Rumah tiga lantai itu seperti rumah belum jadi. Rangka bajanya telanjang. Dinding batakonya tidak terplester semen. Sebagian dindingnya bahkan hanya ditempeli lempengan aluminium. Lantai dasarnya seperti tak bertepi, karena hampir seluruh dindingnya terbuat dari kaca. Sungguh, sosok yang sangat kontras di lingkungan perumahan KPR-BTN di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur ini.
"Rumah ini lebih mirip pabrik." Basriyanti, penghuni rumah itu, mengakuinya, tapi dengan nada bangga ketimbang pasrah. Pekan lalu, lebih dari setahun, ia hidup bersama suaminya, Sugiharto, dan tiga anaknya di sebuah bangunan kaku yang—bahkan—oleh para tetangganya dijuluki "rumah besi" itu.
Rumah Basriyanti mungkin seperti sosok Si Bongkok dari Notre Dame karya Victor Hugo: di luar kelihatan tak menyenangkan, di dalam sebuah taman menyejukkan. Ruang yang tersedia lumayan melimpah. Ketiga anaknya punya kamar tidur dan ruang bermain. Dan ruang tidur utamanya pun luas. Itu pun masih ditambah ruangan multifungsi nan lapang di lantai dasar. Ruangan itu sehari-hari berfungsi sebagai ruang duduk dan ruang makan. Total seluruh "pabrik" ini menyimpan 4 kamar tidur, 3 kamar mandi, ruang bermain, gudang, ruang duduk, ruang makan, dapur, dan satu kamar pembantu. "Luas bangunan total 114 meter persegi," ujar Ahmad Djuhara, arsitek perancangnya.
Tentu, dibandingkan dengan kediaman sebelumnya, rumah besinya luar biasa. Waktu itu mereka mendiami sebuah rumah tipe 36 tidak jauh dari rumahnya kini. Di rumah lama, ruangan yang lapang merupakan sebuah kemewahan. Rumah tipe 36 hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi.
Efisien, memang, tapi bagaimana dengan ongkos yang harus dikeluarkan? Untuk bangunan seluas itu, Basriyanti perlu modal sekitar Rp 75 juta. Bandingkan dengan fungsi ruang yang sama pada rumah-rumah di kawasan realestat Cibubur, misalnya. Anggaran Rp 200 juta belum tentu mencukupi. Bahkan dengan anggaran sekitar Rp 100-an juta pun, mungkin hanya didapat rumah tipe 36 dengan lahan yang sempit.
Rumah baja (baca: rumah berkonstruksi baja) bisa jadi saat ini menjadi sebuah terobosan baru, terutama bagi masyarakat perkotaan yang selalu berhadap-hadapan dengan masalah lahan sempit. "Baja memungkinkan bangunan bertingkat, sehingga lahan yang tersisa banyak," ujar pengamat arsitektur dan tata kota Marco Kusumawijaya kepada TEMPO. Dengan kata lain, konstruksi baja lebih efisien jika dibangun ke atas.
Konstruksi rumah baja memang punya beberapa keuntungan. Selain berkesan modern, ruangan bisa ditata modular sesuai dengan panjang standar baja, 6 meter. Ini menjadikan ruangan yang ditata sangat efisien—cenderung minimalis. Lantai pun tidak harus dari dak beton yang akan menambah beban. Material yang sesuai bisa dari kayu atau lempengan aluminium. Dinding lebih mudah lagi. Kaca bisa dipakai untuk menambah kesan luas, ringan, dan transparan. Atau material corrugated metal, sejenis aluminium, sebagaimana yang terdapat pada rumah yang mendapat penghargaan IAI Award kategori terpuji (citation) itu.
Metal seperti baja memang sangat banyak menyerap panas, tapi rumah besi ini punya cara tersendiri untuk menanganinya. Untuk mengakali udara panas, Djuhara memperbanyak ventilasi silang pada ruangan-ruangannya. Ia membuat banyak bukaan seperti pintu dan jendela. Bahan tambahan seperti serat glasswool tetap disisipkan di sebagian dinding dan atap, untuk menyerap panas. Hasilnya, di tengah terik matahari saat TEMPO berkunjung ke sana, suhu ruangan rumah ini tak begitu panas. "Malah rumah saya yang dulu agak lebih panas, karena nggak ada sirkulasi udara," ujar Basriyanti.
Belakangan, PT Krakatau Steel mulai melirik konsep rumah baja ini. Melalui forum Masyarakat Material Indonesia (MMI), perusahaan BUMN ini mengajak arsiteknya mengembangkan rumah baja. "Kami menjajaki apakah ada kemungkinan rumah baja dapat dibangun massal dalam realestat," ujar Sulistyadi, perencana teknologi dari Krakatau Steel, kepada TEMPO. Marco masih meragukan rumah baja lebih ekonomis daripada rumah biasa, tapi ia menilai rencana ini lebih masuk akal. "Jika rumah baja dibangun massal, memang akan jauh lebih murah," ujarnya.
Sejauh ini Djuhara dan rekan-rekannya berhasil menelurkan 26 model rumah baja. Mereka membuat model yang ditawarkan Krakatau Steel, terdiri dari rumah bernilai Rp 200 juta hingga rumah sederhana seharga Rp 50 juta.
Ada beberapa solusi menarik yang ditawarkan pada model-model ini. Rancangan Adi Pernomo, misalnya. Dengan rumah seharga 50 juta, Adi membangun rumah dua lantai dengan menyisakan banyak ruang terbuka di lantai dasar. Atau pada rancangan Sardjono Sani, yang berusaha mendefinisi ulang arti nyaman dan privasi pada sebuah hunian, terutama yang beranggaran minim. Dengan modul baja yang ada, Sardjono memberikan kebebasan pada penghuninya untuk mengatur fungsi ruangan. Sehingga ruangan privat di lantai dua dibiarkan tanpa sekat.
Dari sekian model itu, nantinya Krakatau hanya akan memilih tiga model untuk dibangun sebagai rumah contoh di sebuah lahan di Cilegon, Jawa Barat. "Diharapkan, setelah itu ada developer yang tertarik memperbanyak," ujar Sulistyadi. Hingga tahap ini, rumah baja memang masih eksperimental. Tapi ini bisa menjadi sebuah solusi desain hunian di perkotaan. Sebuah rumah, beberapa ruang: bukankah itu mewah untuk kota-kota yang padat berkeringat ini?
Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini