Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Merangkak dalam kartun

"sejarah" film kartun di indonesia bisa ditelusuri sampai 17 tahun silam, ketika penas memproduksi film kartun pertama "si unyil ke rimba" karya kurnain suhardiman.

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI anak-anak pada merasa iba, kepada si bayi dan ibunya. Dan geram kepada si raksasa dalam dongeng itu. Adegan "teror", yang menyisip dalam film serial Si Unyil di layar TVRI itu, tiga pekan silam, tampil dalam bentuk kartun -- dan bukan boneka seperti semua tokoh Si Unyil biasanya. Eksperimen baru? Ternyata tidak. Timun Mas, judul sisipan itu, sudah selesai dibuat tahun 1978. Dengan waktu putar 17 menit, Drs. Suyadi bersama 2 rekannya: Endang Mindaryati dan Andreas Affandi, berhasil mengetengahkan kartun itu tidak hanya sebagai unsur yang menyatu. Tapi juga dengan itu memperkenalkan film kartun Indonesia dalam bentuknya yang selesai -- sesudah beberapa kali penonton TVRI dihadapkan dengan fragmen kartun coba-coba. Dua tiga kartun semacam itu, biasanya dibuat untuk menyampaikan pesan tertentu, animasinya amat mengecewakan. Gerakan dari gambar ke gambar terlalu patah dan melompat. Memang bukan gambar yang bercerita. PPFN, produser Si Unyil, sebaliknya akan membuka era baru. Timun Mas akan disusul dengan serial kartun Si Huma, yang direncanakan manggung di layar TVRI tahun depan. Pembuatannya kini sudah rampung 30%, kira-kira 20 judul. "Serial ini saya harapkan bisa diputar sebagai pengantar anak-anak tidur, sekitar pukul delapan atau setengah sembilan malam," tutur G. Dwipayana, Direktur PPFN di kantornya Jl. Otto Iskandardinata Jakarta. Diakuinya pembuatan film kartun makan banyak biaya. Contoh: Jika film biasa, 16 mm, 10 menit, menghabiskan Rp 6 juta, film kartun dengan panjang yang sama menelan Rp 38 juta -- meski Pak Dipo (panggilan akrabnya) juga memastikan bisa menekan biaya menjadi Rp 26 juta. Bagaimana caranya, tak dijelaskan. Hanya, seperti diutarakannya, biaya tinggi itulah salah satu hambatan besar bagi perkembangan kartun di negeri ini. Hambatan lain: bahan baku seperti celluloide, cat dan aneka peralatan, yang masih harus diimpor. Sedang penggambar yang ahli juga masih amat sedikit. PPFN sendiri hanya mempekerjakan 3 penggambar, yang masih harus diperkuat oleh beberapa tenaga luar. Suyadi, lulusan ITB kelahiran Puger, Ja-Tim, dalam pada itu merasakan hambatan terutama pada kurangnya tenaga trampil "Seandainya waktu cukup ingin betul saya mendidik kalangan muda untuk menjadi animator," katanya. Suyadi, 50 tahun, selama 3 tahun bermukim di Paris khusus untuk mempelajari pembuatan kartun, termasuk misalnya bekerja di studio kartun Les Cienastes Associes. Orang itu cukup sibuk: menggambar dan mengisi suara untuk tokoh Raden dalam Si Unyil, di samping mengolah Si Huma. Ia sendiri optimistis masa depan film kartun di Indonesia cukup baik-asal digalakkan segera. Tenaga berbakat tidak kurang, katanya. Yang perlu tak lain bimbingan, biaya dan kesempatan. "Dulu ketika TVRI masih memuat iklan, kesempatan kerja lebih besar. Sekarang menurun." KARYAWAN ahli pada PPFN itu juga memberi contoh kelebihan kartun. Misalnya, kartun lebih mampu melukiskan hal-hal yang sukar ketimbang film action atau boneka. "Untuk melukiskan proses terjadinya banjir atau kebakaran," kartun memang paling bisa mendetil. "Tapi diperlukan ketelatenan." Menurut Suyadi, idealnya setiap detik film kartun membutuhkan 24 gambar yang berbeda -- hanya untuk menggambarkan satu gerakan. Sekarang di luar negeri jumlah itu bisa disederhanakan jadi 12, tapi tiap gambar dipotret 2 kali. "Ada juga satu gambar dipotret 3 kali, tapi itu sudah terlalu kasar. Dan saya tidak berani melakukannya." "Sejarah" film kartun di Indonesia bisa ditelusuri sampai 17 tahun silam ketika Penas memproduksi film kartun pertama Si Unyil ke Rimba karya Kurnain Suhardiman. Panjangnya 15 menit, hitam putih. Dari situlah tercetus gagasan membuat serial Si Unyil. Sesudah itu Penas memproduksi sebuah kartun lagi, Jaka Kendil, 60 menit. Adapun - Timun Mas, asal mulanya juga dikerjakan Suyadi di Penas, dengan kemampuan teknis seadanya -- seperti pewarnaan dekor dengan pompa, bukan dengan cat semprot yang populer kini. Meski dibuat sambil santai dan tidur-tiduran, Timun Mas sempat dikirimkan ke festival film kartun anak-anak di Denmark tahun lalu. Kendati demikian, Dwipayana hanya berani berkata: "Saya tidak mengharapkan bisa menyaingi apalagi menyingkirkan film kartun impor. Cita-cita saya adalah menciptakan film kartun dengan wajah Indonesia untuk anak-anak Indonesia." Cita-cita ini bukan mustahil. Apalagi PPFN sudah berhasil mewujudkannya lewat Si Unyil. Untuk itu "pemerintah dan semua orang harus tahu membuat film kartun itu tidak gampang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus