkan.
Karel Fatter, Choo Seng Quee, Tony Pogaknik, Endang Witarsa,
Jamiat Dalhar Suwardi Arland, Mangindaan, Coerver, dan Aliandu
dalam kadar terbatas pernah memperkenalkan sistem tertentu ke
dalam kesebelasan yang mereka asuh. Tapi belum tuntas.
Tentang Tony Pogaknik - perintis sepak bola modern Indonesia -
Kadir berpendapat: "Ia belum sempat menyimpulkan pola permainan
yang cocok untuk Indonesia .... Ia mungkin berusaha
memperkenalkan sebanyak-banyaknya sist-em permainan kepada
asuhannya. Dengan demikian, ia tidak akan mengalami banyak
kesulitan menerapkan strategi yang insidental, setiap menghadapi
kesebelasan tertentu". (hal. 17).
Tak ada sistem yan tuntas, memang. Sebab semua sistem dikembangkan
sesuai-dengan kapasitas pemain yang tersedia. Teori dan praktek
sepak bola tak pernah berhenti berkembang.
Dari pergaulannya dengan pelatih nasional Cekoslawakia Vaclao
Jezek, pernah berkunjung ke Indonesia di tahun 1978 Kadir
melihat bahwa Ceko pun pernah mengalami masa suram seperti dunia
sepak bola Indonesia saat ini. Tak ada superstar. Bermain short
passing yang tidak efektif. Pendeknya persis seperti "sepak bola
jalanan" - tanpa arah, tanpa mencetak gol. Orang Ceko
menyebutnya Ceske Ulicke. Dari tantangan itulah Jezek kemudian
melahirkan sistem blok yang lebih mendasar. Yakni membai medan
pertandingan dalam tiga blok: blok penyerangan, blok tengah, dan
blok bertahan (hal. 59).
Sistem blok dengan segala modifikasinya itu ditawarkan Kadir
kepada kita yang tengah mencari identitas persepakbolaan
nasional. "Karena sistem blok itu, merupakan sistem paling tepat
untuk menyiapkan pemain agar bisa menyesuaikan diri dengan
sistem atau pola permainan mana pun."
Di samping konsep sistem blok itu, Kadir menekankan pentingnya
peranan pemain sayap bagi sepak bola Indonesia. Karena merekalah
yang paling bisa mengimbangi pemain-pemain internasional.
Buktinya disebutkan ketika kerja sama Andi Lala dan Joko Malis
berhasil membobolkan gawang New York Cosmos di Stadion Utama
Senayan, Oktober 1979. Diperkuat pula oleh kenyataan bahwa
pemain Asia yang mampu terjun dalam kompetisi sepak bola Eropa
adalah pemain-pemain sayap - Cha Bun Keum, Okudera, Simon
Tahamata, dan Gu Guang Ming.
Dalam buku yang menyita lebih dari 300 halaman ini hampir tidak
sehalaman pun luput dari istilah asing. Untuk itu tersedia
daftar istilah dengan penjelasan yang cukup terang.
Kecenderungan penulis untuk selalu mendetil, akurat dan penuh
nuansa dalam uraiannya, amat mencekam. Dalam banyak hal menambah
kejernihan, tapi bisa pula menimbulkan kekeliruan. Misalnva.
tentang combined-play (hal. 50). " . . . umpan langsung ke kaki
rekan yang jitu" seharusnya adalah "... ke kaki rekan dengan
jitu". Agaknya hanya penggemar sepak bola yang serius dapat
menikmati karya Kadir.
Meski penulis menghindarkan bukunya dari sifat-sifat
instruksional, kesan menggurui amat kuat. Bab V tentang mencetak
gol seluruh paket untuk pelatih (STO). Bab VI mengenai
catenaccio merupakan lpdating dari pengalaman Kadir waktu
meliput Piala Dunia di Spanyol. Lagi-lagi penulis mengunggulkan
sistem blok sebagai dasar dari catenaccio dan total-football.
Dari masalah cetak-mencetak gol yang menjadi kelemahan pemain
kita, Kadir tampak lupa membicarakan soal kawal-mengawal gawang.
Judo Hadianto tak pernah isebut. Roni Paslah hanya disebut
sekali (hal. 45) untuk melengkapi serentetan nama yang memperkuat
kesebelasan DKI Jaya ketika menjuarai PON VII 1973. Padahal
keterampilan penjaga gawang kita banyak mendapat puian dari tim
luar negeri.
Kendati terdapat kekurangan di sana-sini, karya Kadir Yusuf ini
patut disambut. Belum ada buku sepak bola yang ditulis dalam
bahasa Indonesia begitu komplit. Saya pribadi merasa, di kala
persepakbolaan nasional kita dilanda kemerosotan yang
berkepanjangan, buku Sepak Bola Indonesia seperti melecut
kita untuk bangkit.
Lukmaan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini