Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik mungkin sedang mati di jalanan Jakarta. Dan ini terjadi, cepat atau berangsur, justru dengan makin ramainya aksi protes yang berlangsung di atas aspalnya.
Berapa orang di kota ini yang "turun ke jalan" menentang naiknya harga-harga kebutuhan hidup? Katakanlah 10.000. Koran-koran memberitakan, televisi meliput, tapi masyarakat umumnya tak tahu, apa setelah itu. Bukan orang tak marah. Tapi hari-hari ini amarah telah jadi majal. Bersama kian menipisnya perhatian orang pada para demonstran, protes pun bergerak ke arah menjadi banal.
Tentu saja ada faktor lain yang mempengaruhi hal itu. Sejak 30 tahun terakhir, kota ini telah mekar ke delapan penjuru angin. Ruang-ruang baru muncul, makin majemuk, seramai petunjuk jalan. Bermacam ragam kendaraan?semuanya bermotor?membentuk kesibukan yang aneh: geraknya lambat, karena jalanan padat, namun orang mempertaruhkan mobilitas mereka, rencana mereka, dan harapan mereka dalam onggokan mobil dan motor itu. Maka diperlukan daya yang jauh lebih besar untuk mengubah jalan jadi sebuah ekspresi politik yang terdiri dari suara manusia yang bergerak tangkas. Dan ketika ruang kian kompleks, diperlukan energi yang berlipat ganda untuk membuat aksi jadi sebuah teater: artinya, yang penting adalah fungsinya sebagai tontonan. Tontonan butuh dirinya menjadi fokus perhatian.
Tapi di mana fokus itu kini? Perkara harga minyak tanah dan bensin yang naik seperti pekan lalu? Atau soal pengampunan bagi konglomerat berutang pada negara? Atau undang-undang siaran? Atau penahanan seorang ulama? Atau rencana Amerika untuk menyerbu Irak?
Semakin ribut jalanan Jakarta?bukan saja karena lalu lintas, tapi juga karena beranekaragamnya protes sosial?semakin hilang perannya sebagai sebuah politik dengan harapan. Kini banyak orang tidak tahu bagaimana "turun ke jalan" kelak akan bisa mengubah keadaan.
Pada tahun 1998, ketika jalanan Jakarta hampir tiap hari berteriak meminta perubahan, orang berharap sesuatu yang lebih baik akan terjadi. Kemudian harapan itu, disebut sebagai "reformasi", terimpit oleh hal-hal lain, remuk. Hukum yang berlaku di mana-mana berlaku pula di sini: semakin tinggi harapan, semakin rapuh ia.
Orang tampaknya mulai menyadari itu, sehingga angan-angan untuk "revolusi", atau "kudeta", atau apa saja yang merupakan perubahan cepat, dengan harapan yang muluk, akhirnya hanya angan-angan orang-orang yang fantasinya terlampau aktif. Sebab dengan segera orang yang paling romantis pun akan kepergok kenyataan bahwa revolusi sebenarnya mirip sebuah perusahaan: ia membutuhkan visi, perencanaan, dana, dan tenaga?dengan risiko bisa rugi. Dan jalanan Jakarta adalah sebuah ruang anti-Utopia. Sejarah yang berlangsung di aspalnya adalah sejarah revolusi-revolusi yang rugi: ongkosnya jauh lebih besar ketimbang hasilnya.
Sebab itu tak mengherankan bila sebuah elemen dalam "harap" itu tak kelihatan: sesuatu yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai trust, dan dalam bahasa Indonesia disebut "kepercayaan". Celakanya, jalanan Jakarta bukan hanya sebuah arena yang memikat, yang heroik dan perjuangan yang agonistik; ia juga?seperti kantor-kantor pemerintah di Indonesia umumnya?sebuah kehidupan di mana kepentingan publik dipotong-potong dan diperjualbelikan seperti singkong rebus. Sebuah buku yang kocak dan dengan daya tinjau yang tajam, yang ditulis Daniel Ziv, Jakarta Inside Out, memperlihatkan sesuatu yang menarik dalam tiga foto dari tiga demonstrasi: pada hari yang berbeda dan untuk kemarahan yang berbeda, ada wajah orang yang sama. Bisa diduga, si empunya wajah sedang menjalankan usaha pelayanannya?yakni ikut demonstrasi dengan bayaran tertentu, untuk golongan politik apa saja.
Jika untuk marah orang bisa disewa, bagaimana kepercayaan akan bisa tumbuh? Dan jika kepercayaan merupakan sesuatu yang susah-payah berkembang, bagaimana sebuah negeri bisa jadi ruang bertanding dan berunding? Jika demokrasi bukanlah hanya soal pemungutan suara, tapi juga proses negosiasi dan kompromi, penopang sistem demokrasi adalah sejenis optimisme. Setiap orang atau kelompok punya harapan baik bahwa lawan saya bersaing bukanlah musuh saya, dan itu berarti saya bisa mempercayainya sebagaimana ia bisa mempercayai saya: kita tak akan membinasakan yang lain.
Betapa tak gampangnya optimisme seperti itu. Dalam demokrasi, kita bisa memilih legislator, tapi kita tak bisa memilih si pemilih legislator itu. Siapa gerangan yang memilih orang-orang Gujarat yang datang ke kotak suara untuk memilih wakil mereka agar melanjutkan politik kebencian? Siapa yang memilih orang-orang Jerman yang pada tahun 1930-an memenangkan Partai Nazi di Reichstag? Dengan kata lain, di setiap pemilihan umum para warga negara layak berdebar-debar?waswas kalau-kalau para pemilih akan "salah", seperti pernah terjadi secara mengerikan dalam sejarah. Untuk mengatasi waswas itu, kepercayaan pun diperlukan. Tak ada republik yang memilih rakyatnya, dan tak ada republik yang membubarkan rakyatnya.
Itulah sebabnya sebuah demokrasi membutuhkan cara memproduksikan kepercayaan terus-menerus. Kadang-kadang dengan laku pribadi, kadang-kadang dengan komunikasi yang membisu dalam bentuk institusi-institusi. Kadang-kadang tokoh-tokoh menunjukkan kejujuran mereka dengan gamblang, atau mengaku dosa dengan jelas. Kadang-kadang institusi?terutama lembaga hukum?diperkuat dengan cara dibersihkan dari para penerima suap. Kedua cara itu memerlukan waktu panjang. Ketika orang semakin merasa kehilangan peta untuk menemukan rute pintas dari kemelut, politik pun meredup di jalanan Jakarta. Sebab di sana yang ada hanyalah aneka fragmen yang berkilau seperti meteor?bergegas, ringkas, lalu lenyap.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo