Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mode baru: m.b.a.

Pendidikan bisnis dalam program mba berbeda dengan pendidikan yang diberikan untuk mahasiswa fak. ekonomi. program studi mba di indonesia diarahkan kpada para eksekutif yang berpengalaman di bidang bisnis. (ki)

16 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKOLAH M.B.A. (Master of Business Administration) memang sedang jadi mode. Tetapi, jelas bukan sekolah musiman. Sekolah ini timbul karena kebutuhan. Setidaknya sudah ada tiga yang kini sibuk "mencetak" M.B.A.: IPMI, IPPM, dan IMPM. Satu bahkan sudah berhasil mewisuda 22 M.B.A. pada Agustus yang lalu. Mengapa muncul kebutuhan akan program studi M.B.A? Bukankah di mana-mana sudah ada fakultas ekonomi? Dr. Siswanto Sudomo dari IPMI menyebutkan adanya perbedaan antara pendidikan bisnis dan pendidikan yang diperoleh mahasiswa fakultas ekonomi. Pendidikan bisnis, menurut dia, tidak bisa dianggap sebagai bagian dari jurusan ekomami perusahaan atau jurusan manajemen fakultas ekonomi. "Input pendidikan ekonomi itu hanya satu, yaitu aspek business environment." kata Siswanto. Itu berbeda dengan pendidikan bisnis yang lebih multidisipliner. Tidak hanya business environment yang dikembangkan, tetapi juga aspek teknis, hukum, politik, sosial, dan lain-lain yang merupakan kenyataan sehari-hari dalam kehidupan bisnis. Singkatnya, program studi bisnis memberikan keterampilan teknis bagi para mahasiswanya untuk dapat mengelola bisnis secara kompeten. Seorang M.B.A. dianggap lebih siap pakai untuk diterjunkan langsung dalam situasi sebenarnya. Program studi M.B.A. di Indonesia kebanyakan diarahkan kepada para eksekutif yang sudah mengalami asam-garamnya kehidupan bisnis. Fenomena yang menarik ini terlihat jelas di kelas. Eksekutif ubanan berlomba dengan eksekutif muda untuk mendapat nilai terbaik. Eksekutif ubanan mungkin memang sudah gapa dengan liku-liku bisnis, tetapi kekurangan kemampuan untuk mensistematisasikan pikirannya dalam menggabungkan sumber daya dan meningkatkan produktivitas. Di negara-negara maju, yang masyarakatnya memang meyakini lifelong education, banyak eksekutif setengah usia yang minta cuti untuk memperoleh pendidikan M.B.A. IBM, misalnya, telah mensponsori 3.600 pegawainya untuk menyelesaikan program M.B.A. Perusahaan memang perlu mempunyai tanggung jawab untuk kelanjutan pendidikan para pegawainya. Di kalangan ketentaraan kita mengenal berbagai jenjang pendidikan yang memberikan fasilitas bagi anggotanya untuk meningkatkan kemampuan. Robert deSio dari IBM mengatakan bahwa upaya perusahaan untuk mensponsori pendidikan lanjutan bagi karyawannya adalah suatu strategic must. "Terutama bagi karyawan setengah umur yang mulai mengalami half-life phenomena," katanya. "Mereka sudah mulai terancam akan menjadi obsolete dalam waktu dekat. Lalu produktivitasnya menurun dan mereka pun terkena berbagai gangguan kejiwaan." Semangat mereka akan terkatrol lagi setelah menerima pendidikan lanjutan yang membuatnya merasa yakin dapat bersaing lagi dengan eksekutif muda. "Continuing education is a tool for survival," kata Robert deSio. Hal itu diyakini oleh perusahaan-perusahaan Amerika yang tahun lalu menghabiskan 60 milyar dolar hanya untuk pendidikan dan latihan karyawannya. Keyakinan seperti itu pun mulai bergema di Indonesia. Pembangunan Jaya mengirimkan stafnya untuk memperoleh M.B.A. di IMPM. Bulog dan Pertamina memakai IMPI untuk mendidik stafnya menjadi M.B.A. Tetapi, ada juga yang mendidik M.B.A.-nya sendiri. "Ini memang barang baru," kata Drs. Abdulgani, Direktur Utama Bank Duta. Bekerja sama dengan Golden Gate University di California, Bank Duta menyelenggarakan program M.B.A. khusus perbankan dan keuangan di Indonesia. Di gedung barunya yang mencapai awan, fasilitas untuk pendidikan tinggi seperti itu memang dapat dicukupi dengan baik. Golden Gate University adalah pusat pendidikan terbesar nomor tiga di California. Desain kurikulumnya memang agak berbeda dengan program M.B.A. Iainnya, terutama mengingat para mahasiswanya yang kebanyakan adalah karyawan Bank Duta tidak dapat dilepas selama jangka waktu panjang untuk mengikuti program. Programnya terdiri atas 12 seminar yang masing berlangsung selama enam hari intensif. Tiap enam minggu para mahasiswa dipanggil untuk masuk "asrama". Dua seminar terakhir dan ujian komprehensifnya diselenggarakan di San Francisco. "Untuk memberi kesempatan bagi masyarakat, program ini juga terbuka untuk umum," kata Abdulgani. Bayar, tentu! Mana ada pendidikan gratis. Sekitar 12 juta rupiah, ditambah tiket dan biaya tinggal selama tiga minggu di San Francisco. Tetapi, tidak sedikit pula orang yang tidak percaya arti pentingnya pendidikan lanjutan. "Sudah kita biayai pendidikannya agar tambah pintar, eh . . . dibajak perusahaan lain," kata seorang eksekutif. Ya, untuk itu perlu kiat lain. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus