Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Penyakit ceko di pssi

Pengarang: kadir yusuf jakarta: gramedia, 1982 resensi oleh: abdurachman surjomihardjo. (bk)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPAK BOLA INDONESIA Oleh: Kadir Yusuf Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1982, 312 halaman. KALI ini Kadir Yusuf menulis buku. Judulnya Sepak Bola Indonesia. Sepintas lalu orang akan menerka, tentu Kadir itu akan melibatkan kita pada sejarah dan problematik sepak bola nasional. Tak salah. Malah sejak halaman pertama dia sudah melontarkan pertanyaan yang paling hakiki: Apa itu sepak bola a la Indonesia? Sepak bola bagaimana yang paling cocok untuk Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut Kadir punya konsep sendiri. Ia menolak konsep permainan sepak bola yang terbagi ke dalam dua kutub: artistic football kontra power football. Yang pertama ditujukan pada gaya permainan sepak bola Amerika Latin, dan kedua, gaya Eropa. Lalu Kadir menyebut nama besar seperti Stanley Matthews, Ferenc Puskas, George Best, Johan Cruyff, Frans Beckenbauer yang memiliki karakter Amerika Latin - stylish, memiliki seni main sepak bola yang tinggi, dan selalu berimprovisasi. Padahal mereka lahir dari dunia sepak bola Eropa. Sementara itu Kadir juga menyebut superstar seperti Pele, Alfredo di Stefano, dan Juan Schiaffino yang mengembangkan ciri-ciri power football dengan keterampilan Individual mengagumkan. Bersama mereka tercatat pula nama Djalma Santos, Vava, Luis Pereira, dan Daniel Pasarella, pemain Brazil dan Argentina, yang keterampilannya tidak luar biasa, tapi memiliki ciri-ciri fisik permainan Eropa. Berdasarkan pendekatan tersebut Kadir menyimpulkan bahwa permainan sepak bola adalah universal. Persamaannya lebih banyak ketimbang perbedaannya. Lalu, apakah pertanyaan tentang sepak bola Indonesia masih relevan? Di sinilah kekuatan Kadir: dokumentasinya mengenai sepak bola, pengalaman sebagai pemain dan tim manajer, relasi pribadinya dengan tokoh-tokoh sepak bola nasional dan internasional, semua dia kerahkan untuk memberi jawabnya. Dari hal yang universal itu dia analisa perbedaan dan persamaannya. Dia identifikasikan kasus di gelanggang internasional dengan peristiwa yang terjadi dalam kompetisi Galatama. Itulah sebabnya pembaca jangan kaget kalau dari kasus Bertie Vogts versus Johan Cruyff (hal. 98-99) dalam Piala Dunia 1974 tiba-tiba saja kita dihadapkan dengan soal Taufik Saleh dan Dede Suleman di Stadion Utama Senayan . Tidak proporsional memang. Tapi berkat daya analoginya yang begitu kuat, kuakualitas dapat dihindarkan. Kadir juga membahas selarah sepak bola nasional dengan memperkenalkan pelatih-pelatih yang pernah berkecimpung di Indonesia sejak tahun 1940-an. Masing-masing lengkap dengan gagasan, pendekatan, dan pola permainan yang mereka kembangkan. Karel Fatter, Choo Seng Quee, Tony Pogaknik, Endang Witarsa, Jamiat Dalhar Suwardi Arland, Mangindaan, Coerver, dan Aliandu dalam kadar terbatas pernah memperkenalkan sistem tertentu ke dalam kesebelasan yang mereka asuh. Tapi belum tuntas. Tentang Tony Pogaknik - perintis sepak bola modern Indonesia - Kadir berpendapat: "Ia belum sempat menyimpulkan pola permainan yang cocok untuk Indonesia .... Ia mungkin berusaha memperkenalkan sebanyak-banyaknya sist-em permainan kepada asuhannya. Dengan demikian, ia tidak akan mengalami banyak kesulitan menerapkan strategi yang insidental, setiap menghadapi kesebelasan tertentu". (hal. 17). Tak ada sistem yan tuntas, memang. Sebab semua sistem dikembangkan sesuai-dengan kapasitas pemain yang tersedia. Teori dan praktek sepak bola tak pernah berhenti berkembang. Dari pergaulannya dengan pelatih nasional Cekoslawakia Vaclao Jezek, pernah berkunjung ke Indonesia di tahun 1978 Kadir melihat bahwa Ceko pun pernah mengalami masa suram seperti dunia sepak bola Indonesia saat ini. Tak ada superstar. Bermain short passing yang tidak efektif. Pendeknya persis seperti "sepak bola jalanan" - tanpa arah, tanpa mencetak gol. Orang Ceko menyebutnya Ceske Ulicke. Dari tantangan itulah Jezek kemudian melahirkan sistem blok yang lebih mendasar. Yakni membai medan pertandingan dalam tiga blok: blok penyerangan, blok tengah, dan blok bertahan (hal. 59). Sistem blok dengan segala modifikasinya itu ditawarkan Kadir kepada kita yang tengah mencari identitas persepakbolaan nasional. "Karena sistem blok itu, merupakan sistem paling tepat untuk menyiapkan pemain agar bisa menyesuaikan diri dengan sistem atau pola permainan mana pun." Di samping konsep sistem blok itu, Kadir menekankan pentingnya peranan pemain sayap bagi sepak bola Indonesia. Karena merekalah yang paling bisa mengimbangi pemain-pemain internasional. Buktinya disebutkan ketika kerja sama Andi Lala dan Joko Malis berhasil membobolkan gawang New York Cosmos di Stadion Utama Senayan, Oktober 1979. Diperkuat pula oleh kenyataan bahwa pemain Asia yang mampu terjun dalam kompetisi sepak bola Eropa adalah pemain-pemain sayap - Cha Bun Keum, Okudera, Simon Tahamata, dan Gu Guang Ming. Dalam buku yang menyita lebih dari 300 halaman ini hampir tidak sehalaman pun luput dari istilah asing. Untuk itu tersedia daftar istilah dengan penjelasan yang cukup terang. Kecenderungan penulis untuk selalu mendetil, akurat dan penuh nuansa dalam uraiannya, amat mencekam. Dalam banyak hal menambah kejernihan, tapi bisa pula menimbulkan kekeliruan. Misalnva. tentang combined-play (hal. 50). " . . . umpan langsung ke kaki rekan yang jitu" seharusnya adalah "... ke kaki rekan dengan jitu". Agaknya hanya penggemar sepak bola yang serius dapat menikmati karya Kadir. Meski penulis menghindarkan bukunya dari sifat-sifat instruksional, kesan menggurui amat kuat. Bab V tentang mencetak gol seluruh paket untuk pelatih (STO). Bab VI mengenai catenaccio merupakan lpdating dari pengalaman Kadir waktu meliput Piala Dunia di Spanyol. Lagi-lagi penulis mengunggulkan sistem blok sebagai dasar dari catenaccio dan total-football. Dari masalah cetak-mencetak gol yang menjadi kelemahan pemain kita, Kadir tampak lupa membicarakan soal kawal-mengawal gawang. Judo Hadianto tak pernah isebut. Roni Paslah hanya disebut sekali (hal. 45) untuk melengkapi serentetan nama yang memperkuat kesebelasan DKI Jaya ketika menjuarai PON VII 1973. Padahal keterampilan penjaga gawang kita banyak mendapat puian dari tim luar negeri. Kendati terdapat kekurangan di sana-sini, karya Kadir Yusuf ini patut disambut. Belum ada buku sepak bola yang ditulis dalam bahasa Indonesia begitu komplit. Saya pribadi merasa, di kala persepakbolaan nasional kita dilanda kemerosotan yang berkepanjangan, buku Sepak Bola Indonesia seperti melecut kita untuk bangkit. Lukmaan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus