Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi Covid-19 telah menewaskan sedikitnya 94 dokter gigi dan menginfeksi ratusan lainnya.
Jumlah pasien gigi dan mulut merosot drastis selama pandemi.
Salah satu kebiasaan buruk masyarakat yang berkembang selama pandemi adalah malas menggosok gigi.
JIKA tidak nekat pergi ke dokter gigi dua bulan lalu, Donny Tunggul mungkin masih meringis kesakitan menahan pipi kirinya yang bengkak. Rasa sakit tak tertahankan membuat dia mendatangi klinik dokter gigi di Kebraon, Surabaya. Karyawan perusahaan percetakan majalah ini mengeluhkan nyeri pada gigi geraham kirinya yang berlubang. Bila terkena suhu dingin, giginya makin terasa cenat-cenut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Donny memilih klinik itu karena penanganan terhadap pasien dikenal bagus. Semula ia ingin giginya yang bolong dicabut saja. Namun dokter gigi perempuan yang menanganinya melihat gigi geraham itu masih bagus. Dokter juga tak berani mencabut karena tekanan darah sistolik Donny di atas 170 millimeter raksa atau mm Hg—jauh melampaui ambang batas tensi normal 120/80 mm Hg. ”Dokter khawatir ada perdarahan bila gigi dicabut,” ucap Donny, 54 tahun, mengisahkan pengalamannya kepada Kukuh S. Wibowo dari Tempo, Rabu, 19 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter gigi itu akhirnya menambal gigi yang berlubang seraya memberi Donny obat penurun tekanan darah. Ia juga mematikan saraf gigi geraham itu untuk menghilangkan rasa nyeri. Satu pekan sekali Donny mesti kontrol ke klinik untuk mengganti semen tambalan giginya. Setelah delapan kali pertemuan, dokter menambalnya permanen. “Sampai sekarang sakitnya tidak kambuh lagi,” ujar Donny, yang merogoh kocek Rp 300 ribu untuk sekali berobat.
Donny sebenarnya ragu pergi ke dokter gigi selama masa pandemi Covid-19. Ia khawatir peralatan untuk mengobok-obok mulutnya tidak steril. Ia makin waswas karena kursi tempat periksa gigi di klinik itu hanya satu. Pasien berganti-ganti duduk di kursi tersebut. Tapi ia nekat karena sudah tidak kuat lagi menahan sakit tiap malam hingga sulit tidur. Lagi pula, klinik tersebut menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Donny juga bertambah tenang karena sudah divaksin Covid-19 dua dosis.
Di Bandung, Hanifa Paramitha bersama anaknya, Arkan Naratama, 5 tahun, pernah naik-turun angkutan kota berkeliling mencari dokter gigi pada Oktober 2021. Perempuan 31 tahun ini khawatir kondisi gigi anaknya memburuk karena karies. Sebab, dari hasil rontgen diketahui ada 11 gigi anaknya yang bermasalah. “Kalau dibiarin takutnya gigi yang karies akan mengganggu akar calon gigi baru,” ucap Ifa—sapaan akrabnya—kepada Anwar Siswadi dari Tempo, Selasa, 18 Januari lalu.
Pencarian dokternya diawali dari fasilitas kesehatan tingkat satu sesuai dengan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, yaitu sebuah klinik di Jalan Kopo, Bandung. Namun, karena dokternya dianggap galak dan hanya sepuluh pasien yang bisa dilayani per hari, Ifa lantas memutuskan mendatangi Pusat Kesehatan Masyarakat Sukajadi. Sebelum pagebluk merebak, ia pernah menambal dua gigi anaknya di sana dan merasa nyaman dengan dokternya. Tapi sesampainya di lokasi, ternyata dokter giginya hanya bisa memeriksa tanpa layanan tindakan. Petugas puskesmas pun merujuk Ifa dan putranya ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Maranatha.
Menyesuaikan mobilitasnya dengan angkutan kota, Ifa urung mendatangi RSGM Maranatha dan memilih pergi ke RSGM Universitas Padjadjaran di Jalan Sekeloa, Bandung. Di sana, anaknya langsung ditangani tanpa menunggu lama. Dokternya memakai alat pelindung diri lengkap dari kepala sampai kaki. Adapun Ifa diminta mengenakan sarung kaki plastik selama menemani anaknya. Di dalam ruangan itu terdapat penyedot udara yang ditempatkan di sebelah pipi anaknya dekat tempat berkumur. Seperti mesin vakum, alat itu terus menderu dari awal sampai akhir tindakan. Menurut dokter, alat itu berguna untuk menyedot virus yang keluar dari mulut pasien.
Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi pelayanan kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Seperti tenaga kesehatan lain, dokter gigi juga rentan terkena Covid-19, terutama pada masa awal pagebluk. Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) Iwan Dewanto mengatakan Covid-19 telah menginfeksi 511 dokter gigi hingga 3 November 2021. “Sebanyak 94 dokter gigi meninggal,” tutur Iwan saat dihubungi, Selasa, 18 Januari lalu.
Dari 511 kasus tersebut, hampir separuhnya terjadi di puskesmas. Menurut Iwan, tingginya angka infeksi Covid-19 pada dokter gigi di puskesmas saat itu disebabkan ketidaksiapan puskesmas mengatur ruang praktik yang memiliki ventilasi dan aliran udara baik. Adapun fasilitas kesehatan yang paling siap dari segi tempat, berdasarkan survei PDGI, adalah praktik mandiri dan rumah sakit pemerintah. “Siap tidak siap puskesmas tetap harus buka dan melayani. Padahal kerja dokter gigi berisiko tinggi karena menggunakan alat bor yang membuat cipratan droplet dan membentuk aerosol di udara,” ucap Wakil Sekretaris Jenderal PB PDGI ini.
Tingginya risiko infeksi tak hanya membuat jiper para dokter gigi. Masyarakat yang sebelumnya terbiasa memeriksakan gigi juga mengurungkan niatnya. Hanifa Paramitha, misalnya, terakhir menyambangi dokter gigi sebelum Covid-19 terdeteksi di Indonesia pada awal 2020. “Sekarang jadi lebih aware untuk menjaga kebersihan gigi karena saat pandemi saya benar-benar enggak mau ke dokter gigi,” ujarnya.
Selama masa pandemi, kata Iwan, masalah gigi yang paling banyak dijumpai di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yang meliputi puskesmas, praktik mandiri, dan klinik pratama, adalah gigi mati atau nekrosis serta radang pulpa gigi atau pulpitis irreversible. “Ini menunjukkan masyarakat Indonesia datang ke puskesmas atau dokter gigi kalau sakit saja dan itu pun sudah terlambat,” tuturnya.
Selain faktor ketakutan masyarakat pergi ke dokter gigi, Iwan menuturkan ada persoalan kebiasaan yang kurang mengutamakan kesehatan gigi dan mulut. Ini tampak dari survei global PT Unilever Indonesia Tbk yang bekerja sama dengan PDGI dan FDI World Dental Federation yang melibatkan 6.700 responden berusia di atas 18 tahun di delapan negara, termasuk Indonesia, tahun lalu. Hasilnya, 70 persen responden Indonesia belum memprioritaskan perawatan gigi dan mulut. Bahkan 30 persen responden Indonesia mengaku pernah melewati satu hari penuh tanpa menyikat gigi. “Umumnya mereka malas mandi karena seharian berada di rumah, akhirnya tidak gosok gigi,” kata Iwan. Menurut dia, prioritas masyarakat Indonesia yang masih mencari uang untuk hidup turut membentuk sikap itu.
Hasil sigi yang sama juga menunjukkan kesadaran keluarga Indonesia akan pentingnya menyikat gigi dua kali sehari—pagi sesudah makan dan malam sebelum tidur—mulai terabaikan selama masa pandemi. Ini terlihat dari adanya keluhan nyeri pada gigi, gusi, atau mulut (31 persen) dan kemunculan karies baru (25 persen). Kondisi ini diperburuk lantaran masih banyaknya orang yang enggan memeriksakan diri karena takut tertular Covid-19 meski giginya bermasalah (59 persen responden).
Sepinya pasien gigi dan mulut terkadang masih dijumpai di Pusat Kesehatan Masyarakat Ibrahim Adjie di Kota Bandung. Rabu siang, 19 Januari lalu, hanya segelintir orang yang menunggu hasil laboratorium dan obat di deretan kursi lantai satu. Di lantai 2 hanya tersisa sekumpulan perawat putri yang bercengkerama. Masuk ke ruang klinik gigi dan mulut berukuran 3 x 5 meter, dokter gigi Bey Johan dan seorang perawat tampak sedang membuat laporan di depan komputer sambil memutar lagu.
Selama masa pandemi, jumlah pasien klinik gigi puskesmas itu menurun karena adanya pembatasan. Dari biasanya 450-500 pasien per bulan, jumlah pasien sempat anjlok menjadi 40 orang saat terjadi lonjakan angka kasus Covid-19. Dokter Bey bahkan ikut melacak kasus dan vaksinasi. Angka pasien klinik gigi dan mulut berangsur naik sejak November 2021. “Sekarang sudah sekitar 80 persen,” tuturnya.
Iwan Dewanto mengimbau para orang tua terus menjalankan kebiasaan merawat kesehatan gigi dan mulut di rumah. Sebab, mengacu pada survei global sebelumnya, kebiasaan orang tua sangat mempengaruhi rutinitas anak menyikat gigi sehari-hari. Menurut survei, anak berpotensi tujuh kali melewatkan waktu menyikat gigi ketika orang tua mereka melewatkannya. Di Indonesia, angkanya lebih tinggi dua kali lipat. “Sikat gigi malam lebih banyak kelewatan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo