Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mengapa sosialisme gagal

Penerjemah : zoelkifli kasip jakarta : pustaka utama grafiti, 1990 resensi oleh : rizal mallarangeng

24 November 1990 | 00.00 WIB

Mengapa sosialisme gagal
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KAPITALISME RAKYAT Pengarang: John Redwood Penerjemah: Zoelkifli Kasip Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, 1990 MENGAPA sosialisme gagal? John Redwood -- Kepala Unit Kebijaksanaan Perdana Menteri Inggris, yang selama 15 tahun menganjurkan swastanisasi -- mencarinya dalam kontradiksi yang melekat pada sosialisme: "... jika perencanaan negara salah, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghentikan kesalahan itu, kecuali kalau aparat partai membentuk apparatchik baru, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat membatasi kesalahan produksi sampai proses birokratis dan politis mengubah pikirannya ...." Jawaban ini mirip dengan sebuah cerita sinis tentang sosialisme: produksi sepatu berlimpah di Soviet. Harganya murah. Namun, penduduk Moskow di jalan-jalan banyak yang bertelanjang kaki. Ternyata, pabrik umumnya hanya memproduksi sepatu buat kaki sebelah kiri. Yang akan Redwood katakan sebetulnya adalah, sistem sosialis tidak memiliki kontrol efektif baik terhadap komando politik maupun terhadap produksi barang. Akibatnya, sistem yang lahir dari pemikiran Marx ini tidak lentur terhadap perubahan-perubahan yang dituntut oleh perkembangan sejarah. Cerita akhir dari semua ini kita ketahui: Gorbachev sedang memainkan akrobat terbesar pada akhir abad ke-20. Yakni di satu pihak ia berseru tentang "permurnian kembali" Leninisme, di pihak lain ia berusaha membujuk Barat yang kapitalis untuk menanamkan modal dan meramaikan pasar-sosialis. Sebenarnya, Redwood tidak berbicara banyak tentang Marxisme dan sosialisme. Kegagalan sosialisme hanya disinggung sebagai latar belakang untuk menunjukkan mengapa kapitalisme sanggup bertahan dan berkembang: kelenturan untuk berubah dan mengelak dari krisis dengan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan baru. Kelenturan ini tampak pada bagaimana kapitalisme berkelit dari krisis ekonomi yang melanda dunia pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Melonjaknya harga minyak akibat Perang Iran-Irak serta besarnya dana-dana kesejahteraan dan militer mendatangkan krisis ekonomi di akhir 1970-an dan awal 1980-an. Pada tahun-tahun ini AS mengalami inflasi double digit dan pengangguran yang tinggi. Inggris mengalami tingkat pengangguran di atas 13%. Di negara sedang berkembang demikian pula. Meksiko dan Brasil secara sepihak menunda utang. Bank-bank internasional yang berpusat di New York, Tokyo, dan London kalang kabut. Untuk menghadapi krisis ini dunia kapitalis merambah kemungkinan-kemungkinan baru yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi serta kemajuan-kemajuan dalam teknologi keuangan dan informasi. Inti upaya baru ini adalah swastanisasi, pengembangan bursa saham dan konversi utang negara Dunia Ketiga menjadi equity bagi investor asing. Hal ini dimulai oleh Thatcher di Inggris, dengan menswastakan British Telcom, lalu diikuti hampir secara serempak di berbagai belahan dunia dari Jamaika hingga Jakarta. Pada dasarnya langkah-langkah baru ini adalah kembalinya kesepakatan lama bahwa hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi dapat berjalan lancar. Menurut Redwood, langkah-langkah ini adalah langkah-langkah kapitalisme rakyat: "... kapitalisme rakyat pada hakikatnya adalah demokrasi pasar ... [yang] secara langsung mengalihkan pemilikan dari negara...." Bagi Redwood, kebangkitan kembali kepercayaan kepada pasar ini bukan kebetulan jika terjadi bersamaan dengan mulai rontoknya kepitalisme di pertengahan 1980-an. Bangkitnya kembali kepercayaan kepada pasar adalah pertanda bahwa negara hanyalah agen yang memboroskan sumber-sumber ekonomi dan menyebabkan "tidak banyak kue untuk dibagi". Di dunia industri kapitalis sejak New Deal Roosevelt pada 1930-an, pasar terlalu sering dianut oleh berbagai program negara kesejahteraan (welfare state). Bahkan di Eropa Barat, terutama di Skandinavia, sinisme yang tua terhadap para kapitalis tetap bertahan: merekalah "orang gendut dengan lencana bergaris-garis yang menentukan masa depan rakyat dengan dikelilingi oleh anggur dan cerutu." Karena itu, kepercayaan baru terhadap pasar dan para pelaku bisnis itu sering disebut sebagai tanda lahirnya wajah baru kapitalisme -- wajah baru dengan kearifan lama, kearifan Adam Smith. Hal semaram ini pada dasarnya juga dikatakan dalam sebuah buku yang kini sedang populer, Megatrends 2000 (Naisbitt dan Aburdene, 1990). Sebenarnya, dalam buku setebal 219 halaman ini Redwood terlalu banyak menaburkan pernyataan yang bersifat ideologis, bukan akademis. Privatisasi global terlalu dipandang sebagai kemenangan sebuah ideologi, bukan kemenangan kecerdasan umat manusia dalam merambah cara-cara baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. "Sorak-sorai ideologis" Redwood mengingatkan pada sikap sebagian pemikir kubu sosialis yang berpaling dari kenyataan empiris (menolak kenyataan kegagalan sosialisme) for the sake of ideology. Pada dasarnya keduanya berada di garis yang sama, tapi pada sisi yang berlawanan. Rizal Mallarangeng

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus