BARANGKALI anak-anak pada merasa iba, kepada si bayi dan ibunya.
Dan geram kepada si raksasa dalam dongeng itu. Adegan "teror",
yang menyisip dalam film serial Si Unyil di layar TVRI itu, tiga
pekan silam, tampil dalam bentuk kartun -- dan bukan boneka
seperti semua tokoh Si Unyil biasanya. Eksperimen baru? Ternyata
tidak.
Timun Mas, judul sisipan itu, sudah selesai dibuat tahun 1978.
Dengan waktu putar 17 menit, Drs. Suyadi bersama 2 rekannya:
Endang Mindaryati dan Andreas Affandi, berhasil mengetengahkan
kartun itu tidak hanya sebagai unsur yang menyatu. Tapi juga
dengan itu memperkenalkan film kartun Indonesia dalam bentuknya
yang selesai -- sesudah beberapa kali penonton TVRI dihadapkan
dengan fragmen kartun coba-coba. Dua tiga kartun semacam itu,
biasanya dibuat untuk menyampaikan pesan tertentu, animasinya
amat mengecewakan. Gerakan dari gambar ke gambar terlalu patah
dan melompat. Memang bukan gambar yang bercerita.
PPFN, produser Si Unyil, sebaliknya akan membuka era baru. Timun
Mas akan disusul dengan serial kartun Si Huma, yang direncanakan
manggung di layar TVRI tahun depan. Pembuatannya kini sudah
rampung 30%, kira-kira 20 judul. "Serial ini saya harapkan bisa
diputar sebagai pengantar anak-anak tidur, sekitar pukul delapan
atau setengah sembilan malam," tutur G. Dwipayana, Direktur PPFN
di kantornya Jl. Otto Iskandardinata Jakarta.
Diakuinya pembuatan film kartun makan banyak biaya. Contoh: Jika
film biasa, 16 mm, 10 menit, menghabiskan Rp 6 juta, film kartun
dengan panjang yang sama menelan Rp 38 juta -- meski Pak Dipo
(panggilan akrabnya) juga memastikan bisa menekan biaya menjadi
Rp 26 juta. Bagaimana caranya, tak dijelaskan.
Hanya, seperti diutarakannya, biaya tinggi itulah salah satu
hambatan besar bagi perkembangan kartun di negeri ini. Hambatan
lain: bahan baku seperti celluloide, cat dan aneka peralatan,
yang masih harus diimpor. Sedang penggambar yang ahli juga masih
amat sedikit. PPFN sendiri hanya mempekerjakan 3 penggambar,
yang masih harus diperkuat oleh beberapa tenaga luar.
Suyadi, lulusan ITB kelahiran Puger, Ja-Tim, dalam pada itu
merasakan hambatan terutama pada kurangnya tenaga trampil
"Seandainya waktu cukup ingin betul saya mendidik kalangan muda
untuk menjadi animator," katanya. Suyadi, 50 tahun, selama 3
tahun bermukim di Paris khusus untuk mempelajari pembuatan
kartun, termasuk misalnya bekerja di studio kartun Les Cienastes
Associes.
Orang itu cukup sibuk: menggambar dan mengisi suara untuk tokoh
Raden dalam Si Unyil, di samping mengolah Si Huma. Ia sendiri
optimistis masa depan film kartun di Indonesia cukup baik-asal
digalakkan segera. Tenaga berbakat tidak kurang, katanya. Yang
perlu tak lain bimbingan, biaya dan kesempatan. "Dulu ketika
TVRI masih memuat iklan, kesempatan kerja lebih besar. Sekarang
menurun."
KARYAWAN ahli pada PPFN itu juga memberi contoh kelebihan
kartun. Misalnya, kartun lebih mampu melukiskan hal-hal yang
sukar ketimbang film action atau boneka. "Untuk melukiskan
proses terjadinya banjir atau kebakaran," kartun memang paling
bisa mendetil. "Tapi diperlukan ketelatenan." Menurut Suyadi,
idealnya setiap detik film kartun membutuhkan 24 gambar yang
berbeda -- hanya untuk menggambarkan satu gerakan. Sekarang di
luar negeri jumlah itu bisa disederhanakan jadi 12, tapi tiap
gambar dipotret 2 kali. "Ada juga satu gambar dipotret 3 kali,
tapi itu sudah terlalu kasar. Dan saya tidak berani
melakukannya."
"Sejarah" film kartun di Indonesia bisa ditelusuri sampai 17
tahun silam ketika Penas memproduksi film kartun pertama Si
Unyil ke Rimba karya Kurnain Suhardiman. Panjangnya 15 menit,
hitam putih. Dari situlah tercetus gagasan membuat serial Si
Unyil.
Sesudah itu Penas memproduksi sebuah kartun lagi, Jaka Kendil,
60 menit. Adapun - Timun Mas, asal mulanya juga dikerjakan
Suyadi di Penas, dengan kemampuan teknis seadanya -- seperti
pewarnaan dekor dengan pompa, bukan dengan cat semprot yang
populer kini. Meski dibuat sambil santai dan tidur-tiduran,
Timun Mas sempat dikirimkan ke festival film kartun anak-anak di
Denmark tahun lalu.
Kendati demikian, Dwipayana hanya berani berkata: "Saya tidak
mengharapkan bisa menyaingi apalagi menyingkirkan film kartun
impor. Cita-cita saya adalah menciptakan film kartun dengan
wajah Indonesia untuk anak-anak Indonesia." Cita-cita ini bukan
mustahil. Apalagi PPFN sudah berhasil mewujudkannya lewat Si
Unyil. Untuk itu "pemerintah dan semua orang harus tahu membuat
film kartun itu tidak gampang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini