Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menyorot identitas cina peranakan

Kuala lumpur: penerbit fajar bakti, 1993 resensi oleh: leo suryadinata

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANAKAN Cina tidak hanya ada di Indonesia. Mereka juga ada di Malaysia dan Singapura. Buku yang ditulis oleh Dr. Tan Chee Beng ini membahas peranakan Cina di negara tetangga Indonesia itu. Dr. Tan, profesor madya di Universitas Malaya, adalah pakar dalam bidang ini. Disertasinya mengenai Baba Melaka menjadi sebuah buku pegangan. Dalam beberapa tahun ini, ia masih meneruskan kajiannya tentang peranakan. Empat buah karangannya yang terakhir kemudian dijadikan sebuah buku yang saya bahas ini. Dr. Tan, dalam buku ini, memperkenalkan pelbagai macam peranakan: Baba Melaka, Baba Penang, Baba Singapura, serta Cina Trengganu dan Cina Kelantan yang mirip peranakan. Siapakah yang disebut sebagai baba atau peranakan? Di Indonesia, istilah peranakan Cina (atau Tionghoa) itu digunakan untuk merujuk keturunan Cina kelahiran Indonesia yang berbahasa Indonesia atau daerah. Tapi demikian pulakah di Malaysia dan Singapura? Tan mengatakan, peranakan Cina di Malaysia dan Singapura tak banyak ragamnya. Peranakan Melaka - sering dianggap sebagai contoh peranakan di Malaysia - memang bukan saja yang lahir di Malaya, tapi juga yang berbahasa Melayu. Peranakan di Singapura juga serupa. Yang berbeda adalah "peranakan" Penang. Sebagian besar yang dinamakan "Baba" itu menggunakan bahasa Hokkian yang bercampur dengan istilah Melayu. Mereka tak menyebut dirinya "Baba", melainkan Straits-born Chinese. Penang adalah salah satu Straits Settlements ketika dijajah Inggris. Tan juga menemui banyak Cina kelahiran Trengganu dan Kelantan yang juga menggunakan bahasa Hokkian campur Melayu. Gaya hidupnya berbeda dengan singkeh atau "pendatang baru" yang masih "murni" dalam kebudayaannya. Jadi, peranakan di Malaysia ini banyak ragamnya, dan berbeda-beda tingkat akulturasinya. Yang menarik, menurut Tan, adalah identitas peranakan Cina ini. Semua memiliki identitas "Cina". Menurut Tan, dalam tata-cara hidup, masih ada unsur Cina yang tebal. Mereka umumnya masih memeluk agama Cina yang tradisional, menganggap dirinya orang Cina, tapi merasa lain dengan "singkeh". Jadi, Tan berpendapat, bahasa bukanlah yang menentukan identitas etnik. Salah satu faktornya, pada hemat saya, orang Cina di Malaya berjumlah 30%, dan peranakan itu sangat kecil persentasenya. Walaupun demikian, adalah kenyataan bahwa masyarakat peranakan di Malaysia mundur. Sastra peranakan merosot. Sebelum Perang, sastra peranakan cukup maju. Syair, pantun, dan "dondang saya" dibuat oleh peranakan. Tapi sastra dan pers peranakan itu tak berkembang -- karena jumlah mereka terlalu kecil tadi. Itu berbeda dengan peranakan Cina di Jawa, yang besar sekali jumlahnya dibandingkan dengan yang totok. Mereka ini memiliki pers Melayu yang kuat. Di samping itu, mereka pun menghasilkan karya sastra yang besar jumlahnya. Selain menerjemahkan cerita Cina, syair, dan pantun, peranakan Indonesia juga menghasilkan karya asli dalam bentuk roman, drama, esai, dan cerpen. Menurut penelitian Tan, identitas baba mulai berubah. Di Malaysia, terutama di Melaka, identitas baba masih bisa dipertahankan. Tapi di Singapura mungkin lebih sukar karena kebijakan bahasa yang menekankan "bahasa Bunda". Perlu disebut di sini, beberapa persatuan peranakan di Melaka, Singapura, Penang, dan Kelantan makin menciut. Beberapa bulan yang lalu, saya menghadiri sebuah pertemuan peranakan seluruh Malaysia dan Singapura. Para pengurus persatuan peranakan memberikan laporan dan memaparkan masalah mereka untuk menghidupkan kembali adat-istiadat, bahasa, dan sastra mereka. Tapi generasi muda rupanya lebih suka ball-room dancing daripada ronggeng. Banyak yang mengeluh, kebudayaan peranakan yang dulu itu mungkin tak dapat dipertahankan. Tan berpendapat, identitas peranakan itu masih akan bertahan walaupun "isi"-nya mungkin agak berbeda. Ia menganjurkan, Cina peranakan terus mengembangkan kebudayaannya, memelihara bahasanya, dan menerbitkan majalah dengan ejaan bahasa Melayu baku - bukan dengan ejaan dulu, yang sekarang telah usang. Seperti diakui oleh Tan sendiri, bukunya lebih berdasarkan peranakan Melaka daripada peranakan di kota-kota lainnya. Karena itu, kajian yang lebih mendalam, misalnya tentang "Baba" Penang, masih perlu dilakukan untuk mendapat gambaran yang lengkap. Saya berpendapat, kehidupan ekonomi baba juga perlu mendapat sorotan. Walaupun demikian, buku Tan ini sangat menarik dan merupakan buku pengantar yang patut dibaca oleh mereka yang ingin tahu tentang keadaan "peranakan" di Malaysia dan Singapura -- dan mungkin di tempat lain.Leo Suryadinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum