Nano Riantiarno dan Teater Koma akhirnya siap menggelar Opera Ular Putih. Sekitar enam tahun lalu, Nano merasa belum siap karena tak berhasil menemukan naskah pendukung yang lengkap. Maklum, cerita Ular Putih memang bersumber dari sastra drama Melayu Pasar atau Melayu Rendah yang populer tahun 1890-an hingga 1930-an di kalangan kelompok-kelompok tonil. Kini Nano sudah berhasil mengumpulkan 12 versi cerita Ular Putih, dan ia putuskan untuk mementaskannya. Opera Ular Putih digelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mulai 23 April hingga 8 Mei 1994. Setiap hari pertunjukan dimulai pukul 20.00 WIB dengan harga tanda masuk dari Rp 10.000 sampai Rp 25.000. Sekitar 70 penari dan 25 pemain pendukung siap meramaikan produksi ke-76 Teater Koma dengan biaya pementasan sekitar Rp 100 juta ini. Pemain andalan seperti Rita Ratu Mona, Salim Bungsu, dan Joshua D.P. tetap mengisi peran-peran utama. Menurut Nano, pementasan Opera Ular Putih terdiri dari unsur- unsur masres, lenong, cokek, wayang golek, wayang orang, maupun ketoprak. Nano memang cukup tertarik dengan teater-teater rakyat pada masa 1890-an, karena sifatnya yang spontan, bebas, dan jujur. Lakon ini pada dasarnya menampilkan pertarungan antara sisi hitam dan putih pada diri manusia yang dipadati dengan gambaran cinta yang tulus serta kebimbangan dalam memilih. Lewat lakon ini diperlihatkan bahwa kepongahan dan kekuasaan menyebabkan kekeliruan, keputusan yang sangat kaku adalah kesewenangan tanpa belas kasih. Juga, tampak cerminan kisah seorang istri yang setia. Kisahnya adalah tentang siluman yang ingin menjadi manusia, dan keinginan itu baru berhasil setelah ia bertapa selama seribu tahun. Rupanya, dewa-dewa yakin pada nilai-nilai kebaikan dan kehendak untuk menolong dari siluman pertapa itu hingga mengabulkan keinginannya. Siluman berubah wujud menjadi seorang wanita jelita bernama Tinio. Dalam kehidupannya bersama manusia di bumi, Tinio terpikat pada seorang pemuda yang belakangan menjadi suaminya. Namun, penjelmaan Tinio diketahui hingga ia dikucilkan walaupun ia sudah menunjukkan sikap yang terpuji sebagai manusia. Jepretan Pengusaha Air Mineral Banyak foto zaman kolonial yang hanya menggambarkan keluarga Belanda yang bahagia dengan deretan pembantu pribumi di latar belakangnya. Waktu itu foto-foto yang menggambarkan kehidupan sehari-hari orang pribumi sulit ditemukan karena dianggap menunjukkan kemiskinan. Namun H.F. Tillema, yang hidup di Indonesia pada akhir tahun 1980-an, berhasil merekam kehidupan sosial di Indonesia kala itu. Foto-foto itu, sekitar 125 buah yang dirangkai dalam 25 frame, dipamerkan di Erasmus Huis Jakarta, 27 April hingga 6 Mei 1994. Tillema rupanya berkeliling Indonesia dan merekam kehidupan orang-orang Indonesia asli. Yang dipamerkan di Erasmus Huis adalah karya Tillema yang dapat dikumpulkan oleh Ewald Vanvugt, seorang kolektor seni yang akan membuka pameran foto "Pandangan Pada Kehidupan Sosial di Indonesia pada Tahun 1920-an" itu. H.F. Tillema adalah seorang pengusaha air mineral yang terkenal di Semarang dan tutup usia pada 1952. Produknya dengan nama dagang Hygiena sangat terkenal pada masa itu dan dipromosikan secara besar-besaran. Dalam salah satu foto yang dipamerkan, tampak H.F. Tillema bersama botol air mineralnya. Nyanyian Warna-warna Lima pelukis dari beragam gaya dan latar belakang pengalaman akan menggelar karya lukisan mereka di Bali Cliff Resort, sebuah hotel di kawasan Ungasan, Bali. Pameran itu berlangsung sampai 30 April mendatang. Kelima pelukis, Mohammed, A.S. Kurnia, Anthonius Kho, W. Hardja yang berasal dari Bali serta Russell Bowtell dari Australia, akan menampilkan sekitar 50 lukisan dengan berbagai material. Pameran itu diberi nama Song of Colours karena hadirnya warna-warna dengan vokalitas yang berbeda. Beragamnya warna dan intensitas warna itu dianggap tak ubahnya sebagai tembang yang harmonis seperti nyanyian. Itu sebabnya pameran diberi nama Nyanyian Warna-warna. Seni Rupa ASEAN Di Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol Jakarta, mulai 27 April hingga 3 Mei, digelar pameran karya-karya seni rupa negara-negara ASEAN. Pameran ini berlangsung setiap tahun dengan mengambil lokasi berpindah-pindah. Tahun lalu dipamerkan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Sedangkan Indonesia merupakan tuan rumah ketiga dari pameran yang berlangsung atas kerja sama Departemen Kebudayaan dengan enam negara anggota ASEAN ini. Karya-karya yang ditampilkan berupa lukisan, fotografi, serta lukisan anak-anak. Tema umumnya adalah keindahan alam dan kehidupan masyarakat. Adapun judul pameran adalah Third Asean Travelling Exhibitions of Painting, Photography, and Children Arts. Tari Kontemporer Minangkabau Bertempat di Teater Tertutup TIM Jakarta, 29-30 April 1994, digelar tari-tari Minangkabau dengan nuansa, ritme, dan tempo baru. Tari-tari serta komposisi musik yang umumnya selama 20 menit akan dimulai pukul 20.00 WIB dengan tanda masuk Rp 5.000. Koreografernya adalah Muhammad Ichlas, yang juga merupakan pemimpin Cilay Dance Theater. Ichlas adalah generasi koreografer muda yang mencoba menggambarkan keindahan alam Minangkabau dan aspek multidimensional dalam masyarakat Minangkabau, seperti lewat tari Jajak Tapak Bajajak Tapak. Sementara itu, lewat tari Ta-Asia-Ng ia ingin menghadirkan keterasingan manusia terhadap lingkungannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini