SUDAH lama Bagio menyadari, lawakan grupnya sering tak memancing
ketawa penonton. "Sering hambar dan itu-itu saja," pelawak itu
mengakui. Karena itu terkadang ia pun risau. "Begitu banyak yang
saya ketahui dan begitu banyak bahan lelucon yang semestinya
dapat memancing ketawa penonton," kata Bagio "tapi saya tak
mungkin mengungkapkannya di panggung".
Mengapa? Itulah kerisauannya akhir-akhir ini. "Hampir setiap
kali saya hendak naik panggung, saya dibisiki: jangan nyerempet
soal itu, jangan menyinggung soal ini," tutur pelawak yang
beranak 11 orang itu. Padahal, menurut Bagio, 49 tahun, "saya
bukannya mau mengkritik, saya hanya punya beberapa pikiran dan
ingin menyampaikannya dengan cara yang lucu". Misalnya, tentang
perekonomian Indonesia akhir-akhir ini, tentang kesenian dan
pendidikan.
Tentang pendidikan misalnya, menurut pelawak itu, "sekolah
sekarang amat kurang mengajarkan budi-pekerti". Dia mencontohkan
anak-anak muda sekarang yang suka bertolak-pinggang di hadapan
orang tua menerima dan memberi sesuatu dengan tangan kiri. "Di
sekolah dulu, saya selalu diajari guru bersopan-santun,"
tambahnya.
Seperti marah kepada dirinya sendiri, anak bekas asisten wedana
itu, juga menyinggung biaya sekolah yang serba mahal. "Anak
orang kurang berada tapi pintar, masih mungkin dapat kesempatan
bersekolah," kata Bagio seperti mengeluh "tapi anak yang kurang
cerdas dari keluarga kurang berada, tampaknya tak cukup punya
kesempatan bersekolah dengan pantas". Ia lama terdiam sehabis
mengucapkan kata-kata itu. Tapi kembali suaranya seperti
mengeluh: "Saya tak mampu memikirkannya .... Karena itu saya
ingin mengatakannya. Tapi saya juga tidak mampu mengucapkannya".
Apa sebenarnya keinginan pelawak ini? Ia hanya mengungkapkan,
"karena semua itulah saya ikut aktif selama masa kampanye
menjelang pemilu baru lalu". Bersama grupnya, Diran, Darto dan
Sol Soleh, hampir setiap hari Bagio muncul di panggung-panggung
kampanye pemilu. Ia ada di Lapangan Banteng ketika kerusuhan 18
Maret, ia ada di kota-kota kecil Jawa Tengah? di pedalaman
Sumatera Selatan dan pelosok luar Jawa lainnya.
"SAMA sekali bukan karena honor," ucap pelucu kelahiran Desa
Sumbang, Purwokerto itu, "tapi karena saya punya harapan kepada
wakil-wakil rakyat hasil Pemilu 1982". Apa? "Saya harap mereka
mewujudkan cita-cita saya selama ini -- pemerataan perbaikan
hidup seniman, perbaikan pendidikan dan yang tak kalah penting
adalah kebebasan. Saya tak mau disibiki lagi".
Bebas dari bisikan rupanya cukup penting bagi pelawak ini.
Sebab, mencari bahan lawakan yang lucu tapi "selamat" memang
dirasakannya tak mudah. Ia mengaku selalu mencari waktu dan
tempat sepi untuk mencari ilham bagi bahan lawakan. "Tapi di
mana-mana saya dikerumuni penggemar," tutumya. Di rumah pun
hanya apabila penghuni-penghuni lain sudah tidur. "Karena itu
saya selalu tak bisa bangun pagi -- tapi ilham lawakan yang baik
jarang saya dapatkan karena selalu dibayang-bayangi bisikan".
Rumah bertingkat dua di Gang Sairin, Setiabudi, Jakarta Selatan
itu, dihuni 50 jiwa. Di antaranya, yang 25 adalah burung-burung
dari berbagai jenis dengan bermacam kicau yang selalu riuh.
Adapun sisanya, 11 orang di antaranya adalah anak-anak sang
pelawak, istrinya, para pembantu rumah tangga. Sisanya adalah
sanak famili Apik Haryati, istri Bagio. Tapi di luar semua itu,
di depan jendela kamar tidur pelawak itu di tingkat bawah, dia
masih memelihara beberapa ekor jangkrik. "Suara
jangkrik-jangkrik itu selalu menenangkan pikiran saya," ungkap
pelawak itu.
Hari-hari di rumah, bagi Bagio tak kalah sibuk dibanding bisnis
pertunjukan. Mengenakan kaus oblong dan kain sarung, sambil
sesekali menyedot rokok kreteknya, di rumah, pelucu itu selalu
dikerumuni anak-anaknya. "Saya selalu berbicara kepada mereka
soal sopan-santun," kata Bagio, "paling tidak tentang cara
berhadapan dengan orang yang lebih tua dan cara bergaul dengan
tetangga".
Mengasuh dan membesarkan 11 orang anak, bagi Bagio merupakan
satu kebanggaan. "Sebab saya tak pernah membayangkan akan punya
anak sebanyak ini," tuturnya. Ia sendiri besar dan dewasa dalam
rumah tangga yang sepi. Ibunya meninggal ketika pelawak itu
masih kecil. Sedang di rumah, Bagio hanya ditemani kakak
perempuannya, karena sang ayah yang waktu itu menjadi asisten
wedana, selalu turne. Tapi karirnya sebagai seniman lawak,
rupanya banyak ditentukan oleh suasana rumah tangga yang sepi
itu.
Perbedaan usia yang cukup jauh dengan kakaknya, menyebabkan
Subagio kecil tak betah di rumah. Jika di desa kebetulan ada
pertunjukan wayang atau ketoprak, setiap malam ia ada di tengah
penonton. Tapi bila tak ada tontonan, ia mengumpulkan anak-anak
sedesa di rumahnya untuk menyaksikan Bagio mengulangi
adegan-adegan pertunjukan yang pernah ia saksikan. "Sebetulnya
saya menirukan itu bukan karena saya senang dengan pertunjukan,
tapi semata-mata agar anak-anak itu betah menemani saya di
rumah," tutur pelawak itu sambil tersenyum.
Tapi lama-lama ternyata Subagio kecil menyenangi seni
pertunjukan itu. Siswosuwarno, si ayah, rupanya mengetahui minat
anaknya. Sehingga kemudian ia memanggil pelatih tari untuk
mengajari anaknya berikut anak-anak desa di rumahnya.
Ia terjun ke panggung sebagai pelucu, dimulai pada tahun-tahun
sebagai pelajar SMA di Yogyakarta. "Berkali-kali saya mengikuti
lomba lawak dan selalu menang," ungkapnya. Lawan lombanya waktu
itu antara lain Iskak dan Edy Sud. "Tapi mereka selalu menjadi
pemenang di bawah saya," kata Bagio sambil tersenyum bangga.
Perkawinannya dengan Apik Haryati pada saat Bagio mulai tercatat
sebagai mahasiswa FH-UGM, menentukan arah hidupnya dengan lebih
tajam ke dunia lawak. "Saya harus menghidupi istri saya, karena
itu saya harus menjadikan lawak sebagai jalan hidup," tambah
Bagio.
Arah yang dia pilih ternyata tidak salah. "Sekarang, dengan
sebelas anak, saya sudah merasa punya modal untuk hari tua,"
katanya dengan yakin. Ia tak menyebut modal apa, seperti halnya
ia tak pernah mau menyebutkan berapa penghasilan grupnya
rata-rata setiap bulan. Yang pasti, "anggota grup saya
masing-masing sudah hidup layak - saya bangga dan mereka
senang".
Grup lawak yang dipimpin Bagio tampaknya lebih banyak dibina
secara kekeluargaan dengan dasar kebijaksaan dari sang pimpinan.
Bagio mengakui hal itu. Terutama dalam soal pembagian honor
adalah hak mutlak saya -- dan semua anggota grup sudah
menyetujui soal ini," ungkap Bagio. Pembagian uang tak ada
ketentuan yang pasti, semua tergantung kebijaksanaan Bagio pada
saat itu. Terkadang 2-1, atau 3-1, bisa juga 1-1. Kalau 2-1,
artinya "dua untuk saya, satu untuk dibagi 3, Diran, Darto dan
Soleh".
Tapi suatu saat bisa terjadi Bagio tak mengambil bagian sedikit
pun. "Karena itu sampai sekarang tak pernah terdengar anggota
grup saya mengeluh," tambahnya dengan bangga. Dengan cara itu
pula Bagio mengharuskan anggotanya mempunyai simpanan uang di
bank dan hanya boleh diambil dengan persetujuan "sang boss".
"Saya punya niat baik terhadap mereka, yaitu agar mereka tidak
menghambur-hamburkan uang tanpa manfaat." Sistem itulah yang
rupanya membuat grup ini jadi awet. Tanggal 13 Juni lalu dengan
sebuah pesta kecil di rumah Bagio, grup ini memperingati usianya
yang sudah 12 tahun.
Menurut Darto, gaya kepemimpinan Bagio serupa itulah yang
menyebabkan grup mereka utuh. "Kami menerima prinsip
kepemimpinannya," kata Darto. Apalagi, kata Darto, Bagio mereka
pandang sebagai guru dalam hal melawak sekaligus guru dalam
membina rumah tangga yang tenteram. Memiliki dua buah mobil,
bersama istri dan 2 anaknya Darto kini mendiami rumah miliknya
yang cukup bagus di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
KELEMAHAN Bagio satu-satunya, menurut Diran, "orangnya tidak
bisa lugas, kurang tegaan." Tentang pembagian honor, menurut
Darto maupun Diran, "memang patokannya berdasarkan kebijaksanaan
mas Bagio - kami menerima kebijaksanaannya karena kami sadar dia
pemimpin kami".
Grup ini, di hari-hari tak ada acara pertunjukan di luar
Jakarta, secara tetap berkumpul setiap malam Jumat di rumah sang
boss. Mereka berbincang tentang berbagai perkara: acara
pertunjukan, isi lawakan dan soal keluarga -- sampai pagi.
Nyonya Apik Haryati yang sudah 26 tahun berumahtangga dengan
Bagio, selalu mengambil peranan di saat serupa itu. Sebab
ternyata dialah yang mengatur jadwal pertunjukan grup ini,
dialah yang menjelaskan siapa yang bakal menonton pertunjukan
itu dan berapa honor yang sudah disetujui.
Nyonya Bagio memang ditugaskan khusus untuk itu. Selebihnya ia
tak mau tahu. "Sebab kalau mas Bagio tidak di rumah, sayalah
yang harus mengatur penghuni rumah yang banyak ini," ungkapnya.
la juga tak tahu apa rencana suaminya di hari tua kelak. Yang
pasti, katanya, "mas Bagio ingin menikmati hari tua di tempat
yang tenang". Mungkin di tengah perkebunan cengkih yang luas tak
jauh dari desa kelahiran pelawak itu, di Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini