Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam tradisi masyarakat Indonesia, kuliner mengandung metafora. Hal ini bisa dilihat pada acara slametan (selamatan). Dalam kajian Clifford Geertz, slametan merupakan wadah komunal dalam masyarakat yang mempertemukan bermacam aspek kehidupan sosial.
Dalam slametan, ragam kuliner dihidangkan untuk disantap bersama. Setiap hidangan mengandung metafora tertentu. Golong sejodo, misalnya, adalah hidangan utama berwujud sepasang tumpeng. Tumpeng sendiri diartikan sebagai usaha manusia menempuh jalan yang lurus. Adapun apam (apem dalam bahasa Jawa), yang wajib hadir sebagai kudapan dalam slametan, mengandung metafora sebagai permohonan ampunan. Namun lihatlah nasib apam kini. Beberapa waktu lalu, apam mendadak berubah peran. Ia digunakan sebagai kata untuk mengolok-olok organ genital perempuan.
Nenek moyang kita menyebut “yoni” yang dipasangkan dengan “lingga”. Keduanya selalu ditampilkan bersama sebagaimana laki-laki dan perempuan. Yoni dan lingga dimaknai sebagai lambang kehidupan. Pertemuan keduanya diharapkan menghasilkan generasi baru sehingga manusia terhindar dari kepunahan. Janggalnya, kata “yoni” tidak tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, tapi “lingga” ada di sana. Entah apa sebabnya. Makna lingga dalam KBBI V adalah “tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, berbentuk tiang, melambangkan kesuburan”.
Dalam Ensiklopedi Indonesia (1992: 3993), yoni disebut sebagai “alat kemaluan perempuan”. Ia merupakan lambang syakti atau prakrti yang dijabarkan sebagai unsur keperempuanan. Yoni menjadi dasar kepercayaan tentang asal-usul manusia dalam agama Hindu. Lingga-yoni berkaitan dengan mazhab Siwaisme yang menyebar sampai ke Nusantara. Dalam pengertian ini, organ genital perempuan yang dilambangkan dengan yoni memiliki peran religius sekaligus biologis yang sangat penting karena berkaitan dengan keberadaan manusia di muka bumi.
Dalam kesusastraan Jawa kuno, organ genital perempuan punya sejumlah kata. Umpamanya, dalam Babad Jaka Tingkir, ia disebut as. Dikisahkan Sultan murka dan cemburu karena Prabangkara, juru sungging istana, menampilkan titik rahasia vital yang terletak di as Permaisuri dalam lukisannya. Rahasia itu konon hanya diketahui Sultan, tapi Prabangkara ternyata mengetahuinya pula (Goenawan Mohamad, 2003: xv).
Bahasa Indonesia menyebut organ genital perempuan sebagai “vagina”, yang diserap dari bahasa Latin, vâgîna. Kata inilah yang dipakai dalam ilmu pengetahuan, juga dalam obrolan sehari-hari. KBBI V juga menyediakan padanan kata lain, seperti “pepek”, dan “puki”. Sementara itu, setiap daerah mempunyai penyebutan masing-masing yang kerap dipakai dalam percakapan masyarakat setempat.
Ketika vagina berubah menjadi “apam”, masalah pun timbul. Keduanya memang sama-sama kata benda, tapi memiliki fungsi bertolak belakang. Selain berfungsi sebagai liang jimak, vagina merupakan jalan keluar janin yang suci. Sebaliknya, pemilihan “apam” sebagai kata ganti “vagina” konon disebabkan oleh bentuknya. Namun, faktanya, “vagina” dan “apam” sama sekali tidak mirip. Kemiripan yang dipaksakan ini justru menunjukkan niat mengejek. Dengan demikian, makna “apam” menjadi sangat konotatif.
Siapa pun pemakai istilah “apam” adalah orang yang jelas bermaksud merendahkan kaum perempuan. Baginya, organ genital perempuan serupa dengan hidangan kuliner yang bisa dimakan. Melupakan dirinya yang terlahir dari apa yang disebutnya “apam” itu, secara tidak langsung si pengejek juga merendahkan nilai perempuan yang melahirkannya, yakni ibunya sendiri.
Layaknya makanan yang termasuk barang konsumsi, demikianlah makna yang tersirat dari ejekan “apam”. Vagina hendak disamakan dengan kue apam yang dijual di pasar. Artinya, vagina dianggap sebagai barang yang pantas diperjualbelikan. Karena itu, sebagai obyek dagang, sah saja ia dipajang sembari menunggu seseorang membelinya.
Sebagai lelucon dan ejekan, penyebutan ”apam” jelas merupakan bentuk seksisme dalam masyarakat. Media sosial membuat seksisme semacam ini menyebar cepat. Akibatnya, sikap merendahkan perempuan terjadi secara berjemaah.
Kelahiran suatu kata tidak terjadi begitu saja. Ia hadir di tengah-tengah obrolan sehari-hari dan menjadi bagian hidup masyarakat karena suatu alasan tertentu. Salah satunya sebagai cermin dari pola pikir masyarakat yang dangkal. Sudah sepatutnya penyebutan vagina sebagai “apam’ atau apa pun semacamnya dihentikan. Dengan demikian, martabat kita sebagai manusia bisa tetap terjaga. Juga demi bahasa Indonesia yang akan menjadi warisan kita kepada anak-cucu kelak.
*) Novelis, esais
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo