Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, di sebuah kota Jawa Tengah, saya berjalan di sekitar patung Jenderal Sudirman yang tegak di atas kuda, dikelilingi pohon-pohon genitri. Sesuatu dalam auranya mencoba jadi bagian yang kekal yang nyaris tergusur lalu lintas di kota yang berubah itu. Seseorang mengatakan, dari pohon-pohon itu ada buah kecil yang bisa disusun jadi tasbih, untuk berdoa. Yang transenden, tampaknya, menyusup di antara deretan biji….
Tapi yang transenden, yang melampaui batas ruang dan waktu, mungkin sebuah imajinasi; khususnya di bangunan itu. Monumen ini juga bagian dari imajinasi kita.
Imajinasi—mungkin sekaligus “sejarah”.
Tiap kali orang berbicara tentang “sejarah”, saya bayangkan sebuah perjalanan panjang. Para pencatatnya—seperti Hegel dan Marx—sering melihat di sana terbentang jalan-jalan besar Kebenaran: dari penindasan ke kemerdekaan, dari jahiliah ke pencerahan (atau sebaliknya).
Tapi benarkah? Seperti monumen, sejarah yang dikisahkan adalah sebuah ikhtisar. Semakin lama saya hidup, semakin sadar saya bahwa ada yang lain di samping itu: kita hidup bukan di jalan raya Kebenaran; kita hidup di lorong dan tikungan Kebetulan.
Sejarah tak punya Peta Google. Peta itu bertolak dari asumsi bahwa semua hal bisa diketahui—dan memang meyakinkan: nun jauh tinggi di langit, satelit memantau dan merekam. Dengan itu manusia telah memenuhi hasratnya untuk serba melihat, dan “melihat” sama artinya dengan “tahu”.
Tapi sesungguhnya kita tak melayang di sebuah drone. Kita berjalan, terkadang dengan kasut tipis, tak jarang dengan kacamata buruk. Tapak kita akan bertemu dengan yang tak dipaparkan Peta Google: lubang di aspal, benjolan di perempatan, parit yang luber airnya, tumpukan tahi kerbau, dan hal-hal yang mendadak melintang. Kita juga bisa tersesat bukan karena peta yang salah, melainkan karena cara kita membaca keliru.
Manusia dirundung rasa cemas. Ada “kerisauan epistemik” terus-menerus, terusik hal-ihwal, dan orang menenteramkan diri dengan menyederhanakan narasi, melempangkan jalur, memotong bagian yang dianggap berlebih—meskipun mungkin sebenarnya tidak. Dalam kerisauan itu disusun sebuah bangunan theori, atau filsafat, tentang apa yang bermula, apa yang berproses, apa yang jadi ujung: sebuah jalan Kebenaran. Dengan itulah Hegel dan Marx bisa mengasumsikan ada “akhir sejarah”, ketika ikhtiar manusia berakhir, sebab yang dihasratkan terpenuhi.
Jalan Kebenaran macam itu bisa memukau—sampai kita sadar: dalam “kecemasan epistemik”, manusia mencoba menghindari yang tak terduga, dengan cara melembagakan mithos ke-serba-tahu-an. Bukan saja tentang waktu yang menggerakkan sejarah, tapi juga tentang ruang.
Pernah, dibangun “panoptikon”: sebuah teknologi pengawasan (tentu saja untuk “tahu”), gagasan pemikir Inggris Jeremy Bentham di akhir abad ke-18, guna memantau gerak-gerik seantero penghuni penjara tanpa mereka sadar bahwa mereka diawasi. Ide ini tak terlaksana, tapi jadi thema penting dalam novel Orwell terkenal, 1984: kisah sebuah kekuasaan totaliter yang tiap detik menguntit kata dan langkah rakyatnya ke mana saja.
Ya, manusia ingin menggantikan Tuhan, bukan sebagai yang Maha-Akrab, tapi yang Maha-Melihat. Orang Jawa menghilangkan rasa cemas mereka dengan kalimat “Gusti Allah ora sare”, “Tuhan tidak tidur”. Ini juga keyakinan bahwa Kebetulan, atau yang tak terduga, atau yang baru, tak pernah ada. Semua sudah ditebak.
Bagi saya itu ketakaburan—meskipun tak diakui. Mungkin juga kekerasan: untuk mengukuhkan bahwa “kami, mengikuti Tuhan, sudah tahu, kami serba tahu” dengan peta jalan Kebenaran orang memangkas segala yang tak dianggap sesuai dengan narasi yang diakui.
Di akhir 1990-an James Scott menulis Seeing Like a State, sebuah telaah yang cemerlang tentang politik dan sejarah. Scott memaparkan bagaimana Negara—bangunan politik yang pernah disebut sebagai “monster yang terdingin” itu—merencanakan masa depan. Di Jerman, di abad ke-19, diterapkan “kehutanan ilmiah”. Pokok-pokok pinus dan cemara ditanam serentak, seragam, sejenis. Di meja ruang-ruang jawatan, tilikan “ilmiah” merasa “tahu” hutan itu seisinya—seraya mengabaikan serangga, mamalia, dan burung-burung. Dua abad yang lalu itu orang belum sadar bahwa keanekaragaman hayati perlu agar hutan mendapatkan “gizi” yang kaya. Dan “kehutanan ilmiah” pun berakhir dengan Waldsterben, kematian hutan-hutan.
Jalan Kebenaran yang lempang telah membangun sebuah ekologi yang diringkus—tendensi yang tak hanya berlaku dalam pengelolaan pepohonan. Dan tak hanya di Jerman abad ke-18. Negara modern dibangun dengan menyederhanakan pelbagai hal agar mudah dikuasai: klasifikasi penduduk, penyeragaman ekonomi dengan uang—hingga terbentuk semacam abridged map, “peta yang diringkas”.
Seperti di depan monumen sejarah, ada yang hilang di sana: hidup yang sesungguhnya tak bisa diikhtisarkan. Kebeneran (sebagai antithesis bagi Kebenaran) tak diakui, surprise dibungkam, dan yang baru dianggap menyimpang.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo