FUNGSI masjid sebagai bangunan dan elemen sosial ternyata telah banyak mengalami perkembangan. Paling tidak, ini yang muncul dalam seminar Aga Khan Award di Yogyakarta pekan lalu. Bahkan, menurut seorang arsitek Mesir Ismail Serageldin, bangunan masjid sejak abad ke-19 telah kehilangan fungsi tradisionalnya sebagai sekadar tempat salat. Masjid, katanya, ketika membawakan makalah "Contemporary Expressions on Islam in Building: the Religious and the Secular", telah berubah menjadi tempat untuk kegiatan sosial lainnya. Perubahan fungsi itu bermula ketika masyarakat Islam harus berhadapan dengan arus modernisasi. Pergeseran dari fungsi ibadah ke fungsi yang lain itu dinilainya sebagai kemerosotan. Masjid seharusnya punya peran sebagai pusat masyarakat Islam di sekitarnya. Secara arsitektur masjid tradisional dengan menara, kubah, gerbang, dan mihrab, telah memancarkan simbol-simbol yang unik. Bahkan makna yang terkandung dalam setiap simbol itu mampu mengatasi tempat dan waktu. Ada sesuatu yang bermakna di balik wujud bangunan yang terlihat dengan mata telanjang. Lewat simbol arsitektur masjid bisa berbicara banyak, baik untuk orang Islam sendiri maupun yang bukan Islam. Kini, masyarakat telah mengalami banyak perubahan. Namun, kata Ismail Serageldin, makna simbolik masjid sebagai pusat masyarakat Islam di sekitarnya hendaknya tetap dipertahankan. Unsur-unsur simbolik dalam menara, gerbang, kubah, dan mihrab bisa saja diubah tanpa harus mengesampingkan makna yang paling mendalam dari simbol yang terkandung dalam masjid sendiri. Untuk itu, kemampuan arsitektural dituntut untuk bisa memenuhinya. Kedalaman arsitek untuk memahami makna masjid dan masyarakat lingkungannya diperlukan. Mereka harus mampu memilah mana yang merupakan kreativitas dan seni berselera rendah. Upaya itu pula yang selama ini dibina lewat Aga Khan Award. Kreativitas punya banyak manifestasi. Namun, apa yang dibuat harus tetap murni bermakna, dan bermanfaat. Banyak jalan untuk mencipta masjid dan lingkungannya yang bisa sesuai dengan masyarakat Islam di sekitarnya. Namun, seperti disebut di atas, pergeseran fungsi masjid itu dapat dikatakan sering sejalan dengan perubahan karakter masyarakat Islam sendiri. Kehidupan masyarakat maju atau di kota-kota besar membuat perubahan karakternya dengan cepat. Tatanan kehidupan masyarakat -- terutama di kota besar -- berubah. Peran masjid sebagai pusat wilayah dan tulang punggung tata kota mulai dipertanyakan. Untuk menjawab itu semua, Serageldin lantas menyodorkan beberapa pegangan. Hendaknya para arsitek tetap punya ukuran, yakni mempertimbangkan nilai-nilai tradisional, bisa diterapkan, modern, dan populer. Yang kemudian justru ramai dipertanyakan dalam seminar yang dihadiri oleh Aga Khan sendiri itu adalah arsitektur masjid yang dianggap terlalu berkiblat ke Arab. Yang dimaksud adalah unsur-unsur menara, kubah, gerbang, dan mihrab yang bercorak Arab. "Apakah arsitektur Islam cuma diwakili oleh arsitektur masjid yang bercorak sangat Arab-sentris itu?" kata Dr. Pramono Atmadi, guru besar arsitektur Universitas Gadjah Mada. Lebih rinci lagi, makna simbolik beberapa komponen arsitektur masjid dianggap tak sesuai dengan situasi dan pemahaman masyarakat sendiri. Misalnya mihrab yang dipakai imam memimpin salat berjamaah. Hal ini memberikan kesan adanya peringkat kedudukan imam dan jemaah. Padahal, di hadapan Allah, manusia sama saja kedudukannya. Menara juga dianggap tak sesuai lagi pada zaman sekarang. Hal ini dilemparkan Soetjipto Wirosardjono, yang membahas makalah Prof. Mohammed Arkoun, guru besar sejarah pemikiran Islam Sorbone, Prancis, yang berjudul "Contemporary Expression of Islam". "Janganlah segala sesuatu yang ada di Arab dijadikan patokan bahwa itulah yang Islam," kata Wakil Ketua Biro Pusat Statistik itu. Ia menunjuk contoh bangunan masjid Indonesia. Ada yang memakai kubah dengan atap tiga tingkat atau menara. "Itu sah saja, tapi kan lebih banyak sifat emosional. Agar itu punya kaitan dengan sumber Islam di Arab sana," katanya. Ia cenderung mengatakan, secara fungsional menara masjid kini sudah tak diperlukan lagi. Ekspresi Islam, termasuk kreativitas arsitekturnya, menurut Mohammed Arkoun, sering mendapat hambatan berupa kontrol kekuasaan politik. Hal ini, katanya, akan mengancam perkembangan arsitektur Islam sendiri. "Negara mana pun melakukan kontrol ideologis terhadap berbagai bentuk ekspresi budaya, intelektual, arsitektur, kesenian, bahkan agama," katanya. Ia mengambil contoh negaranya sendiri, Aljazair. Pemerintah mengontrol ketat arsitektur masjid. Akibatnya, karya arsitektur masjid di negara itu tak dapat dikatakan sebagai karya arsitektur Aljazair. Di Indonesia, pengaruh pemerintah dalam arsitektur masjid juga dibahas. Dalam sebuah makalah berjudul "Indonesian Experience", tiga penyaji menyinggung pembangunan masjid yang disubsidi Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Masjid ini didesain standar, yang kemudian dianggap sebagai bentuk masjid khas Indonesia. Seharusnya, kata Yuswadi Saliya yang menyajikan makalah, tiap daerah punya ciri khas. Ada baiknya arsitekturnya diserahkan ke daerah masing-masing. Bagaimanapun, ekspresi Islam di berbagai negara dan tempat, menurut Mohammed Arkoun, berbeda. "Islam sebagai agama bisa sama pelaksanaannya. Tapi sebagai ekspresi budaya di Indonesia tak sama dengan Maroko, Senegal, atau Prancis," katanya. Pemahaman ini sangat diperlukan oleh para arsitek, sehingga mereka tak serampangan melakukan restorasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini