Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta, 2002
CAK Nur telah menjadi salah satu ikon penting dalam proses pembaruan pemikiran di Indonesia. Dia sering ditahbiskan sebagai guru bangsa. Bahkan, belum lama ini, Arief Budiman menganggapnya sosok yang pantas dicalonkan sebagai Presiden RI mendatang.
Tapi Nur Khalik Ridwan, penulis buku ini, menilai pemikiran Cak Nur telah menghegemoni intelektualitas generasi muda kita: sakral, tertutup, membentuk logosentrisme, tanpa pernah digugat. Padahal, dengan bersenjatakan "the dead author" Roland Barthes plus ramuan gagasan Foucault, Pecheux, dan Althusser, pengarang menjumpai pelbagai kepentingan di belakangnya dan cara berpikir yang keliru.
Gagasan Islam agama universal Cak Nur, yang bertumpu pada pengakuan Nabi, kitab suci, dan tauhid dalam artian metafisik, dinilai terlalu sempit. Menurut Khalik, Cak Nur terjebak pada bangunan agama formal dan mengesampingkan pengikut moral di luar agama formal. Sedangkan tentang Pancasila sebagai kalimatun sawa', Khalik melihat Cak Nur telah mengesampingkan kelompok komunis, yang—betapapun—pada awalnya justru ikut menyokong ditegakkannya Pancasila.
Semua itu, menurut pengarang, tak lepas dari kepentingan dan ideologi Cak Nur dan basis komunitasnya (Masyumi dan HMI). Gagasan Pancasila sebagai kalimatun sawa', Islam yes partai Islam no, sekularisasi dan modernisasi, di mata Khalik tak lebih dari upaya mencari simpati rezim Orde Baru waktu itu, agar basis sosial-masyarakat Cak Nur dapat bersimbiosis dengan kepentingan rezim. Sebab, waktu itu basis komunitas Cak Nur (Masyumi dan HMI) oleh rezim Orde Baru dianggap sebagai pembangkang karena mengusung formalisme Islam dalam negara. Keterkaitan antara gagasan dan kepentingan ini terbukti dengan mengalirnya generasi muda Islam berbasis di HMI masuk ke struktur rezim Orde Baru.
Satu lagi, Cak Nur telah menyingkirkan tema-tema pembebasan terhadap kaum tertindas dalam konstruksi gagasannya. Sebab, advokasi buruh, petani, tukang becak, dan yang lain akan berlawanan dengan hegemoni rezim Orde Baru.
Atas dasar itu, dengan tegas Khalik menyimpulkan bahwa pluralisme Cak Nur adalah "pluralisme borjuis", yakni pluralisme yang hanya membela kelompok-kelompok mapan yang selama ini menjadi basis sosial Cak Nur yang dengan jelas telah melakukan perselingkuhan dengan rezim Orba (halaman 356). Tak perlu heran bila sekian koruptor di negeri ini di antaranya adalah mereka yang melakukan perselingkuhan dengan Orde Baru.
Edy Musoffa, alumni IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini