Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelas penari melambatkan gerak tubuh mereka seiring dengan alunan musik pengiring yang mereda. Ratusan penonton tampak sudah bersiap akan menepukkan tangan. Namun keheningan menjelang akhir pentas tari Gambyong Gambir Sawit itu segera pecah oleh tabuhan gendang yang mengentak. Para penari yang sebagian merupakan putra-putri S. Ngaliman Tjondropangrawit itu pun kembali menarikan karya yang diciptakan pada 1974 tersebut.
Meski hanya berdurasi sekitar tujuh menit, tari Gambyong Gambir Sawit yang pernah dipentaskan Ngaliman di Hawaii, Amerika Serikat, pada 1978 itu berhasil membuat penonton bertahan hingga selesainya malam kedua “Pergelaran Tari Langen Beksan Nemlikuran” di pendapa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Sura-karta, Jawa Tengah, 27 Maret lalu. “Durasi tari Gambyong Gambir Sawit sebenarnya cukup panjang, tapi kami padatkan tanpa mengurangi esensinya,” kata Supriyadi Hasto Nugroho, salah satu putra Ngaliman.
Selain menyajikan Gambyong Gambir Sawit, selama dua malam Pergelaran Tari Langen Beksan Nemlikuran edisi spesial 100 tahun S. Ngaliman Tjondropangrawit itu menampilkan 13 tari lain karya maestro tari tradisi gaya Surakarta tersebut. Di antaranya tari Retno Dumilah, Bondoyudo, Panji Tunggal, Manggolo Retno, Retno Tinanding, Wiropertomo, Fragmen Burung, Manggolo Retno, dan Ciptoning.
Sebagian besar dari 14 karya Ngaliman itu dibawakan mahasiswa jurusan seni tari dari berbagai perguruan tinggi, seperti Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Surakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Semarang, serta Universitas Negeri Surabaya. Para pelajar SMKN 8 Surakarta dan peserta sejumlah sanggar, seperti Padnecwara, Jakarta; Langen Mataya, Solo; dan Yayasan Roro Jonggrang, Prambanan, juga turut ambil bagian dalam peringatan satu abad Ngaliman itu.
Koordinator acara Teguh Prihadi mengatakan karya-karya S. Ngaliman sampai sekarang masih menjadi rujukan berbagai institusi pendidikan di dalam negeri dan mancanegara. “Jadi pergelaran ini tidak diada-adakan, di mana para penarinya berlatih dadakan. Jauh sebelum acara ini diselenggarakan, para penari itu sudah mempelajari karya-karya S. Ngaliman di sekolah, kampus, dan sanggar,” ujar Teguh.
Sebelum perhelatan itu, Yayasan Seni S. Ngaliman Tjondropangrawit beserta sejumlah seniman yang dulu merupakan murid Ngaliman menyusun sebuah buku berjudul S. Ngaliman Tjondropangrawit: Sang Pembaharu, Jelajah Spiritual Kesenimanan Tradisi. Selain merekam jejak kesenimanan S. Ngaliman, buku setebal 212 halaman yang diterbitkan Gramasurya pada Desember 2018 itu layaknya bunga rampai yang menampung kenangan tentang Ngaliman dari para sahabat, murid, dan keluarganya.
“Kami punya misi mengingatkan masyarakat terhadap tokoh-tokoh besar kesenian yang kini mungkin sudah jarang terdengar. Banyak tokoh besar kesenian di Surakarta. Untuk yang pertama, kami memilih Pak Ngali (panggilan akrab Ngaliman) karena putro wayah-nya (anak-anak, menantu, dan cucunya) masih konsisten di bidang seni tari dan karawitan,” kata Teguh.
Sebagai koreografer tari tradisi gaya Surakarta, Ngaliman memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tidak seperti koreografer pada umumnya yang mengandalkan komponis untuk menata iringan musik pendukung karya mereka, Ngaliman semasa hidupnya juga dikenal sebagai penata gendhing (iringan musik) beksan tradisi gaya Surakarta. Karena itu, karya-karya Ngaliman- terkenal memiliki senyawa yang kuat antara gerakan dan iringan musiknya.
“S. Ngaliman adalah seniman serba bisa. Selain sebagai seniman tari, dia sangat terampil dan mumpuni dalam seni karawitan, yang merupakan awal keberangkatannya menjadi seniman,” ucap dosen pengkajian seni pertunjukan dan seni rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Profesor Dr Timbul Haryono, Msc, dalam buku S. Ngaliman Tjondropangrawit: Sang Pembaharu, Jelajah Spiritual Kesenimanan Tradisi.
NGALIMAN lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 12 Maret 1919. Inisial huruf S di depan namanya adalah Supadi, nama tambahan dari seseorang yang menyembuhkannya ketika Ngaliman sakit keras pada umur 15 tahun. Sedangkan Tjondropangrawit adalah gelar yang ia peroleh dari Keraton Kasunanan Surakarta sebagai abdi dalem niyaga (pengrawit) kasepuhan reh kiwa.
Ngaliman adalah putra keenam dari delapan bersaudara keluarga Ki Sukiman Wirya-wijaya. Ayahnya adalah pedagang batik yang juga menjabat Kebayan Kelurahan Kemlayan Surakarta Diapit Keraton Kasunanan (800 meter di timur) dan Pura Mangkunegaran (600 meter di utara). Kemlayan bisa dibilang sebagai kawah candradimuka bagi para seniman pertunjukan, khususnya karawitan dan tari. Di kampung Kemlayan inilah Ngaliman tumbuh dan besar menjadi seniman.
S. Ngaliman Tjondropangrawit
Pada masa pemerintahan Paku Buwono IV sampai medio pemerintahan Paku Buwono XII (1788-1974), dikutip dari buku S. Ngaliman Tjondropangrawit: Sang Pembaharu, kampung Kemlayan merupakan tempat tinggal bagi pengrawit, penari, dan abdi dalem gendhing (pembuat gamelan) Keraton Kasunanan Surakarta.
Selain berguru kepada sejumlah seniman tari sejak kecil, Ngaliman memperdalam ilmunya di pendidikan formal di Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar), sebelum berganti nama menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia dan sekarang menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Surakarta. Sebagai lulusan angkatan pertama Kokar pada 1953, Ngaliman mengantongi ijazah instrumentalis karawitan.
Sejak 1954, Ngaliman produktif dalam menciptakan karya tari sekaligus gendhing beksan tradisi gaya Surakarta. Pada 1956, dia diangkat menjadi pegawai negeri sebagai guru tari dan karawitan di Kokar. Pada awal 1971, Ngaliman bersama Genedhon Humardani memelopori penyebaran tari bedaya, serimpi, dan Wireng keluar dari tembok Keraton Surakarta. Tari-tari tersebut digali, dipelajari, dan dikembangkan di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah, Sasono Mulyo, dengan mendatangkan sejumlah pakar tari dari dalam keraton.
Setelah pensiun pada 1975, Ngaliman aktif berkesenian ke berbagai daerah dan mancanegara di samping kesibukannya menjadi tenaga pengajar di lembaga pendidikan kesenian formal, seperti Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta), Akademi Seni Tari Indonesia (sekarang ISI Yogyakarta), IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta), dan Institut Kesenian Jakarta. “Pada 1979, Bapak mengajar tari dan karawitan di West Lyon University, Amerika Serikat, selama setahun. Saat itu saya masih di sekolah dasar,” kata Supriyadi, anak bungsu Ngaliman yang juga menjadi penari, pengrawit, dan dosen jurusan pendidikan tari di Universitas Negeri Yogyakarta.
Selain menurun kepada Supriyadi, darah seni Ngaliman, yang wafat pada Maret 1999, mengalir ke sebagian besar anaknya. Dari delapan anaknya, tujuh di antaranya tumbuh menjadi penari, pengrawit, dan pengajar tari. “Kakak-kakak saya juga penari dan mengajar tari. Hanya satu kakak saya yang tidak menari. Dia jadi arsitek,” ujar Supriyadi.
Menurut Supriyadi, selama hidupnya, Ngaliman menciptakan sekitar 50 tari tradisi gaya Surakarta. Meski memiliki dasar yang kuat di bidang seni tari tradisi, Supriyadi menambahkan, ayahnya adalah seniman yang tidak menolak perkembangan zaman. “Justru beliau mengembangkan tarian dari dalam keraton agar tidak mandek. Beberapa tari yang semula gendhing-nya relatif datar dibuat menjadi lebih dinamis hingga memadatkan tari-tari berdurasi panjang tanpa mengurangi esensinya. Tidak mudah memadatkan tari karena harus mengepaskan gendhing-nya juga,” kata Supriyadi.
Di mata sebagian muridnya, Ngaliman bukan sekadar koreografer tari tradisi. Ia juga komponis gendhing beksan gaya Surakarta yang memperkaya khazanah pendidikan seni. “Bagi saya, Pak Ngali adalah seorang maestro yang besar jasanya dalam mengembangkan karawitan dan tari Jawa ke dalam nuansa baru,” ucap pengajar karawitan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Dedek Wah-yudi.
Menurut Dedek, salah satu contoh kebaruan yang disuguhkan Ngaliman bisa dilihat pada tari Gambyong Pareanom. “Tari gambyong memang sudah ada sejak dulu, tapi oleh Pak Ngali digarap dengan gendhing yang berbeda sehingga menghasilkan warna yang baru,” ujarnya. “Pada 1970-an, karya Gambyong Pareanom menjadi tren dan diikuti dengan lahirnya Gambyong Pareanom versi lain. Gendhing pilihan Pak Ngali untuk Gambyong Pareanom dapat bertahan lama sampai sekarang.”
DINDA LEO LISTY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo