Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WEARABLE | ||
Karya | : | Astari Rasjid, Christiawan, Alexandra J. Wuisan, Mella Jaarsma, Gani Ruswandi, Frances Alleblas, Mongkol Plienbanchang, David Sequeira, Damon Moon, Minako Saitoh, Midori Hirota, Choi Jeong Hwa, Park Hye Sung. |
Tempat | : | Galeri Padi, Bandung |
PAMERAN seni rupa di Indonesia dewasa ini tengah menjalani proses pemikiran kembali. Agaknya, pameran tidak lagi disadari sebagai bentuk presentasi--sering disebut upaya mengomunikasikan karya seniman kepada publiknya--tapi menjadi sebuah representasi. Kepercayaan bahwa berpameran adalah rangkaian proses kreasi milik seniman (setelah menemukan ide, seniman mewujudkannya sebagai karya seni, lalu mempertanggungjawabkannya kepada publik dengan cara memamerkan), kini, perlahan tapi meyakinkan, mulai banyak ditinggalkan. Pameran menjadi ritual yang istimewa, bukan hanya karena menunjukkan pencapaian seorang seniman, tapi juga karena mengikat berbagai kepentingan pihak di luar seniman: publik, pengamat seni, pencinta seni, dan penyelenggara pameran (kurator).
Kini semakin banyak pameran tingkat internasional--artinya, melibatkan perupa dari luar Indonesia--yang diselenggarakan dengan cara dan semangat baru. Meski kita masih menemukan pameran yang bersemangat menjelaskan seorang seniman--seperti pameran retrospektif--tapi semakin banyak pameran yang dibuat tanpa harus menanggung beban yang menunjukkan perkembangan pencapaian seorang seniman. Umumnya, bentuk pameran seperti itu adalah pameran kelompok. Artinya, setiap seniman hanya menunjukkan satu atau dua karya saja, atau bahkan terkadang seniman tidak merasa harus menunjukkan karya terakhirnya. Pendeknya, berpameran menjadi proses untuk melakukan mediasi terhadap karya dan gagasan seniman yang lainnya. "Mediasi" memang kata kunci untuk memahami gejala penyelenggaraan pameran seni rupa kontemporer dewasa ini. Menyelenggarakan sebuah proses mediasi tak hanya berlaku bagi hubungan karya yang dipamerkan secara bersamaan, tapi juga menunjuk persoalan kesenian yang semakin membuka diri. Kesenian dan seniman, yang pernah dicirikan sebagai sang pusat yang memancarkan nilai-nilai--sedangkan publik pemerhati dianggap kurang lebih sebagai penerima pancaran itu--sudah tidak berlaku lagi. Dalam kesadaran tentang masyarakat modern yang tumbuh semakin kompleks dan majemuk, makna nilai-nilai itu tercipta dalam pertalian-pertalian. Akibatnya, tema dan kurasi pameran seni rupa kontemporer menjadi perhatian penting karena merupakan wilayah pertalian makna nilai itu.
Baru-baru ini, Galeri Padi di Bandung menyelenggarakan pameran dengan menyuguhkan judul "Wearable". Tawaran judul yang menjadi tema dan tampaknya sengaja tidak ingin diterjemahkan itu menarik sebagai salah satu contoh kecenderungan cara berpameran yang tengah berlangsung pada masa kini. Pameran kelompok ini berisi karya 13 perupa. Tidak tanggung-tanggung, mereka sebagian diundang dari berbagai negara: Thailand, Korea, Jepang, dan Australia, selain kehadiran seniman Indonesia dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Medium yang ditampilkannya pun beragam, dari lukisan, gambar, obyek, instalasi, fotografi, hingga video. Selain Minako Saitoh (Jepang), seniman lainnya hanya memamerkan satu karya saja. Hal ini menunjukkan bahwa tema dan kurasi pameran menjadi sangat penting karena para seniman lebih ingin bereaksi terhadap persoalan tema yang disodorkan kurator.
Kurator pameran, Rifky Effendy, menyatakan bahwa istilah wearable dalam masyarakat memang lebih sering dikaitkan dengan wacana fashion dan berkaitan dengan tubuh manusia. Namun, kurasi pameran menggariskan bahwa tema itu dimaksudkan untuk menyatakan ihwal nilai perlindungan, kepercayaan diri, dan identitas. Dalam ruang pameran, kita memang segera melihat kaitan masalah tubuh itu, sebutlah karya Ruswandi Abdul Ghani, Aesthetic to Body, Body to Aesthetic, berupa jajaran foto sosok wanita yang hampir sekujur tubuhnya diselimuti gambar. Ghani tidak hanya menunjukkan foto, tapi juga membawa model dalam foto itu pada saat pameran dibuka. Karya Alexandra J. Wuisan (Infinite) juga mengingatkan kita pada masalah tubuh dan wanita. Alexandra, yang menutup boneka sandaran baju (maneken)--alat yang akrab dalam praktek dunia fashion--dengan lapisan kertas, menyuguhkan pertanyaan tentang batas penciptaan di panggung dunia fashion.
Istilah wearable memang sulit dipisahkan dari gambaran tentang baju. Berbeda dengan dua karya sebelumnya, karya dalam gambaran ini bergolak menawarkan nilai lain, yakni politik, yang juga merujuk pada proposal kurasi pameran. Pseudo Security karya Astari Rasjid, misalnya, mempersoalkan politik budaya (Jawa) pada tubuh wanita. Sembilan buah cetakan long torso--atribut penting dalam kain kebaya--mengungkapkan tata cara budaya tradisi yang "mengolah" dengan cara menunjukkan sekaligus menyembunyikan identitas diri tentang wanita. Hi, Inlander-nya Mella Jaarsma menyuguhkan "baju" yang lebih aneh lagi. Puluhan kulit katak dijahit menjadi selubung yang dapat menutupi kepala hingga pinggang, kecuali bagian mata. Selubung itu tampak seperti ingin menegaskan kehadiran batas-batas tentang: kulit dan daging; kulit dan isi; permukaan dan hakikat; kepalsuan dan kebenaran. Judul itu menyodorkan pertanyaan atau kenyataan secara cermat tentang isu "kadar" kepribumian dalam dominasi stereotip yang berbahaya. Gambaran tentang baju yang tampak lumrah ditunjukkan oleh Inside Out karya David Sequeira (Australia). Meskipun demikian, kemeja batik dengan motif penyamaran (untuk pakaian tentara) di bagian dalam itu memang tidak memberi sugesti makna yang sederhana sebagaimana cara mengerjakannya.
Pameran "Wearable" ini masih berisi karya lainnya, tapi perhatian terhadapnya mesti menggeser pengamatan kita pada aspek lain dalam kurasi pameran. Kurasi pameran menyatakan bahwa nilai wearable sangat tergantung pada tempat, waktu, dan alam pikiran tertentu; untuk menyebut bahwa ihwal "nilai perlindungan" pada gagasan wearable bisa berkaitan dengan masalah "jaminan keamanan" pada saat kita, orang Indonesia, berada dalam situasi soial politik yang justru mencemaskan.
Karya Peci Stack milik Damon Moon (Australia), seperti halnya karya Sequeira, menggeser aspek keterpakaian secara fisik dengan kepedulian masalah sosial politik Indonesia secara menonjol. Sementara itu, sebagian karya yang lain: Bloody Flag (Mongkol Plienbanchang, Thailand), Indonesia Semoga Cepat Sembuh (Christiawan), Reunion (Frances Alleblas, Belanda), Bhakti '99 (Midori Hirota, Japang), lebih terlibat untuk menanggapi situasi sosial-politik Indonesia akhir-akhir ini. Sedangkan karya Minako Saitoh, yang tak mengupas situasi Indonesia secara langsung, lebih mengangkat penelusuran ihwal krisis nilai kemanusiaan secara umum. The Absent Time adalah foto yang dibuat di penjara Auschwitz. Adapun karya video seniman Korea, Choi Jeong-hwa, Bad Movie, dan Park Hye Sung, Art & Magic, mencoba mengaitkan tema "Wearable" dengan gambaran tentang karya yang pernah mereka kerjakan sebelumnya.
Ihwal kurasi pameran ini bisa jadi masalah karena seniman dan karyanya akan cenderung bergerak ke arah yang berlainan. Bisa jadi, karya para seniman itu adalah presentasi terbaik, tapi tak cukup jelas menegaskan jalinan hubungan makna yang seharusnya dibangun dalam sebuah pameran. Jika hanya kurator yang paling memahami persoalan, hasilnya mudah diduga: kurator akan dianggap menggantikan seniman sebagai sang pusat. Padahal, bukankah saat ini sudah tidak penting lagi menciptakan kekhususan sang pusat?
Rizki A. Zaelani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo