Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyusuri Sebuah Dunia di Dalam Jakarta

KOTA KITA: Interior Jakarta Pameran fotografi karya Maya Sofia, Nonot Suryo Utomo, Ali Indra Gunawan, Imelda Steffany, dan Noffal Hidayat Tempat: Galeri Foto Jurnalistik Antara Jalan Antara 59, Jakarta Pusat

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalam Jakarta, ada sebuah dunia gelap. Sebuah interior, sebuah ruang di dalam rumah, gedung, dan gubuk-gubuk itu; dan ada sebuah interior di dalam tubuh warganya. Lima fotografer didikan lokakarya Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) mencoba menampilkan sebuah "dunia dalam" Jakarta melalui pameran foto Kota Kita: Interior Jakarta.

Inilah serial pameran Kota Kita yang keempat, setelah GFJA menyajikan pameran dengan tema ini mulai tahun 1994, berjudul Kota Kita: Kota Tua Jakarta, yang menampilkan sudut-sudut tua Kota Jakarta, Kota Kita: Komunita Jakarta (1996); Kota Kita: Jakarta Bermain (1997). Setelah melakukan sebuah eksplorasi dari dunia fisik Jakarta, GFJA, di bawah pimpinan kurator Yudhi Soerjoatmodjo, bekerja sama dengan fotografer Firman Ichsan, melahirkan fotografer yang menyusuri sebuah Jakarta yang lain dari ketiga Jakarta yang pernah "ditemukan" fotografer didikan GFJA sebelumnya.

Isi dunia di dalam rumah-gedung-gubuk Jakarta itu direkam oleh fotografer muda Maya Sofia, 27 tahun, Imelda Steffany, 25 tahun, Ali Indra Gunawan, 23 tahun, Noffal Hidayat, 24 tahun, dan Nonot Suryo Utomo, 32 tahun, dengan visi dan semangat eksplorasi yang sangat berbeda dengan para fotografer Kota Kita pendahulunya.

Maya Sofia merekam sebuah keteduhan dari dalam sebuah masjid dalam serangkaian foto berjudul Garis-garis Cahaya Itu.... Masjid, selain sebuah tempat ibadah kaum muslim, juga menjadi pelindung bagi jiwa yang koyak dan luka. Sebuah tubuh tipis pasrah, tergeletak di bawah jendela masjid yang diterobos sinar matahari. Sebuah ujung sajadah sederhana--dengan wajah kubah masjid--tidak tampil sekadar benda fungsional untuk beribadah, tetapi seperti sebuah "penghubung" antara dunia raga dan dunia spiritual, antara kegelapan dan cahaya dan Sang Sumber Cahaya. Serangkaian foto Maya Sofia yang merupakan rekaman tentang "isi" sebuah masjid bekas bangunan Belanda. Tua, redup tetapi tetap bercahaya.

Sentuhan dunia dalam ini juga ditemui dalam serangkaian foto karya Nonot Suryo Utomo, yang menyajikan raga yang telah menjadi abu di dalam rumah abu. Di sana bukan hanya ada dupa, abu, dan duka, tetapi gambar-gambar itu juga mengirim bau dan air mata. Melalui foto-foto itu, Nonot telah menampilkan isi sebuah rumah abu sekaligus isi hati dan duka cita mereka yang ditinggalkan.

Interior, yang dalam kosa kata sehari-hari lebih ditujukan untuk benda-benda fungsional dalam perabotan perumahan atau hunian, dalam pameran ini berubah menjadi sebuah penjelajahan ke dalam sebuah lorong gelap dan kumuh di dalam diri manusia, warga Jakarta. Itu akan tampil dengan jelas jika kita menyusuri WC kota Jakarta, seperti yang dilakukan Noffal Hidayat. WC menunjukkan "peradaban". Dan agaknya warga Jakarta memang belum memiliki peradaban (jika hanya ditinjau dari kebersihan WC-nya). Kumpulan ratusan foto toilet itu--dari WC umum yang kumuh dan memberikan bau pesing yang sugestif hingga toilet mewah hotel berbintang--kemudian menjadi semacam sebuah kebun peradaban bagi warga Jakarta.

Kejenakaan semacam ini juga tampil dalam karya Ali Indra Gunawan, yang mencoba menampilkan jiwa anak kos melalui foto-foto Kamar Impian. Apa yang istimewa dengan foto-foto yang "hanya" menunjukkan kamar lelaki muda yang berantakan, topi mahasiswa, setrika yang tergeletak, sebuah poster rancangan untuk berdemonstrasi, dan foto ibunda yang terpajang di temboknya? Sebuah lambang jiwa yang menggelegak, bergerak dan tetap penuh rindu pada yang teduh. Dan benda-benda itu, sebagai perwakilan interior kamar mahasiswa kos-kosan itu, akhirnya mengirim sebuah gambaran tentang jiwa yang muda. Fotografer dan obyek, sama-sama mengirim sesuatu yang segar, jujur, dan muda.

Kejujuran itu pula yang tampil dari karya Imelda Steffany, yang mencoba menggali isi hati para pemijat buta. Mereka yang bekerja, berbicara, duduk, dan termenung dalam gelap, sembari memijat, tetap tak akan melihat cahaya--dalam arti fisik--meski ada sinar matahari yang menyelip di antara jeruji jendela. Tapi mereka menemukan "cahaya" yang berbeda dalam pekerjaan mereka sehari-hari, yang dikerjakan dengan penuh bekti: memijat.

Mungkin kelima fotografer ini tidak melakukan sebuah pembaruan atau pendobrakan. Dan mereka memang tidak berpretensi untuk melakukan itu. Mereka juga--secara sadar atau tak sadar--tidak meletup-letup dengan sebuah ide yang kontroversial seperti lazimnya kecenderungan seniman muda yang gemar bereksperimen dan mencoba-coba. Tapi eksplorasi yang dilakukan pada bagian dalam kota Jakarta ini terasa jujur, sederhana, dan lebih menyentuh. Dan karena itu mereka menjadi (lebih) istimewa.

Leila S. Chudori
Poriaman (tujuh orang)
Jakarta Keras
Fotografer Maya Sofia Ibrahim
eksplorasi ke dalam Jakarta
the darkest soul of Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus