SUMATERA BARAT PLAKAT PANJANG Oleh: Rusli Amran Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1985, 401 halaman BUKU Sumatera Barat Plakat Panjang dari Rusli Amran, pensiunan diplomat dan wartawan, adalah kelanjutan dari buku Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan pada 1981. Melihat gelagatnya, buku ini pun masih bakal dilanjutkan dengan seri berikutnya, dan akan lengkaplah gambaran sejarah dari Sumatera Barat. Pada 1970, memang telah terbit buku Sedjarah Minangkabau yang diusahakan oleh M.D. Mansoer (et al), dalam rangka menyongsong Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau yang diadakan di Batusangkar. Tapi karya Rusli ini dapat kita katakan sebagai buku sejarah yang dipersiapkan secara lebih teliti, tekun, dan terinci. Dengan kehadiran buku ini makin tersibaklah awan gelap yang menyelubungi sejarah Sumatera Barat. Kekurangan orang Sumatera Barat yang selama ini tidak berorientasi ke belakang, tidak acuh dengan sejarah lamanya, dan tidak pula memiliki aksara sendiri, telah menyebabkan bukan saja sejarah yang dulu-dulu tertimbun oleh masa, sejarah yang kemarin saja pun sudah kabur. Dalam kaitan ini, makin terasa betapa upaya yang dilakukan Rusli selama bertahun-tahun, dan dengan semangat scholarship yang tinggi, menjalin kembali untaian sejarah yang telah lepas-lepas itu, patut kita hargai. Terlebih lagi, buku ini tidaklah ditulis dengan bahasa yang kering dan membosankan, tapi sebaliknya, bahkan kocak. Memang, sebagaimana dimaksudkan Rusli, seri buku ini tidak dimaksudkan sebagai buku teks dalam artian yang konvensional, tapi sebuah buku sejarah yang ditulis secara populer, dengan gaya bercerita, agar dapat dibaca kalangan luas, terutama oleh generasi muda. Latar belakang Rusli sebagai "orang lama", yang menguasai betul bahasa sumber (bahasa Belanda), sangat membantu. Setelah tamat pada AMS Sastra Barat di Yogya, sebelum Perang Dunia II, sesudah merdeka ia melanjutkan lagi pada perguruan tinggi di Jakarta, Amsterdam, dan terakhir di Praha. Selain itu, ketajaman pena Rusli, pendiri dan pemimpin harian Berita Indonesia, sebagai wartawan di awal Kemerdekaan, ditambah lagi dengan kejelian matanya sebagai diplomat dalam melihat sesuatu di balik yang tersirat, sehingga ia bukan saja berusaha membeberkan cerita sejarah dengan cara yang hidup dan mengasyikkan, tapi sekaligus juga memberi arti plot-plot sejarah itu secara berkesinambungan. Cara Rusli melihat peristiwa-peristiwa sejarah itu adalah dengan kaca mata bangsa sendiri, walau bahan yang dipakai hampir seluruhnya diramu dari sumber-sumber Belanda. Buku sebelumnya mengantarkan kita bertamasya ke masa silam, sampai ditandatanganinya Perjanjian Plakat Panjang pada 1833 sedangkan buku ini bermula dari Plakat Panjang itu sendiri. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Gubernur Jenderal Van den Bosch secara terbirit-birit datang ke Sumatera Barat untuk meminta bantuan penduduk dengan mengobral janji-janji muluk, karena beberapa saat sebelumnya, pada tahun yang sama, kaum Pidari (Paderi) memaklumkan perang terhadap Belanda. Sadar akan kekuatan Pidari dan kelemahan sendiri, berbagai bujuk rayu di lontarkan Belanda. Antara lain, ajakan untuk tidak saling memerangi, semua perselisihan ke dalam diselesaikan secara adat dan hukum yang berlaku, pengangkatan kepala nagari dilakukan oleh rakyat sendiri, penunjukan pemimpin dari pihak penduduk yang mewakili kepentingan pemerintah diberi gaji. Selain itu, pajak berupa uang dihapuskan Belanda, diganti dengan ajakan memperluas tanaman kopi dan lada, yang diawasi oleh pegawai pemerintah. Drama tanaman paksa inilah yang menghiasi halaman-halaman selanjutnya, karena Belanda, dengan makin kuatnya kedudukan mereka, satu per satu mempreteli janji-janji mereka, sehingga rakyat makin lama makin terjepit. Pemberontakan Batipuh, yang kelihatannya aneh, menarik karena digerakkan oleh pemimpin adat, Datuk Pamuncak, yang dikenal getol membantu Belanda dalam memerangi kaum Pidari. Sekarang ia pula yang menghadapkan senjatanya pada Belanda. Ada drama dan tragedi di sana karena ia sekaligus memperlihatkan konflik antara kebanggaan diri akan kekayaan serta bintang-bintang di dada dari kaum adat yang memihak Belanda dan kesadaran bahwa mereka telah diaduadu antara sesama bangsa sendiri untuk kepentingan penjajahan. Sementara itu, di Belanda sendiri terjadi perkisaran angin yang tidak lagi menginginkan rakyat jajahan dijadikan sapi perahan semata. Bab mengenai Pendidikan Barat dan Sekolah Rajo (Bab V) sangat informatif dalam memberi latar belakang perkembangan pendidikan di Sumatera Barat. Tampak bahwa tidak serta-merta rakyat setempat tertarik akan sekolah-sekolah yang ditawarkan Belanda itu. Sekolah sebagai umpan dan sebagai kebutuhan sudah terbaca oleh rakyat. Perkembangan Sekolah Rajo, yang legendaris itu, di Bukittinggi, sangat menarik. Sebab, selama ini, sekolah itu banyak disebut, tapi tak banyak yang tahu asal muasal dan perkembangannya. Bab-bab selanjutnya menjelaskan tahap-tahap konsolidasi pemerintahan Belanda di Sumatera Barat dengan hancurnya pemerintahan adat (Bab VI), hilangnya peradilan adat (Bab VII), penyergapan tanah-tanah adat melalui domeinverklaring, yang juga diberlakukan di luar Jawa (Bab VIII), lalu cerita candu dan perbudakan (Bab IX) dan kisah tentang Tiga Serangkai dari pembukaan tambang batu bara Sawahlunto, pembikinan jalan kereta api dan dibangunnya pelabuhan Telukbayur (Bab X). Buku ini diakhiri dengan cerita perlawanan terakhir (Bab XI) rakyat Sumatera Barat, yang kembali mengangkat senjata karena diberlakukannya pajak perorangan sebagai pengganti tanaman paksa. Dengan pemungutan pajak perorangan itu kompletlah janji-janji Plakat Panjang dirobek-robek Belanda. Perang Tahun Delapan (1908) adalah puncak kemarahan rakyat. Tapi Perang Tahun Delapan itu yang, antara lain, ditandai dengan Perang Kamang tidak dijelaskan dalam buku ini. Mungkin di buku berikutnya! Dari membaca buku ini, sejarah Sumatera Barat yang dimaksudkan adalah "sejarah politik". Karena itu, tentu tidak bisa diharapkan sejarah lain-lainnya. Sejarah di sini lebih khusus diartikan sebagai sejarah penjajahan Belanda di Sumatera Barat. Hanya saja, dari bahan yang ditulis Belanda melalui berbagai laporan dan dokumen pemerintahan, dilihat dari segi sebaliknya. Betapapun, buku ini sangat informatif dan kaya dengan bahan-bahan. Sumber-sumber pengambilan dan tambahan keterangan dihimpun dalam halaman-halaman catatan kaki yang ditaruh di bagian akhir setiap bab. Sayang, buku yang keakuratannya terasa tinggi ini banyak diganggu oleh kesalahan-kesalahan cetak. Tentu saja "tiada maaf" jika kesalahan itu sampai pada angka-angka tahun, seperti pemerintahan De Steurs dari 1825-1829 ditulis 1525-1529, pendirian sekolah dasar pertama di Batavia disebutkan tahun 1871 mestinya 1817 (halaman 150). Yang jelas, suatu langkah besar telah dilakukan oleh bekas diplomat dan wartawan kawakan ini, yang bagi orang Minang berarti telah berhasil membangkitkan "batang terendam" dan mengingatkan kembali akan sejarah masa silam mereka. Tembakan buku ini barangkali juga untuk daerah-daerah lain agar dengan semangat yang sama menggali kembali sejarah bangsa. Mochtar Naim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini