JREENG . . . ! Setelah menunggu Bill Sharpe memainkan keyboards-nya, maka Jill Saward, si penyanyi cewek berdada subur itu, lantas mendesahkan--dengan napas terengah-engah, dalam bahasa Inggris, tentu--"Lebih mudah ngomong daripada membuktikannya!" Dan penonton, yang harus merogoh Rp 45 ribu (belum termasuk pajak) untuk bisa menyaksikan Shakatak bermain di Hotel Mandarin, Jakarta, empat malam berturut-turut pekan lalu, seperti biasanya menganugerahkan tepuk tangan menah. Buat penonton Jakarta, yang notabene jarang menyaksikan pertunjukan musik kaliber jagat, kedatangan kelompok dari Inggris Raya ini mungkin boleh menghibur telinga dan mata. Padahal, sekitar empat tahun lalu kawanan ini--Bill Sharpe Roger Adell, itu si pemain drum dengan mata cekung dan Keith Winter, pemetik gitar berwajah mesum - masih menggelandang di pinggiran London, di bawah naungan kelompok Track, menawarkan musik apa saja bagi yang mau mendengar. Baru setelah Nigel Wright (sekarang naik pangkat jadi manajer) dan pemain bas yang doyan mencabik senarnya (yang sekarang hengkang), Steve Underwood, bergabung, mereka sepakat menamakan kelompok baru itu Shakatak. "Sebuah nama yang tak punya arti apa pun," kata Roger Adell, terkekeh-kekeh, kepada TEMPO. Tapi kok enak juga didengar," tambahnya. Mengumpulnya lima "gelandangan" ini lantas menghasilkan rekaman berjudul Stepiiusul dengan Fells Like the Right Time, Living in the UK, dan Brazilian Daqem. Dari situlah nama mereka mulai disimak para penggemar jazz rock di Eropa dan Amerika. Apalagi lagu-lagu mereka ada di deretan tangga lagu-lagu populer di sana. Itu, kabarnya, bisa menjadi jaminan kelangsungan hidup. Masuknya pemain bas berkulit hitam legam dengan gaya menggemaskan, George Anderson, dan usaha menyisipkan suara cewek untuk melengkapi musik mereka, ternyata makin membawa keberuntungan. Dan itu kian menjadi-jadi setelah mereka bertutur tentang burung-burung malam dalam rekaman Night Birds, yang menghasilkan piringan emas. Kedua "ijazah" itulah, paling tidak, yang menjadi modal perjalanan perdana mereka keliling dunia untuk memproklamasikan rekaman terbaru, Do7n on the Street begitu juga maksud kedatangan mereka di sini. Apa yang menJadlkan mereka masyhur? "Sebenarnya, kami datang (ke dunia musik) tanpa membawa konsep apa pun," tutur Bil Sharpe, yang paling rajin mengotak-atik not di kelompok itu. "Pada dasarnya, kami cuma pemain yang senang musik. Itulah konsep kami," ujarnya sambil tersenyum. Mungkin itu ucapan jujur, mungkin pula tidak. Seperti kata Roger, "Shakatak telah memberi kesempatan kepada kami melanglang buana, memiliki rumah bagus, punya mobil mentereng." Itu saja. Kendati begitu, masih ada hal lain yang bisa dicatat dari kehadiran Shakatak di blantika fusion-jazz -- bagian jazz yang lebih digemari kaum belia. "Musik tidak cuma jalinan dan paduan instrumental belaka ia akan lebih bernyawa dengan lirik sepadan," kata Roger, si perangkai syair lagu, yakin. Musik-musik yang dimainkan Shakatak, yang bernenek moyang dari fusi antara jazz, yang menuntut keterampilan bermain alat, dan musik rock, yang mengobarkan semangat, banyak yang tidak memerlukan penjelasan verbal. Apalagi irama aliran musik ini kaya ulah: penuh hentakan yang kadang mengejutkan datangnya. Peranan pemain bas dan pemukul drum cukup dominan untuk menghadirkan kejutan-kejutan itu. Kata Candra Darusman, sarjana ekonomi yang lebih dikenal sebagai penggubah lagu, kecenderungan seperti itu lazim saja. Katanya, "Inilah yang membedakannya dengan musik-musik balada rakyat, misalnya, yang justru membutuhkan kehadiran lirik sebagai ekspresi perasaan mereka." "Bukankah orang sekarang ingin mendengarkan musik tanpa banyak berpikir? Yang penting, mereka suka," ujar Bill. Karena itulah penampilan mereka di hotel megah berbintang lima di Jakarta ini belum bisa dijadikan ukuran untuk menilai kehebatan kelompok itu. Toh, tanpa banyak bersusah payah di panggung, mereka sudah bisa membuat penonton bertepuk tangan, sambil melupakan mahalnya karcis. Terasa manis, memang - terutama dengan kehadiran Jill Saward, yang lebih banyak menunggu giliran. Tapi selain bau sang nona, gaya George Anderson pun banyak memberikan sumbangan di panggung yang miskin dukungan tata cahaya itu. Boleh saja Anda merasa beruntung didatangi kelompok itu. Kapan ada kelompok musik sini yang bernasib seperti mereka? Jreng .... James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini