Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Saya tak mau dibisiki, kata bagio

Pelawak s. bagio menyadari, lawakan grupnya sering tak memancing ketawa penonton. hampir setiap kali mau muncul di panggung bagio merasa dibisiki untuk tidak selalu mengkritik.(tk)

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lama Bagio menyadari, lawakan grupnya sering tak memancing ketawa penonton. "Sering hambar dan itu-itu saja," pelawak itu mengakui. Karena itu terkadang ia pun risau. "Begitu banyak yang saya ketahui dan begitu banyak bahan lelucon yang semestinya dapat memancing ketawa penonton," kata Bagio "tapi saya tak mungkin mengungkapkannya di panggung". Mengapa? Itulah kerisauannya akhir-akhir ini. "Hampir setiap kali saya hendak naik panggung, saya dibisiki: jangan nyerempet soal itu, jangan menyinggung soal ini," tutur pelawak yang beranak 11 orang itu. Padahal, menurut Bagio, 49 tahun, "saya bukannya mau mengkritik, saya hanya punya beberapa pikiran dan ingin menyampaikannya dengan cara yang lucu". Misalnya, tentang perekonomian Indonesia akhir-akhir ini, tentang kesenian dan pendidikan. Tentang pendidikan misalnya, menurut pelawak itu, "sekolah sekarang amat kurang mengajarkan budi-pekerti". Dia mencontohkan anak-anak muda sekarang yang suka bertolak-pinggang di hadapan orang tua menerima dan memberi sesuatu dengan tangan kiri. "Di sekolah dulu, saya selalu diajari guru bersopan-santun," tambahnya. Seperti marah kepada dirinya sendiri, anak bekas asisten wedana itu, juga menyinggung biaya sekolah yang serba mahal. "Anak orang kurang berada tapi pintar, masih mungkin dapat kesempatan bersekolah," kata Bagio seperti mengeluh "tapi anak yang kurang cerdas dari keluarga kurang berada, tampaknya tak cukup punya kesempatan bersekolah dengan pantas". Ia lama terdiam sehabis mengucapkan kata-kata itu. Tapi kembali suaranya seperti mengeluh: "Saya tak mampu memikirkannya .... Karena itu saya ingin mengatakannya. Tapi saya juga tidak mampu mengucapkannya". Apa sebenarnya keinginan pelawak ini? Ia hanya mengungkapkan, "karena semua itulah saya ikut aktif selama masa kampanye menjelang pemilu baru lalu". Bersama grupnya, Diran, Darto dan Sol Soleh, hampir setiap hari Bagio muncul di panggung-panggung kampanye pemilu. Ia ada di Lapangan Banteng ketika kerusuhan 18 Maret, ia ada di kota-kota kecil Jawa Tengah? di pedalaman Sumatera Selatan dan pelosok luar Jawa lainnya. "SAMA sekali bukan karena honor," ucap pelucu kelahiran Desa Sumbang, Purwokerto itu, "tapi karena saya punya harapan kepada wakil-wakil rakyat hasil Pemilu 1982". Apa? "Saya harap mereka mewujudkan cita-cita saya selama ini -- pemerataan perbaikan hidup seniman, perbaikan pendidikan dan yang tak kalah penting adalah kebebasan. Saya tak mau disibiki lagi". Bebas dari bisikan rupanya cukup penting bagi pelawak ini. Sebab, mencari bahan lawakan yang lucu tapi "selamat" memang dirasakannya tak mudah. Ia mengaku selalu mencari waktu dan tempat sepi untuk mencari ilham bagi bahan lawakan. "Tapi di mana-mana saya dikerumuni penggemar," tutumya. Di rumah pun hanya apabila penghuni-penghuni lain sudah tidur. "Karena itu saya selalu tak bisa bangun pagi -- tapi ilham lawakan yang baik jarang saya dapatkan karena selalu dibayang-bayangi bisikan". Rumah bertingkat dua di Gang Sairin, Setiabudi, Jakarta Selatan itu, dihuni 50 jiwa. Di antaranya, yang 25 adalah burung-burung dari berbagai jenis dengan bermacam kicau yang selalu riuh. Adapun sisanya, 11 orang di antaranya adalah anak-anak sang pelawak, istrinya, para pembantu rumah tangga. Sisanya adalah sanak famili Apik Haryati, istri Bagio. Tapi di luar semua itu, di depan jendela kamar tidur pelawak itu di tingkat bawah, dia masih memelihara beberapa ekor jangkrik. "Suara jangkrik-jangkrik itu selalu menenangkan pikiran saya," ungkap pelawak itu. Hari-hari di rumah, bagi Bagio tak kalah sibuk dibanding bisnis pertunjukan. Mengenakan kaus oblong dan kain sarung, sambil sesekali menyedot rokok kreteknya, di rumah, pelucu itu selalu dikerumuni anak-anaknya. "Saya selalu berbicara kepada mereka soal sopan-santun," kata Bagio, "paling tidak tentang cara berhadapan dengan orang yang lebih tua dan cara bergaul dengan tetangga". Mengasuh dan membesarkan 11 orang anak, bagi Bagio merupakan satu kebanggaan. "Sebab saya tak pernah membayangkan akan punya anak sebanyak ini," tuturnya. Ia sendiri besar dan dewasa dalam rumah tangga yang sepi. Ibunya meninggal ketika pelawak itu masih kecil. Sedang di rumah, Bagio hanya ditemani kakak perempuannya, karena sang ayah yang waktu itu menjadi asisten wedana, selalu turne. Tapi karirnya sebagai seniman lawak, rupanya banyak ditentukan oleh suasana rumah tangga yang sepi itu. Perbedaan usia yang cukup jauh dengan kakaknya, menyebabkan Subagio kecil tak betah di rumah. Jika di desa kebetulan ada pertunjukan wayang atau ketoprak, setiap malam ia ada di tengah penonton. Tapi bila tak ada tontonan, ia mengumpulkan anak-anak sedesa di rumahnya untuk menyaksikan Bagio mengulangi adegan-adegan pertunjukan yang pernah ia saksikan. "Sebetulnya saya menirukan itu bukan karena saya senang dengan pertunjukan, tapi semata-mata agar anak-anak itu betah menemani saya di rumah," tutur pelawak itu sambil tersenyum. Tapi lama-lama ternyata Subagio kecil menyenangi seni pertunjukan itu. Siswosuwarno, si ayah, rupanya mengetahui minat anaknya. Sehingga kemudian ia memanggil pelatih tari untuk mengajari anaknya berikut anak-anak desa di rumahnya. Ia terjun ke panggung sebagai pelucu, dimulai pada tahun-tahun sebagai pelajar SMA di Yogyakarta. "Berkali-kali saya mengikuti lomba lawak dan selalu menang," ungkapnya. Lawan lombanya waktu itu antara lain Iskak dan Edy Sud. "Tapi mereka selalu menjadi pemenang di bawah saya," kata Bagio sambil tersenyum bangga. Perkawinannya dengan Apik Haryati pada saat Bagio mulai tercatat sebagai mahasiswa FH-UGM, menentukan arah hidupnya dengan lebih tajam ke dunia lawak. "Saya harus menghidupi istri saya, karena itu saya harus menjadikan lawak sebagai jalan hidup," tambah Bagio. Arah yang dia pilih ternyata tidak salah. "Sekarang, dengan sebelas anak, saya sudah merasa punya modal untuk hari tua," katanya dengan yakin. Ia tak menyebut modal apa, seperti halnya ia tak pernah mau menyebutkan berapa penghasilan grupnya rata-rata setiap bulan. Yang pasti, "anggota grup saya masing-masing sudah hidup layak - saya bangga dan mereka senang". Grup lawak yang dipimpin Bagio tampaknya lebih banyak dibina secara kekeluargaan dengan dasar kebijaksaan dari sang pimpinan. Bagio mengakui hal itu. Terutama dalam soal pembagian honor adalah hak mutlak saya -- dan semua anggota grup sudah menyetujui soal ini," ungkap Bagio. Pembagian uang tak ada ketentuan yang pasti, semua tergantung kebijaksanaan Bagio pada saat itu. Terkadang 2-1, atau 3-1, bisa juga 1-1. Kalau 2-1, artinya "dua untuk saya, satu untuk dibagi 3, Diran, Darto dan Soleh". Tapi suatu saat bisa terjadi Bagio tak mengambil bagian sedikit pun. "Karena itu sampai sekarang tak pernah terdengar anggota grup saya mengeluh," tambahnya dengan bangga. Dengan cara itu pula Bagio mengharuskan anggotanya mempunyai simpanan uang di bank dan hanya boleh diambil dengan persetujuan "sang boss". "Saya punya niat baik terhadap mereka, yaitu agar mereka tidak menghambur-hamburkan uang tanpa manfaat." Sistem itulah yang rupanya membuat grup ini jadi awet. Tanggal 13 Juni lalu dengan sebuah pesta kecil di rumah Bagio, grup ini memperingati usianya yang sudah 12 tahun. Menurut Darto, gaya kepemimpinan Bagio serupa itulah yang menyebabkan grup mereka utuh. "Kami menerima prinsip kepemimpinannya," kata Darto. Apalagi, kata Darto, Bagio mereka pandang sebagai guru dalam hal melawak sekaligus guru dalam membina rumah tangga yang tenteram. Memiliki dua buah mobil, bersama istri dan 2 anaknya Darto kini mendiami rumah miliknya yang cukup bagus di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. KELEMAHAN Bagio satu-satunya, menurut Diran, "orangnya tidak bisa lugas, kurang tegaan." Tentang pembagian honor, menurut Darto maupun Diran, "memang patokannya berdasarkan kebijaksanaan mas Bagio - kami menerima kebijaksanaannya karena kami sadar dia pemimpin kami". Grup ini, di hari-hari tak ada acara pertunjukan di luar Jakarta, secara tetap berkumpul setiap malam Jumat di rumah sang boss. Mereka berbincang tentang berbagai perkara: acara pertunjukan, isi lawakan dan soal keluarga -- sampai pagi. Nyonya Apik Haryati yang sudah 26 tahun berumahtangga dengan Bagio, selalu mengambil peranan di saat serupa itu. Sebab ternyata dialah yang mengatur jadwal pertunjukan grup ini, dialah yang menjelaskan siapa yang bakal menonton pertunjukan itu dan berapa honor yang sudah disetujui. Nyonya Bagio memang ditugaskan khusus untuk itu. Selebihnya ia tak mau tahu. "Sebab kalau mas Bagio tidak di rumah, sayalah yang harus mengatur penghuni rumah yang banyak ini," ungkapnya. la juga tak tahu apa rencana suaminya di hari tua kelak. Yang pasti, katanya, "mas Bagio ingin menikmati hari tua di tempat yang tenang". Mungkin di tengah perkebunan cengkih yang luas tak jauh dari desa kelahiran pelawak itu, di Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus