Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Menghidupkan Kembali Puing Kunstkring

Pemugaran gedung Bataviasche Kunstkring tidak sempurna. Walau begitu, konservasi ini merupakan contoh pemugaran yang baik.

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bataviasche Kunstkring adalah salah satu galeri seni lukis Hindia Belanda yang terpandang pada dekade 1920–1930-an. Gengsi dan tingkat ekonomi seorang pelukis akan terangkat jika berhasil menggelar pameran di gedung yang tepat berada di pangkal Jalan Van Heutzboulevaard—sekarang Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, itu.

Pada sore atau malam hari, gedung ini menjadi ajang kongkow para pelukis Eropa yang tergabung dalam Nederlandsch-Indie Kunstkring, di antaranya Theo Meier, pelukis realis kelahiran Swiss (1908–1982) yang pernah 22 tahun tinggal di Bali, dan Ernest Dezentje, pelukis realis asal Belanda (1884–1972) yang melukis pemandangan daerah-daerah di Indonesia. Sejumlah karya seniman besar seperti Pablo Picasso, Marc Chagall, dan Cornelis Theodorus Maria van Dongen juga pernah dipamerkan di Kunstkring.

Reputasi Kunstkring atau disebut juga Kunstkringgebouw sebagai pusat seni tamat bersamaan dengan ber-akhirnya penjajahan Belanda di Indonesia. Gedung yang dibangun pada 1912 itu kemudian terus bersalin fungsi. Pernah menjadi kantor Majelis Islam A’ala Indonesia, kantor Jawatan Imigrasi, hingga pada 1999 jatuh ke tangan swasta.

Reputasi itulah yang kini hendak dihidupkan kembali dengan memugar gedung tersebut. Arya Abieta, arsitek yang ditunjuk Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, harus kerja ekstrakeras demi menghidupkan kembali roh Kunstkring.

Hasilnya, kendati mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia DKI Jakarta, pada Desember 2006 lalu, Arya tidak benar-benar puas. Selain problem teknis, juga karena minimnya anggaran yang hanya Rp 3,4 miliar, plus tenggat mepet: harus selesai sebelum 2006. ”Seharusnya, dana untuk konservasi yang ideal tidak boleh terlalu ketat,” katanya.

Pekerjaan itu memang tidak mudah. Ketika dibeli pemerintah daerah DKI Jakarta pada 2002, Kunstkring lebih mirip puing ketimbang bangunan. Gedung karya arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen itu sudah ”babak belur”. Semua kusen pintu dan jendela hingga kaca-kacanya lenyap dijarah. Ornamen-ornamen lampu amblas.

Padahal, Kunstkring bukanlah karya sembarangan. Bangunan ini menggunakan teknologi beton bertulang, yang membuat bangunan lebih kukuh, sehingga tidak diperlukan kolom atau tiang penyangga pada bentangan yang sangat luas. ”Kunstkring termasuk yang pertama menggunakan teknologi itu,” kata Han Awal, arsitek senior Indonesia.

Bangunan ini juga menggambarkan peralihan dari gaya Art Nouveau ke modern. Kunstkring masih memiliki ornamen, yang merupakan ciri khas Art Nouveau, tapi tidak terlalu rumit dan ramai. Tampak betul pengaruh Hendrik Petrus Berlage yang disebut sebagai Bapak Arsitektur Modern Belanda.

Moojen yang semula berprofesi sebagai desainer interior sebenarnya adalah pembuat rencana induk kawasan Gondangdia, yang pada waktu itu merupakan perluasan pertama wilayah Batavia. ”Kembaran” Kunstkring adalah kantor Bouwmaatschappij NV de Bouwploeg, yang merupakan kantor pengembang kawasan itu—kini menjadi Masjid Cut Meutiah. Kedua gedung itu menjadi tetenger sekaligus pintu masuk kawasan Gondangdia.

Dengan beban berat seperti itu, pekerjaan Arya memang sulit. Dia harus membuat gedung yang dibangun pada 1912 itu semirip mungkin dengan bentuk aslinya. Pertama, dia harus berburu semua kusen dan ornamen, tapi gagal total. Dia juga harus mencari dokumen yang menunjukkan bentuk asli sedetail-detailnya. Sebagian dokumen harus diminta ke Belanda.

Foto-foto dan dokumen zaman bahuela itulah yang jadi pedoman pemugaran. Apalagi, sebagian bangunan sudah berubah bentuk dari aslinya. ”Memugar bangunan tua tidak beda dengan memugar candi,” kata Arya. Tidak boleh serampangan, asal bongkar dan pasang. Setiap tindakan harus didasarkan pada bukti dokumen pendukungnya dan dikonsultasikan dengan Sidang Pemugaran Arsitektur DKI Jakarta yang beranggotakan para arsitek senior, arkeolog, dan pemerintah daerah.

Selain bentuk, kaidah yang harus ditaati dalam arsitektur forensik adalah materi yang digunakan; sebisa mungkin memanfaatkan bahan material asli. ”Kalaupun terpaksa diganti, harus menggunakan material yang sama,” kata Han Awal. Pemugaran tidak boleh menghilangkan jejak sejarah.

Problemnya, sangat sulit mencari tukang yang masih menguasai teknologi material masa lampau. Arya harus berkali-kali melakukan uji coba agar mendapat bahan dan bentuk yang mendekati asli. Mencari kontraktor berpengalaman dalam proyek konservasi pun mustahil. Arya terpaksa menunjuk kontraktor biasa, tapi bekerja dengan pengawasan ekstraketat. Maka, dibuatlah tim pendamping yang melibatkan lima arsitek dan arkeolog, di antaranya Han Awal.

Bambang Eryudhawan, arsitek yang juga mantan Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia DKI Jakarta, mengatakan, pemugaran gedung bekas kantor imigrasi itu patut dihargai karena jarang sekali orang mau melakukannya. Menurut Yudha, IAI Jakarta memberikan penghargaan kepada pemugaran Kunstkring untuk menunjukkan bahwa konservasi tersebut telah dilakukan secara benar. ”Karena, biasanya, orang sembarangan saja memugar bangunan-bangunan tua,” katanya.

Menurut Candrian Attahiyat, Kepala Subdinas Pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, ada 216 bangunan cagar budaya yang berupa bangunan terserak di berbagai penjuru Jakarta. Seharusnya, untuk memugar bangunan-bangunan tersebut, pengawasan dilakukan sangat ketat dan setiap perubahan bentuk harus dengan izin Sidang Pemugaran Arsitektur DKI Jakarta.

Pada prakteknya, hal itu nyaris tidak dilakukan. Menurut Yudha, banyak sekali contoh-contoh bangunan lama yang telantar atau direnovasi secara sembarangan. ”Bahan ada beberapa yang hilang karena dibongkar dan dibangun kembali secara berbeda,” katanya. Hasilnya mungkin tak sebagus Bataviasche Kunstkring.

Sapto Pradityo


Rumitnya Menghidupkan Kunstkring

  1. Menggambar ulang bentuk asli Kunstkring berdasarkan dokumen lama yang asli.

  2. Pengetesan kekuatan struktur bangunan dengan menaruh kantong-kantong air di lantai atas.

  3. Mengerok tembok untuk mencari warna dan komposisi bahan cat asli.

  4. Menambal lantai dan tembok. Untuk menguji komposisi material tembok, sampelnya dikirim ke laboratorium konservasi di Borobudur, Jawa Tengah.

  5. Membersihkan fresko, gambar yang biasanya dibuat pada langit-langit atau tembok bagian atas, dan mengganti tiang penyangga kayu dengan logam.

  6. Rekonstruksi pintu dan jendela berdasarkan dokumen dan perbandingan bangunan seumur, seperti gedung Vincentius di Senen, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus