SWISS, negeri pegunungan yang bersalju, ternyata bukan cuma memikat penggemar ski. Negara berpenduduk 6,5 juta itu kini menjadi kiblat mahasiswa negara berkembang yang ingin belajar di politeknik. Indonesia termasuk salah satu pengirim mahasiswa ke Negeri Arloji itu. Agen tempat menjaring calon peminat yang berbakat, tak lain, sekolah kejuruan atau politeknik. Maka, delapan belas tahun lalu, pemerintah Swiss sudah bekerja sama mendirikan Politeknik Mekanik Swiss-Institut Teknologi Bandung (PMS-ITB). Kebetulan Swiss memang punya pengalaman lama dan metode belajar yang jitu dalam pendidikan yang menekankan bidang praktis. Politeknik tertua adalah Federal Institutes of Technology (ETH), didirikan di Zuerich tahun 1855. Menyusul Hoehere Technische Lehranstalt (HTL) atau semacam institut teknologi 1874. Lulusan politeknik semacam itu diharapkan mampu menjadi ahli dan praktisi teknik. Program kuliah berupa perpaduan antara teori dan praktek. Lama pendidikan empat tahun atau sekitar sepuluh ribu jam, terdiri dari 38% teori dan 62% praktek. Dana sekolah politeknik itu juga dibiayai beberapa perusahaan industri. "Untuk menyelenggarakan pendidikan teknologi dan engineering yang bermutu, tak dapat dilakukan tanpa bantuan pihak industri," kata Prof. Dr. Peter Pscheid, Rektor Ingenieurchule St. Gallen, salah satu politeknik beken di Swiss. Para mahasiswa mendapat kesempatan praktek di pabrik mereka dan mendapat upah sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Agaknya, niat Swiss mengincar mahasiswa pintar terlihat dari dana yang dialirkan ke sini. Di Bandung, pemerintah Swiss telah membiayai 14 juta franc, dan 12 juta lagi untuk PEDC (Pusat Pengembangan Pendidikan Politeknik), masih di Bandung. VEDC (Pusat Pengembangan Pendidikan Kejuruan) mendapat sumbangan 16 juta franc (franc Swiss sekarang Rp 1.415). Lulusan terbaik politeknik Indonesia diincar untuk disekolahkan lagi di Swiss. Politeknik St. Gallen termasuk salah satu tempat yang siap menampung mahasiswa Indonesia yang tak punya biaya. Beasiswa diberikan selama 4 tahun kepada calon yang punya nilai 7, berpengalaman kerja 2 tahun, dan lulus tes bahasa Jerman. Jadwal belajar sangat ketat. "Programnya berat. Tapi itu juga dirasakan oleh mahasiswa dari Swiss sendiri," kata Supriyono Raharjo, alumni asal Asia pertama dari St. Gallen. Selama belajar, lulusan Akademi Teknik Mesin Industri St. Mikael Solo itu mendapat kesempatan bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji Rp 2,7 juta sebulan. Kerja praktek di pabrik rata-rata 32 jam dan pelajaran teori di sekolah 23 jam seminggu. Dengan gaya pendidikan teori-praktek itu, lulusan St. Gallen dipastikan bisa langsung bekerja. Itu pula yang dialami 20 mahasiswa Indonesia yang mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di politeknik St. Gallen. "Suatu hal yang patut diacungi jempol bahwa mahasiswa dari Indonesia bisa menyelesaikan studinya dengan baik di sini," kata Peter Pscheid. Memang, soal teori dan praktek sendiri tak selalu menjadi halangan bagi mahasiswa Indonesia. Rustaman S., lulusan Institut Technikum Winterthur, Swiss, punya kesulitan bahasa dan budaya. Apalagi bila dibandingkan dengan mahasiswa lokal. Selama bekerja di pabrik pembuatan peralatan mesin, Rustaman digaji Rp 4 juta, setara bayaran bagi orang Swiss sendiri dari tingkat yang sama. "Saya puas karena berhasil menciptakan mesin pembuat alat yang saya rancang sendiri," kata Kepala Bidang Pendidikan PMS-ITB itu. Dan dari sekolah politeknik itulah akan diperoleh tenaga siap pakai. Tenaga yang berilmu dan terampil dalam praktek. Rustam F. Mandayun (Jakarta), Kastoyo Ramelan (Solo), Dwiyanto Rudi S. (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini