Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bak Musang Berganti Kulit

Penggantian Putu Ary Suta dengan Syafruddin Temenggung dinilai tak akan mengubah kinerja BPPN. Seperti Putu, Syaf dianggap terlalu dekat dengan obligor.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usai sudah era Putu Ary Suta di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Jumat pekan lalu, Menteri BUMN Laksamana Sukardi telah mengumumkan pemberhentiannya sebagai Kepala BPPN. Posisi yang kosong itu akan diisi oleh Syafruddin Temenggung, yang selama ini menjabat Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Dan Senin ini akan dilakukan serah-terima jabatan antara keduanya. Sudah jadi rahasia umum bahwa Laks ingin mengganti Putu. Tapi keinginan itu selalu mentok gara-gara Putu terampil melobi para pejabat penting. Tapi Laksamana akhirnya berhasil juga mendapat lampu hijau dari Presiden. "Saya sudah menghadap Ibu Presiden, dan pergantian itu sudah diputuskan," katanya dengan wajah berseri. Toh, Laks—demikian panggilan akrabnya—berusaha menutupi alasan di balik pergantian pemimpin lembaga yang mengelola aset negara senilai Rp 500 triliun itu. Ia cuma menyebut perlunya penyegaran. "Kalau ada pergantian," ujar Laks, "mungkin akan ada pandangan-pandangan baru." Mencari calon kepala BPPN dari 210 juta penduduk Indonesia ternyata bukan pekerjaan gampang. Apalagi bila yang diharapkan adalah seorang profesional dengan integritas yang tinggi. Bila akhirnya Syaf—panggilan akrab Syafruddin— yang terpilih, itu tak lain karena ia dianggap figur yang paling tepat. "Ia cepat beradaptasi dan mau belajar," ujar seorang petinggi pemerintahan. Syaf juga mengantongi nilai lebih lantaran selaku Sekretaris KKSK ia mengikuti seluruh proses yang dijalankan BPPN, sehingga kesinambungan kerja BPPN dapat terjaga. "Kita tidak bisa mengambil orang yang benar-benar baru sekali di lingkungan itu, apalagi yang tidak familiar dengan transaksi-transaksi," Laks menegaskan. Pengalaman di KKSK menunjukkan keberanian Syaf mengambil keputusan dan kemampuannya bernegosiasi dengan para obligor besar. Hal itu terlihat dalam kasus Timor Putra Nasional (TPN), di saat KKSK membatalkan potongan utang Rp 500 miliar yang diberikan BPPN kepada TPN. Kemudian, dalam kasus Jakarta Outer Ring Road (JORR), KKSK mengambil alih proses negosiasi yang mandek selama enam bulan di BPPN dan menuntaskannya cuma dalam waktu sebulan. Tapi, sumber TEMPO menyatakan, semula Syaf menolak jabatan yang diincar banyak orang itu. Ia merasa lebih nyaman di posisi sekarang, yang tak banyak disorot orang. Belakangan Syaf menerima lantaran Laks terus memaksa. Hal itu diakui oleh yang bersangkutan. "Awalnya saya tak tertarik," katanya. "Tapi, karena sudah diputuskan oleh Presiden Megawati, saya harus menjalankannya." Di BPPN nanti Syaf mengaku akan membenahi good corporate governance, mengejar pemasukan untuk setoran ke APBN, dan menjadi agen pemulihan ekonomi. Ia akan mewujudkannya dengan memperketat penjualan aset-aset di BPPN. Selain itu, ia akan memperbaiki program BPPN agar lebih transparan, diterima masyarakat, serta bisa diandalkan. Namun, seorang analis berpendapat tak akan ada perbedaan nyata di BPPN setelah pergantian ini. "Pasar menganggap Syaf dengan Putu sama saja," kata analis yang tak mau disebut namanya itu. Bisik-bisik yang beredar memang membocorkan bahwa, seperti halnya Putu, Syaf dinilai terlalu dekat dengan obligor. Kedekatan itu kabarnya dimulai ketika BPPN dipimpin oleh Edwin Gerungan. Syaf ditengarai kerap mengusulkan restrukturisasi utang yang menguntungkan obligor dan sebaliknya merugikan negara. Contohnya, restrukturisasi utang Texmaco dan Grup Sinar Mas. "Betapa bodohnya negara, mau menutup kewajiban Sinar Mas di Bank Internasional Indonesia (BII) dengan imbalan saham Eka Tjipta Widjaya di bank itu, yang jelas-jelas nilainya bakal terus turun," ujar sumber TEMPO di BPPN. Ekonom Dradjad Wibowo pun tak kalah gusar. "Mestinya Sinar Mas dibabat sejak dulu dan Texmaco juga tak mendapat restrukturisasi utang yang begitu ringan," ujarnya. Patut pula diingat, dulu Syaf tergolong pejabat yang mendukung perpanjangan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Alasannya, kalau perjanjian lama dipertahankan, mustahil bagi BPPN untuk bisa mencapai target setoran APBN. "Ini upaya realistis," katanya dengan nada mirip Putu. Tak aneh bila Dradjad menyebut pergantian ini cuma ibarat "musang berganti kulit". Bagi Dradjad, bila ingin berubah, BPPN harus memutar haluan. "Jangan lagi BPPN dibebani target fiskal. Badan itu hanya bertugas untuk restrukturisasi aset dan pemulihan ekonomi," ujarnya. Tapi, untuk itu, BPPN perlu melakukan transparansi dalam restrukturisasi dan penjualan aset. Caranya tentu dengan membenahi proses penunjukan konsultan—agar terhindar dari konflik kepentingan, dan hasil kajiannya dipercaya masyarakat. Nugroho Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus