Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polemik menjelang pameran akbar tentang revolusi Indonesia di Rijksmuseum Amsterdam.
Kurator tamu Bonnie Triyana dan Rijksmuseum dilaporkan ke polisi.
Rijksmuseum dikecam takluk terhadap kritik dari sayap kanan Belanda.
BEBERAPA menit lewat pukul 10 pagi pada Selasa, 11 Januari lalu, Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits membuka konferensi pers daring dari gedung megah neo-gothic Rijksmuseum di Amsterdam. Museum utama Belanda ini bulan depan akan menggelar pameran besar “Revolusi! Indonesië Onafhankelijk” (“Revolusi! Indonesia Merdeka”). Secara resmi Dibbits mengumumkan bahwa eksposisi ini disiapkan oleh dua kurator Belanda dan dua kurator Indonesia. Foto empat orang yang berdiri penuh senyum di depan pintu kantor Rijksmuseum ditampilkan: ahli seni rupa Amir Sidarta dan sejarawan Bonnie Triyana diapit oleh Marion Anker dan Harm Stevens.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, selagi konferensi pers berlangsung, reaksi mulai bermunculan di publik akibat tulisan Bonnie Triyana, “Schrap de term ‘Bersiap’ want die is Racistisch” (“Hapus Istilah ‘Bersiap’ Karena Ini Rasis”), di rubrik opini situs harian NRC Handelsblad yang terbit malam sebelumnya. Dalam tulisannya, Pemimpin Redaksi Historia itu mempersoalkan istilah Bersiap, yang di Belanda menunjuk pada pembantaian warga Belanda dan Indo di Indonesia pada periode setelah Agustus 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tim kurator memutuskan tidak memakai kata ‘Bersiap’ sebagai istilah umum untuk periode kekerasan semasa revolusi 1945-1950. Sebab, ‘Bersiap’ di Belanda digunakan sebagai ‘satu-satunya nama untuk merujuk peristiwa kekerasan yang terjadi pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia’, sementara korban kekerasan di periode revolusi kemerdekaan juga mencakup warga lokal,” tulis Bonnie. Bonnie menganggap terminologi Bersiap adalah hal yang rasis.
Reaksi pedas segera datang bertubi-tubi. Koran populis De Telegraaf menurunkan berita utama dengan judul “Histeria Seputar Sudut Pandang Woke”. Woke adalah istilah politik yang sering diasosiasikan kepada politik sayap kiri saat membela masalah-masalah keadilan rasial. Antropolog dan penulis Lizzy van Leeuwen pada Selasa, 11 Januari lalu, mengecam bahwa Rijksmuseum “mengundang cucu para pelaku (kekerasan) untuk menghapus sejarah. Kuludahi kalian!”. Martin Bosma, anggota parlemen dari partai kanan, Partai untuk Kebebasan (PVV), mencuit lewat Twitter: “Ini adalah bukti kesekian bahwa museum kita ada di tangan ekstrem kiri. Bersiap adalah genosida terhadap orang Belanda!”
Tulisan Bonnie Triyana dalam rubrik Opini koran NRC Handelsblad 12 Januari, 2022, mengenai istilah Bersiap. Dok. Pribadi
Federasi Indo-Belanda (FIN) mencanangkan pada 11 Januari lalu bahwa mereka akan melaporkan Bonnie Triyana ke polisi untuk, “Penyangkalan Bersiap yang gila dan memualkan,” kata Ketua FIN Hans Moll di situs organisasinya. Juru bicara FIN, Micha’el Lentze, mengkonfirmasi kepada Tempo bahwa mereka resmi melaporkan Bonnie ke kepolisian Den Haag pada Kamis, 13 Januari lalu.
Dua hari pertama setelah tulisan Bonnie terbit, direksi Rijksmuseum masih mendukung pernyataan Bonnie. Sampai Rabu, 12 Januari lalu, Rijksmuseum masih menjawab pertanyaan media tentang istilah Bersiap dengan pernyataan bahwa mereka “memilih tidak memakai istilah khusus dalam pameran untuk menggambarkan kekerasan yang terjadi pada periode ini”. Namun, seiring dengan memanasnya diskusi publik, museum nasional seni dan sejarah Belanda itu kelihatan berputar haluan.
Pada Kamis, 13 Januari lalu, Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits mengungkapkan di harian Het Parool bahwa “Rijksmuseum tidak menghapus istilah Bersiap atau melarangnya”. Tapi, dalam wawancara dengan NRC pada hari berikutnya, Dibbits menyatakan tulisan Bonnie adalah opininya sendiri. “Dia (Bonnie) tidak akan memakai istilah Bersiap, tapi kami akan memakai istilah tersebut dalam pameran dan buku pengantar pameran.” Ketika ditanyai apakah naskah opini Bonnie dibaca oleh bagian komunikasi museum sebelum diterbitkan, Dibbits menjawab, “Tidak. Opini itu ditulis atas namanya pribadi.”
Namun beberapa sumber di komunitas museum dan media Belanda mengatakan kepada Tempo bahwa naskah tulisan Bonnie sesungguhnya dikirim ke Rijksmuseum sebelum diterbitkan di NRC. Pada saat itu tidak ada keberatan dari pihak museum.
Dalam wawancara dengan NRC, Taco Dibbits menjawab pendek dengan “tidak” ketika ditanyai apakah pendapat Bonnie Triyana seiring dengan pendapat para kurator lain. Sayangnya, Rijksmuseum memilih tidak berbicara dengan media setelah akhir pekan lalu. Ketika dihubungi Tempo pada Senin, 17 Januari lalu, juru bicara Rijksmuseum, Jacobien Schneider, menjawab lewat WhatsApp, “Sementara kita tutup masalah ini. Reaksi kami sudah cukup jelas dalam koran Het Parool dan NRC.” Bonnie Triyana pun tidak memberi komentar di media.
Di pihak lain, cukup banyak suara bersimpati kepada Bonnie Triyana dan mengecam Rijksmuseum, apalagi setelah institusi itu kelihatan mengambil jarak dari sudut pandang Bonnie. Pada Jumat, 21 Januari lalu, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry Pondaag bahkan melaporkan Rijksmuseum, Direktur Taco Dibbits, dan kurator Harm Stevens ke kepolisian Amsterdam dengan tuduhan “diskriminasi dan penghinaan kelompok” karena mereka tetap akan menggunakan istilah Bersiap. KUKB adalah yayasan yang gigih memperjuangkan hak korban penjajahan kolonial Belanda.
Sejarawan dan ahli heritage Yvette Kopijn menulis dalam rubrik opini NRC pada Selasa, 18 Januari lalu: “Rijksmuseum mengatakan bahwa mereka tidak akan memakai istilah Bersiap, tapi kemudian menarik kembali pernyataan itu. Ini sangat menyakitkan.” Kepada Tempo, guru besar emeritus Universiteit Leiden bidang sejarah Indonesia, Henk Schulte Nordholt, berkomentar pada Kamis, 20 Januari lalu, “Direktur Taco Dibbits salah langkah dalam wawancaranya di NRC karena dia tidak memberi keterangan yang jelas, tapi malah menjatuhkan Bonnie.” Remco Raben, ahli sejarah kolonial University of Amsterdam, juga bersikap kritis terhadap sang Direktur. “Taco Dibbits takluk di bawah tekanan pihak seperti FIN, yang masih memegang sudut pandang kolonial dan merasa didukung oleh media kanan dan politikus ekstrem kanan,” ucap Raben kepada Tempo pada Rabu, 19 Januari lalu.
Henk Schulte Nordholt juga menilai NRC tidak bijak karena memberi judul tulisan Bonnie Triyana dengan penggabungan kata “Bersiap”, “hapus”, dan “rasis”. “Itu berakibat runyam secara tak terduga. Pecahlah badai di media. Akibatnya, hampir tidak ada orang yang benar-benar menilik apa yang dimaksud Bonnie dan apa yang diinginkan museum,” ujar Nordholt. Karena itu, tatkala tulisan Bonnie dimuat dalam edisi cetak NRC dua hari setelah terbit online, berita utamanya diperhalus. Kata “rasis” dihilangkan. Judulnya menjadi “Simplificerende term Bersiap deugt niet als periode-naam (“Penyederhanaan Istilah ‘Bersiap’ Tidak Tepat untuk Nama Periode”) walau isi tulisannya tidak berubah. Seyogianya, menurut ahli museum dan heritage Max Meijer kepada Tempo, Rijksmuseum sadar akan kepekaan seputar pameran “Revolusi!”, baik di Belanda maupun di Indonesia. “Seharusnya mereka bisa menunjuk hal-hal peka tersebut serta memberi perhatian pada berbagai interpretasi, muatan sejarah, dan emosional,” tutur Meijer.
Artikel wawancara Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits di NRC Handelsblad 14 Januari, 2022, membahas kontroversi pemakaian istilah Bersiap. Dok. Pribadi
Sebetulnya pemakaian istilah Bersiap sudah lama didiskusikan oleh tim Rijksmuseum selama persiapan pameran. “Harm (Stevens), Martine Gosselink (Kepala Bagian Sejarah Rijksmuseum saat itu), dan saya mulai membicarakan kemungkinan pameran ini pada 2017,” kata Bonnie Triyana kepada Tempo, Oktober 2021, ketika dia berkunjung ke Amsterdam. Ini bahkan sudah menjadi topik ceramah Bonnie dalam pertemuan dengan Friends and Patrons dari Rijksmuseum pada Oktober tahun lalu di Amsterdam. Seorang sumber yang ada dalam acara yang dihadiri puluhan orang itu mengatakan Bonnie memberi penjelasan yang sama tentang istilah Bersiap dalam ceramahnya, “Dan tidak ada reaksi negatif dari publik,” ucap sumber tersebut kepada Tempo.
Pada Sabtu, 15 Januari lalu, harian Volkskrant terbit dengan selingan lima halaman tentang survei yang dirancang media itu bersama Historia. Responden survei—yang dijawab oleh hampir 2.800 orang dari 34 provinsi di Indonesia pada Agustus 2021—memberi pendapat mereka tentang era kolonial Belanda di Indonesia. Dalam wawancara dengan Volkskrant terkait dengan survei tersebut, Bonnie Triyana memberi komentar tentang istilah Bersiap. “Sebagai sejarawan, kami ingin memahami periode tersebut. Apa maknanya menggunakan sebuah istilah bila istilah tersebut hanya terkait dengan satu kelompok?” ucap Bonnie. “Saya mengakui kekerasan yang terjadi dan tidak bermaksud menghapus apa pun. Saya cenderung memilih istilah yang lebih netral, seperti ‘kekerasan’.”
Pameran “Revolusi! Indonesië Onafhankelijk” akan digelar mulai 11 Februari sampai 6 Juni nanti. Pameran ini bermaksud memperlihatkan periode Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 lewat obyek seperti foto, film, lukisan, poster, dan pakaian dari era itu serta kisah pribadi orang-orang—seniman, pejuang, wartawan, politikus—di belakang obyek-obyek tersebut. Selain memamerkan koleksi Rijksmuseum, pameran ini meminjam dari museum dan koleksi pribadi dari berbagai negara, termasuk tujuh lukisan koleksi Istana Kepresidenan Indonesia dari maestro seperti Affandi, Basoeki Abdullah, Sudjojono, Dullah, Harijadi Sumodidjojo, dan Henk Ngantung.
Pameran belum dimulai, sebuah polemik panas telah mendahuluinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo