Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mengenal 'orang-orang patut'

Editor: sartono kartodirdjo. jakarta: lp3es, 1981. resensi oleh: taufik abdullah.

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARTONO KARTODIRDJO (ed.), Elite Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES/Buku Obor, 1981, 233, index. MUNGKIN juga Shils benar, ketika mengatakan bahwa oligarki militer umumnya kurang bersifat ideologis. Tetapi waktu ia memberi contoh, perasaan tertegun tak bisa dielakkan. Ia mengatakan bahwa di beberapa negara, antara lain Indonesia, kaum militer mempunyai aspirasi yang moderat saja. Maksudnya: hanya berkeinginan menjaga suatu masyarakat politik yang sederhana dengan peralatan pemerintahan secukupnya pula. Bahkan, katanya lagi, mereka cenderung menjalankan kebijaksanaan (bukan kebijakan, seperti yang ditulis dalam buku terjemahan ini) tanpa politik, dan membiarkan politisi "mengatur negara seperti suatu perkemahan tentara yang besar". Biarkanlah dugaan Shils -- teoretikus sosiologi terkemuka -- tentang negara lain tak perlu digubris. Tetapi mengenakan hal yang umum itu kepada situasi khusus Indonesia memang agak merepotkan. Bukan apa-apa -- hanya saja, terlepas dari segala corak praduga politik, kita tentu bisa mempersaksikan betapa jauhnya keterlibatan tentara (ABRI) dalam berbagai proses pematangan ideologi negara ini. Meski contoh di atas hanya secuil dari berbagai hal yang bisa ditanggapi dari eseinya, ini memperlihatkan betapa cukup terbatasnya uraian sosiologi politik dalam menangkap dinamik historis yang sedang berjalan. Maklumlah Shils tidak sekedar mencari patokan umum tentang negara-negara berkembang, yang memang sangat beragam dan beraneka. Ia menulis eseinya di saat optimisme di kalangan para ahli sosial Barat di tahun 1950-an tentang masa depan demokrasi dari negara-negara berkembang mulai dihantui oleh kemungkinan munculnya "oligarki militer". Optimisme yang mendua itu jelas pula kelihatan pada Benda -- yang seperti halnya Shils, mengambil negara-negara berkembang sebagai sasaran studi. Jika dibanding dunia Barat, kata Benda, tampak bahwa kaum cendekiawan atau inteligensia di dunia Timur bukan saja bergumul dengan dunia pikiran dan nilai-nilai, tetapi juga terlibat secara langsung dalam kekuasaan. Bahkan, katanya lagi para inteligensia itulah penguasa. Tentu saja mereka yang terlalu sadar dengan realitas politik hari ini akan tersenyum membaca hal itu. Tetapi Benda tak seluruhnya salah. Bukankah di akhir 1950-an masih cukup terang bintang Nkrumah, Nehru, Sukarno, Castro dan lain-lain? Dan bukankah mereka sesungguhnya bermula sebagai inteligensia? Tetapi, jika Shils secara cukup realistis mengatakan bahwa para inteligensia punya kecenderungan untuk tidak mempunyai rasa kepastian yang tinggi, maka Benda, yang terlalu melihat inteligensia sebagai hasil produk Barat yang 'murni", mengatakan bahwa mereka pada dasarnya terpisah dari rakyat. Mereka dan rakyat berada dalam dua dunia yang berbeda. Karena itulah Isereka melakukan usaha identifikasi dengan rakyat. (Tentu kita tahu juga identifikasi adalah suatu proses, sedang identik suatu keadaan). Jadi, katanya lagi, dibanding negara Barat, "proses politik di masyarakat Timur itu lebih merupakan suatu bangunan bertingkat tanpa landasan yang kokoh". Mungkin juga. Tetapi dua tahun setelah menulis esei tentang kaum inteligensia ini Benda malah mengatakan, untuk mengerti Demokrasi Terpimpin dan Sukarno perlulah disadari bahwa gejala itu sebenarnya proses kembalinya Indonesia ke dinamik sejarahnya yang telah diintervensi oleh kolonialisme. Kalau begitu, secara logis tentu bisa diperkirakan bahwa perkembangan selanjutnya akan menunjukkan berakhirnya fungsi inteligensia sebagai penguasa. Bukankah mereka tak berakar? MUNGKIN Shils benar juga jadinya. Dalam situasi keterlepasan dari idealisme (yang Barat), kemampuan teknis, sifat praktis, serta kesadaran yang kuat akan pentingnya arti stabilitas dan sekedar ideologi akan lebih banyak berbicara. Hanya saja kedua esei yang ditulis di awal 1960-an di atas hanya bisa menyebut pentingnya kemampuan teknokratis. Belum berbicara tentang suatu golongan elite, yang kini bersama militer adalah kaum yang "binnen" secara politik, yaitu teknokrat. Esei Shils tentang militer dan Benda tentang inteligensia di dunia ketiga, yang disinggung di atas, adalah dua dari delapan esei atau studi yang dimuat Prof. Sartono Kartodirdjo dalam kumpulan tulisan tentang 'elite' ini. "Diskusi" pendek di atas hanyalah pula salah satu kemungkinan yang bisa dipakai dalam mencoba membuat suatu pendekatan integratif dari buku yang bervariasi ini. Tetapi, sebelum melantur lebih jauh, apakah 'elite' itu sesungguhnya? Kamus tentu bisa dipakai, dan nama-nama besar mulai dari Pareto, Mosca, Mills sampai Mannheim tentu bisa menghiasi uraian. Bahkan, meski tidak mengenal kata 'elite' sebagai konsep, Marx adalah tokoh yang sangat memperhatikan gejala sosial ini. Hanya saja ia memakai konsep tentang bisa dibaginya masyarakat atas kelas-kelas. Tetapi jika disederhanakan semua itu, maka yang dimaksud dengan elite adalah golongan fungsional yang mempunyai status tinggi (apa pun dasarnya) dalam masyarakat. Setidaknya begitulah secara populer diartikan oleh Bottomore. Kalau begitu tentu berbagai jenis elite bisa dibedakan. Maka ada yang mengatakan bisa dibagi dua, yaitu 'yang berkuasa' dan 'yang tidak berkuasa'. Tetapi kalau ini yang diikuti agak payah juga kita mengadakan identifikasi "yang manakah yang mana". Paling-paling kita akan bisa membeda-bedakan kelompok-kelompok tertentu dalam berbagai golongan elite itu. Sebab itu, barangkali pilihan Prof. Sartono tepat juga. Ia tampaknya mengikuti cara Suzanne Langer, yang lebih menekankan klasifikasi elitenya berdasar kriteria strategis atau tidaknya suatu golongan dalam masyarakat. Dengan begitu bisalah dibedakan golongan-golongan elite atas kaum bangsawan, pengusaha, cendekiawan, ulama (elite agama), militer dan sebagainya. Begitulah artikel atau esei yang dimuat dalam kumpulan tulisan berdasarkan klasifikasi tersebut. Yang unik ialah, kesemuanya tidak dilihat dalam suasana kesezamanan, tetapi historis. Jadi penyusunan artikel juga diatur berdasar suatu interpretasi sejarah tentang evolusi dari golongan-golongan elite. Demikianlah artikel yang dipilih itu membicarakan kaum bangsawan (Eropa dan Tiongkok) dan ulama (India) dari Abad Tengah, para burjuis (Eropa) dari periode Peralihan ke Abad Modern, dan akhirnya cendekiawan dan militer (Dunia Ketiga) dari abad modern. Di samping itu, sebagai sasaran dari para elite yang terpilih itu (mungkin istilah paling tepat dalam bahasa Indonesia ialah ungkapan Melayu lama, 'orang patut') dimuat juga satu karangan tentang masyarakat petani (Asia Tenggara). Setiap artikel atau esei yang dimuat bermutu tinggi. Bahkan tulisan Marc Bloch, tentang feodalisme, telah masuk kelas 'elite' dari historiografi modern. Hanya saja sebagai keseluruhan timbul suatu masalah, yang tak terlalu mudah diselesaikan, seandainya kita hanya berpegangan pada buku ini: Pendekatan historis pada dasarnya bersifat partikularistik. Sedang tulisan-tulisan yang dimuat ini, meski runtut secara kronologis, berada dalam dunia yang berbeda-beda. Jadi kontinuitas tak terjamin. Di samping itu tingkat generalisasi masing-masing artikel juga sangat berbeda-beda. Jika Benda dan Shils sibuk dengan dunia ketiga, maka Saletore, yang menulis tentang ulama, hanya bicara tentang India. Sedang perhatian Marc Bloch terbatas pada Eropa -- dengan fokus utama Prancis. Tetapi memang bukan suatu studi integratif yang ingin dicapai buku ini. Ini adalah perkenalan terhadap masalah yang dari dulu merupakan salah satu tema pokok dari studi berbagai cabang, ilmu sosial. Dari sudut ini tampaknya sasaran telah tercapai. Buku ini adalah suatu "panorama" yang kaya, diserta pula oleh ilustrasi sejarah dan pemikiran yang cukup merangsang. Juga dengan begini buku ini "buku wajib" bagi para mahasiswa dan sarjana ilmu-ilmu sosial serta mereka yang berminat. Akhirnya ada tiga hal kecil yang perlu diingatkan. Pertama, istilah-istilah masih harus dibenahi, baik ejaan (hierarki atau hirakhi, charisma atau kharisma), maupun pengertian-pengertian pokok (apakah sama arti susunan dengan struktur?). Kedua, bibliografi yang tercantum di halaman 23 barangkali mestinya dimuat di belakang kata pengantar Prof Sartono, di halaman XVI, Dan ketiga, di bawah artikel Marc Bloch, dikatakan bahwa terjemahan dilakukan atas izin penulis dan pengarang. Bisa jadi. Hanya saja Bloch telah meninggal dunia ketika Prancis diduduki tentara Hitler. Jadi repot juga baginya untuk memberi izin langsung. Taufik Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus