Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pertunjukan wayang potehi hingga saat ini masih diselenggarakan di Klenteng Hong Tiek Hian, Surabaya. Dalang dari klenteng yang berlokasi di Jalan Dukuh ini secara rutin menampilkan seni pertunjukan wayang tradisional asal Tiongkok tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara ini dikenal sebagai satu-satunya pertunjukan wayang potehi yang digelar setiap hari di klenteng tersebut. Seni wayang potehi telah diwariskan secara turun-temurun sejak tahun 1960-an. Setiap kisah yang disajikan dalam seni tradisional ini berbentuk seri, menceritakan asal-usul Dinasti Tang.
Apa Itu Wayang Potehi?
Dilansir dari Gubug Wayang, Wayang potehi adalah seni pertunjukan boneka tradisional yang berasal dari Fujian, Tiongkok Selatan. Istilah "potehi" berasal dari kata-kata “pou” (kain), “te” (kantong), dan “hi” (wayang), yang secara harfiah berarti wayang berbentuk kantong kain, meskipun beberapa bagiannya, seperti kepala dan tangan, terbuat dari kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tempat asalnya, seni wayang potehi telah berkembang selama ribuan tahun. Dalam penelitiannya, Dwi Woro Retno Mastuti melalui karya “Wayang Potehi: Chinese-Peranakan Performing Arts in Indonesia” menyebutkan bahwa seni ini sudah dikenal masyarakat Tiongkok sejak abad ke-7 hingga abad ke-9, pada masa Dinasti Tang.
Wayang potehi dibawa ke Nusantara oleh imigran Tiongkok sekitar abad ke-16 dan menyebar ke berbagai kota di Pulau Jawa. Seni ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memiliki nilai ritual. Pertunjukan wayang potehi digunakan sebagai bentuk ungkapan syukur, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur, sehingga tidak heran jika kesenian ini berkembang di sekitar klenteng, terutama di kota-kota pesisir utara Jawa.
Seiring waktu, wayang potehi mengalami perubahan bentuk. Awalnya hanya menggunakan kain atau kaos tangan dengan kepala, tangan, dan kaki dari keramik, namun kemudian kepala wayang mulai dibuat dari kayu, seperti kayu waru atau mahoni lunak. Meski demikian, ciri khas kostum dan aksesori wayang potehi tetap dipertahankan, menampilkan nuansa budaya Tiongkok yang kuat.
Kisah di Balik Wayang Potehi
Dikisahkan bahwa wayang potehi pertama kali muncul di sebuah penjara, tempat lima narapidana yang dijatuhi hukuman mati berusaha menghibur diri menjelang eksekusi.
Untuk mengatasi kesedihan, mereka menciptakan boneka dari potongan kain dan mengadakan pertunjukan kecil dengan musik pengiring yang dibuat dari barang-barang sederhana di sekitar mereka. Salah satu dari mereka mendapat ide untuk menghidupkan boneka-boneka tersebut dalam sebuah pertunjukan.
Suara musik dari tabuhan panci dan piring yang mereka gunakan terdengar hingga ke telinga kaisar. Terpesona oleh kreativitas mereka, sang kaisar memutuskan untuk memberikan pengampunan kepada kelima narapidana itu.
Sejak saat itu, pertunjukan wayang potehi menjadi tradisi untuk menghormati para dewa, khususnya saat kapal jung akan berangkat atau kembali dari Tiongkok. Pada masa-masa berikutnya, kesenian ini terus berkembang dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Tionghoa, terutama di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Pementasan Wayang Potehi
Dilansir dari Indonesia Kaya, Wayang potehi dimainkan menggunakan kelima jari tangan. Tiga jari tengah berfungsi untuk menggerakkan kepala wayang, sedangkan ibu jari dan kelingking digunakan untuk menggerakkan tangan wayang.
Dalam penelitian berjudul “Dari Wayang Potehi ke Wayang Thithi”, Ngesti Lestari menjelaskan bahwa setiap wayang bisa digunakan untuk memerankan berbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, dan Sia Kao Kim, karena warna wajah mereka tidak dapat diubah.
Pertunjukan wayang potehi berlangsung di atas panggung yang disebut pay low, dengan warna merah dan berbentuk miniatur rumah. Panggung ini bisa bersifat permanen atau dirancang agar mudah dibongkar-pasang.
Pertunjukan melibatkan dua orang, yaitu dalang dan asisten dalang. Dalang bertugas menyampaikan cerita, sementara asisten bertanggung jawab menyiapkan peralatan seperti wayang, busana, dan senjata, serta mengatur kemunculan tokoh-tokoh sesuai alur cerita. Dalam satu pementasan, masing-masing dalang dan asisten bisa memainkan dua wayang, dengan total sekitar 20-25 wayang yang digunakan.
Musik pengiring dimainkan oleh tiga musisi yang menggunakan berbagai alat musik, seperti gembreng besar (toa loo), rebab (hian na), kayu (piak ko), suling (bien siauw), gembreng kecil (siauw loo), gendang (tong ko), dan selompret (thua jwee). Setiap musisi biasanya memainkan dua hingga tiga alat musik secara bergantian.
Pilihan Editor: Mengenal Wayang Potehi Kesenian Klasik Jaman Kekaisaran di Cina