The Post Corporate World Kehidupan Setelah Kapitalisme
Penulis : David C. Korten
Penerjemah dan pengantar : A. Rahman Zainuddin
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Oktober 2002
Setiap kali terbit buku dengan fokus pembangunan dunia, muncul pertanyaan: perlukah masa depan pembangunan umat manusia dirumuskan kembali? Buku The Post Corporate World karya David C. Korten secara gamblang menunjukkan bahwa pembangunan dunia masa depan perlu dikaji ulang.
Korporasi tingkat dunia dapat dianalogikan dengan seekor laba-laba yang membuat jaring untuk dijadikan tempat jebakan bagi mangsanya. Dengan kekuatan uangnya, mega-korporasi membuat jaring-jaring perangkap yang terdiri dari agen resmi internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia. Agen tersebut menyediakan dana bagi negara miskin untuk kemudian dikembalikan berikut bunganya. Secara otomatis, negara yang meminjam utang akan memiliki dua beban: utang dan bunga utang. Beban seperti ini menyebabkan negara-negara miskin bertambah miskin.
Korporasi juga mendirikan berbagai usaha dalam skala dunia sehingga produksinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat seantero jagat. Berkat pengelolaan yang piawai dan berskala luas, mereka mampu dan berpeluang menyetir para politikus setiap negara sehingga kebijakan yang dikeluarkan dapat menguntungkan usahanya.
Menurut David C. Korten, korporasi yang dikembangkan negara maju justru menciptakan kesenjangan sosial baru antara negara kaya dan negara miskin. Dengan segudang pengalamannya sebagai pekerja pembangunan (development worker) yang kurang-lebih 30 tahun membantu pendidikan manajemen modern di negara miskin dan berkembang seperti Ethiopia, Nikaragua, Filipina, bahkan Indonesia, ia makin yakin bahwa di balik keindahan konsep-konsep korporasi yang membius justru terbawa kemiskinan dan kemelaratan bagi sebagian besar penduduk dunia. Dengan senjata modal (kapital), keganasan korporasi layaknya kanker mematikan yang pelan-pelan tetapi pasti mengubah dunia.
Buku ini semula dipersiapkan untuk sebuah proyek PCD Forum (The People-Centered Development Forum—Forum Pembangunan yang Berpusat pada Manusia), yaitu forum aliansi tidak resmi dari berbagai organisasi dan aktivitas yang mengabdikan diri untuk menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan langgeng melalui aksi warga negara secara sukarela.
Dalam buku ini David menggambarkan dengan jelas berbagai akibat yang ditimbulkan oleh mega-korporasi dunia, di antaranya: terkurasnya modal sumber daya alam, manusia, sosial, bahkan lembaga pemerintahan. Ia membuktikan bahwa gaya berusaha korporasi cenderung merusak, seperti mengikis habis hutan, perikanan, dan cadangan tambahan, kondisi kerja di bawah standar, memberi gaji rendah, memperlakukan buruh sebagai barang, dan masih banyak lagi. Semua itu dibenarkan dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan manusia yang makin banyak dan makin berkembang.
Kelembagaan kekuasaan pemerintah juga tidak terlepas dari penggerogotan fungsi ini. Mereka membayar jutaan dolar dalam bentuk kontribusi kampanye untuk memperoleh subsidi pemerintah, penghapusan utang, penghapusan pajak, serta berjuang untuk memperlemah standar lingkungan, kesehatan, dan perburuhan yang sangat penting bagi masyarakat untuk jangka panjang (halaman 92).
Untuk menentang mega-korporasi ini, David sadar bahwa pengabdiannya ini harus dimulai dari akarnya: masyarakat. Yaitu dengan cara berjuang bersama di seluruh sektor, negara, seluruh garis ras, jenis, umur, yang memiliki visi yang sama. Dengan kebersamaan dalam masyarakat, akan tercipta suatu peradaban baru yang dapat membangun dan menyeimbangkan ekosistem kehidupan yang ada.
Konsep yang ditawarkan David dalam bukunya ini sangat menarik disimak. Dari berbagai pengalaman yang ia jalani selama 30 tahun, dengan pemikiran yang kaya akan berbagai perspektif, buku ini menjadi sangat berkualitas. Di samping itu, bahasa yang sederhana menjadikan konsep yang ia tawarkan mudah dipahami dan dimengerti pembaca.
Bagaimanapun, berbagai gagasan yang dikemukakan oleh David C. Korten membantu membuka cakrawala pemikiran kita agar pembangunan diarahkan pada perspektif manusia, dan bukan manusia dijadikan obyek pembangunan.
Paulus Mujiran, wartawan dan penulis lepas di Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini