Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika menjejakkan kaki di Pendapa seusai pelantikannya sebagai gubernur, Irwandi Yusuf seolah menemukan pertaliannya dengan masa yang telah lampau: “Seakan-akan saya selalu berada di sini,” ujarnya. Lelaki asal Bireuen itu menempati Pendapa—kediaman resmi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam—setelah dilantik pada 8 Februari lalu.
Sejumlah pendahulunya telah memandu tanah Aceh dalam berbagai-bagai masa. Tapi, boleh jadi, tak ada pemimpin setempat yang sedemikian riuh menarik perhatian dunia seperti Irwandi Yusuf. Dia dipilih dalam pilkada terbesar yang pernah dilangsungkan di negeri ini: 2,6 juta rakyat mencoblos dalam satu hari untuk menentukan seorang gubernur dan 19 bupati.
Jakarta berdebar-debar, jiran jauh dan dekat terpaku matanya ke provinsi di ujung utara Pulau Sumatera itu. Klimaks pecah tatkala seorang dokter hewan yang pernah menduduki posisi penting Gerakan Aceh Merdeka ditetapkan anak negeri Aceh sebagai gubernur. Irwandi Yusuf, 47 tahun, pun naik panggung. “Memang Aceh sering salah dibaca dari Jakarta maupun luar negeri,” ujarnya dalam wawancara dengan Tempo ketika namanya kian kukuh sebagai calon pemenang.
Hasil pemilu itu memang menuntut kompromi. Bagaimanapun, Irwandi adalah bagian dari barut masa silam tatkala Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia berseteru dalam tempo yang panjang—hampir tiga dekade. Maka, walau rakyat Aceh bersuka cita, kegeraman dan amarah terdengar dari beberapa sudut Indonesia, antara lain Jakarta. “Mengapakah kita membiarkan seorang yang pernah mengangkat senjata melawan negeri ini untuk memimpin?” keluh seorang tentara tua yang pernah bertugas di Aceh.
Namun, Aceh telah memilih dengan dunia sebagai saksinya. Maka, lelaki setinggi 155 sentimeter dengan potongan tubuh kukuh itu mengendalikan pemerintahannya dari ruang-ruang kerjanya di Pendapa. Sikap independen dari masa perjuangan dulu masih terus melekat pada dirinya. Irwandi gemar menyetir mobil sendirian ke mana-mana, walau kantornya menyediakan sopir dan pengawal. “Menggunakan sopir rasanya seperti orang lumpuh,” ujarnya kepada Tempo. Di depan media massa, ayah lima anak ini juga kerap tampil amat kasual, jauh dari penampilan resmi seorang birokrat.
Perjalanan hidup pria kelahiran Bireuen ini cukup berwarna. Setelah menyelesaikan kuliah kedokteran hewan di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada 1987, dia menjadi dosen. Gelar master di bidang kedokteran hewan diraihnya dari Oregon State University, Amerika Serikat.
Komunikasi dengan kawan-kawannya di Aceh tak putus selama Irwandi berada di luar negeri. Pada 1998, setelah menyelesaikan pendidikan, dia bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka. “Saya melihat kedaulatan Aceh hilang karena ketidakadilan,” dia memberikan alasan.
Irwandi adalah salah satu dari sedikit tokoh intelektual GAM yang aktif membawa perihal organisasi itu ke dunia internasional. Dia mondar-mandir antara hutan dan kota. Tugasnya lebih banyak di bidang diplomasi dan advokasi. “Bisa dibilang, kantor pertama GAM di rumah saya, di Banda Aceh,” katanya. Pada masa itulah, dia menggunakan enam nama samaran untuk menghindari pelacakan.
Sempat dipenjara, Irwandi keluar dari bui tatkala bencana tsunami menerjang Aceh pada Desember 2004. Ribuan bangunan ambruk, termasuk penjara yang sudah 11 bulan menjadi tempat tinggalnya. Dia kembali ke Bireuen.
Setahun kemudian, setelah perjanjian damai antara GAM dan pemerintah ditandatangani, ahli strategi GAM itu diminta menjadi perwakilan senior di Aceh Monitoring Mission (AMM) yang memantau pelaksanaan perjanjian damai. “Kini tugas saya tetap mengawal perdamaian di Aceh,” katanya.
Sabtu dua pekan lalu, dia menerima wartawan Tempo Herry Gunawan dan Adi Warsidi di Pendapa, Banda Aceh, untuk sebuah wawancara khusus.
Berikut ini petikannya:
Seperti apa langgam perubahan hidup Anda setelah masuk ke birokrasi?
Ironis betul. Sebagai pejuang kemerdekaan, saya justru kehilangan kemerdekaan. Saya sekarang terjajah. Waktu untuk berkumpul dengan teman-teman mantan GAM berkurang. Tidak ada liburan. Inilah risikonya dalam posisi sekarang.
Bagaimana hubungan dengan mantan anggota GAM? Apakah mereka masih memusingkan Anda?
Tidak. Mereka bahkan sudah membuat rapat untuk tidak membuat permintaan yang aneh-aneh.
Aneh-aneh bagaimana?
Tidak ramai-ramai dan berbondong-bondong minta ini atau itu. Mereka berpendapat bahwa saya dikorbankan. Sehingga, mantan panglima wilayah membuat kebijakan bahwa tidak ada mantan pasukan GAM yang berhubungan langsung dengan Irwandi. Kalau ada sesuatu, mereka harus lapor ke wilayah masing-masing.
Lalu apa solusinya? Bukankah ada ribuan mantan anggota Gerakan yang masih menganggur?
Betul, itu memang masalah dan beban yang berat. Sudah setahun lebih sejak perdamaian, mereka belum punya pekerjaan. Mungkin dalam satu atau dua tahun masih tidak masalah. Tapi selebihnya tidak bisa begitu lagi. Untungnya mereka punya disiplin dan moral yang kuat sehingga masih patuh pada siapa yang dituakan.
Kami mendengar masih ada benturan di lapis tertentu Gerakan.…
Jika ada benturan di bawah, itu di mana-mana juga ada. Apalagi di Aceh, yang (merupakan wilayah) bekas konflik.
Apa saja potensi buruk yang bisa muncul jika mantan anggota GAM merasa diabaikan?
Rasa frustrasi, timbul gangguan di sana-sini. Kalau kita bicarakan, mereka pasti akan bilang, “Pemerintah sendiri yang bohong, kan, bukan salah kami.” Mereka akhirnya tidak mau ikut kita lagi. Sedikit-sedikit, sudah ada tanda kekecewaan itu.
Bisa beri contoh?
Misalnya, soal dana yang Rp 750 miliar (dana reintegrasi yang dikelola oleh Badan Reintegrasi Aceh atau BRA, yang juga diperuntukkan bagi ahli waris korban konflik, serta Pembela Tanah Air—Red.)
Kami mendapat informasi, mantan anggota GAM juga kecewa karena yang lebih dulu mendapat kompensasi dari BRA adalah anggota milisi (Pembela Tanah Air). Apa komentar Anda?
Memang, masalah milisi tidak pernah disebut-sebut dalam perjanjian damai Helsinki. Sekarang ada 6.000-an milisi, GAM ada sekitar 12 ribu. Ada penolakan dari GAM di lapangan terhadap dana untuk Pembela Tanah Air.
Apa sikap Anda?
Saya bilang, “Itu uang dari bapak kasih ke anaknya (pemerintah RI ke milisi—Red.), ngapain kamu urus? Kan bukan uangmu?” Dengan itu, mereka tak menanyakan lagi.
Ada yang bilang soal ini bisa menambah frustrasi mantan anggota GAM.
Makanya, saya katakan, tolong pemerintah pusat cukupkan dana. Uang untuk Pembela Tanah Air sebenarnya tidak masalah asal jangan diprovokasi, diatur-atur sedemikian rupa.
Nah, Anda sendiri kan kepanjangan dari pemerintah pusat. Apa yang akan Anda lakukan?
Efek itu bisa diatasi apabila ekonomi untuk grass root bisa diluncurkan. Banyak kanun (peraturan daerah) yang menyangkut kewenangan BRA belum selesai, begitu juga kanun menyangkut tanah. Umpama, soal alokasi tanah untuk rakyat.
Anda punya saran untuk ini?
Makanya, masalah (kekuasaan terhadap) tanah ini tolong segera dilimpahkan ke Aceh. Sehingga, kalau ada investor pun kami bisa cepat. Tak perlu pengurusan ke Jakarta yang butuh waktu.
Tolong jelaskan hubungan antara pemberdayaan rakyat dan soal tanah.
Saya ingin memulai pembangunan ekonomi dari bawah, yaitu ekonomi rakyat: pertanian. Bagi warga miskin yang jumlahnya sekitar 48 persen di Aceh (dari total penduduk sekitar 4,2 juta jiwa), akan saya bagikan tanah perkebunan. Masing-masing 4 hektare. Ada 100 ribu hektare yang bisa dibagikan dan semuanya tidak bermasalah—tidak ada urusannya dengan hutan lindung. Kami berharap (langkah) ini akan langsung mengurangi jumlah pengangguran.
Anda yakin warga yang menerima tanah ini mampu mengelolanya?
Saya yakin. Kami sudah bekerja sama dengan sebuah perusahaan di Malaysia. Tanah-tanah ini akan dikelola untuk perkebunan sawit dan cokelat. Pola kerja samanya, Malaysia membantu manajemen (pengelolaan) sekaligus menjadi kreditor. Pelaksanaannya tinggal tunggu kanun.
Pola kerja samanya seperti apa?
Konsepnya, pada setiap 10 ribu hektare perkebunan sawit (dengan 2.500 petani) akan dibangun satu pabrik pengolahan. Di perkampungan ini akan dibangun sekolah dan rumah sakit. Para petani pemilik tanah akan bekerja di kebun sendiri. Mereka digaji sampai panen dan menjual hasilnya ke pabrik pengolahan milik pengusaha tadi. Saat penjualan itulah (perusahaan Malaysia) sekalian memotong kreditnya. Setelah 15 tahun, kredit selesai. Kebun serta isinya menjadi milik petani. Pengusaha juga mendapat hak sebagai pengekspor.
Kerja sama dengan perusahaan Malaysia ini apakah merupakan hubungan lanjutan yang Anda bangun sejak masih di GAM?
Ya, bisa juga dikatakan begitu. Lagi pula, ke mana pun kita pergi, semuanya siap membantu. Sebenarnya ini momentum karena takdir Tuhan. Momentum ini membuat bukan hanya orang Malaysia yang sayang kepada Aceh, tapi seluruh dunia sayang kepada Aceh.
Apa alasan Anda memprioritaskan ekonomi kerakyatan?
Kalau sekarang ekonomi Aceh terlihat seolah gemerlap, itu hanya gelembung-gelembung kosong.
Maksud Anda ini semu belaka?
Ya, semu. Gelembung ini akan pecah ketika ratusan organisasi nonpemerintah yang saat ini membantu rekonstruksi Aceh pergi. Untuk mempertahankan gelembung itulah saya memilih mengembangkan ekonomi grass root. Setelah ekonomi kerakyatan kuat, kami akan beralih ke ekonomi berbasis kapital atau modal. Hal ini seiring dengan membaiknya infrastruktur, seperti akses jalan. Pada era ini akan muncul banyak pabrik. Pada lima tahun berikut, terserah siapa pun yang memimpin, ekonomi Aceh akan berkembang ke arah yang berbasis teknologi.
Apa target Anda dalam jangka pendek?
Menurunkan angka pengangguran, mungkin sekitar 40 persen saja dulu. Kalau pengangguran sekarang sekitar satu juta, saya targetkan ditekan sampai 600 ribu. Kami juga akan mengirim dosen-dosen belajar ke luar negeri, terserah dananya dari mana. Total anggaran pendidikan sekitar 30 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah plus dari dana tambahan.
Bisa beri gambaran apa yang ingin Anda capai dalam lima tahun ke depan?
Dalam lima tahun ke depan saya ingin rakyat Aceh merasakan perubahan, terutama di bidang ekonomi, politik, dan harga diri. Selama ini kan sepertinya rakyat Aceh merasa terjajah. Apalagi saat operasi militer. Jadi, masih tersisa trauma pada sebagian besar rakyat. Saya ingin mengatakan kepada mereka bahwa setelah penderitaan bertahun-tahun, ternyata ada hasilnya juga: wakil mereka menang dalam pemilihan gubernur.
Kami mendengar Anda tidak didukung oleh GAM Swedia.…
Sewaktu pelantikan, datang Malik Mahmud (tokoh GAM Swedia). Bahkan yang menyelenggarakan peusijuk (selamatan dalam upacara adat Aceh) saya adalah GAM dari Swedia. Jadi, kita lihat bukti saja tanpa perlu saya jelaskan dengan kata-kata. Itulah Aceh. Selesai dalam sebuah demokrasi, yang minoritas mengikuti kehendak mayoritas.
Tunggu dulu. Anda tidak menang dengan mayoritas mutlak. Hanya 38 persen suara yang Anda peroleh saat pemilihan kepala daerah. Bukankah ini berarti ada 62 persen warga yang tidak mendukung?
Calonnya bukan hanya dua orang. Suara 62 persen itu kan pecah. Sifat warga Aceh terbuka. Mereka akan mendukung kami semua. Demokrasi di Aceh sudah baik. Kalaupun ada yang tidak disetujui oleh rakyat, mereka bisa menyampaikan lewat saluran DPRD, atau bahkan ke saya langsung. Boleh juga lewat Komite Peralihan Aceh (KPA, lembaga yang dibentuk pada 2005 sebagai tempat bernaung mantan anggota GAM—Red.) Terus terang, di Aceh ini jaringan KPA yang paling tertib dibanding yang lain. Jaringannya mencapai hingga ke pelosok daerah.
Apakah DPRD akan mendukung, mengingat Anda adalah pemenang dari jalur nonpartai?
Nggak ada kendala. Yang menganggap ada (kendala) hanya orang di luar Aceh. Kami merasa senasib dan sependeritaan. Golkar, PPP, GAM, bukan masalah. Yang penting, apa yang dibutuhkan rakyat Aceh bisa diurus. Lagi pula, tingkat kepatuhan partai politik di Aceh terhadap pusatnya relatif. Yang pasti, orientasinya pada kepentingan rakyat.
Mana yang lebih sulit: saat berjuang di GAM dengan senjata atau sekarang?
Dulu lebih sulit, karena risikonya mati. Sekarang tidak. Dulu saya sering tidak dibantah, kalau sekarang kan dalam kehidupan yang lebih demokratis.
Anda ini dikenal sebagai ahli strategi GAM. Belajar dari mana?
Tidak usah disebutkan. Training juga saya dapat, tapi tidak usah disebutkan dari negara mana, khawatir mereka marah. Saya juga tahu banyak soal militer. Makanya, saya ditunjuk mewakili GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM)
Anda punya pegangan tertentu dalam strategi pada masa gerilya?
Strategi gerilya itu mudah. Apabila datang air bah, loncatlah ke pematang, jangan berdiri dalam air. Bisa hanyut. Artinya, kalau tidak mau kontak (senjata), ya menyingkir.
Irwandi Yusuf
Lahir:
- Bireuen, 2 Agustus 1960
Nama samaran semasa di Gerakan Aceh Merdeka:
- Teungku Agam, Isnandar Al-Pase, Jean-Michel Hara, Adam Albiruny, Hwa Pek Chung, Hinovkaru Hakagata, Sunaryo.
Pendidikan akhir:
- Master bidang kedokteran hewan dari Oregon State University, Amerika Serikat
Pekerjaan:
- Senior Representative Gerakan Aceh Merdeka di Aceh Monitoring Mission sebelum menjadi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Kekayaan:
- Rp 700 juta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo