RAPBN 1979/1980 yang disampaikan Presiden Soeharto kepada DPR 8
Januari ini punya arti tersendiri dibanding RAPBN sebelumnya.
Kali ini -- selain bukunya berwarna hijau daun -- RAPBN
disiapkan dua bulan sesudah diambilnya tindakan ekonomi yang
paling spektakuler 15 Nopember 1978. RAPBN 1979/1980 seperti
juga buku anggaran yang lalu, tetap setia pada 'anggaran
berimbang' dan berjumlah 6.934 milyar, naik 43,7% dari APBN
1978/1979 yang Rp 4.826,3 milyar. Tapi itu bisa tercapai karena
setelah 15 Nopember, nilai US$1 sudah menjadi Rp 625. (lihat
tabel) RAPBN 1979/1980 itu juga disiapkan sesudah Indonesia
mengakhiri 1978 dengan iklim ekonomi yang cukup baik. Inflasi
untuk pertama kalinya dalam 7 tahun berada di bawah 10%. Panen
padi di luar dugaan tak lagi diganggu hama wereng dan cukup
melimpah. Maka devisa untuk impor beras bisa dihemat, karena
impor beras yang diperlukan ternyata jauh di bawah jumlah yang
direncanakan semula. adangan devisa tetap kuat: US$ 2.600 juta.
Sekalipun begitu surplus neraca pembayaran pada anggaran
1977/1978 yang berakhir Maret lalu cuma mencapai US$ 648 juta,
kurang US$ 200 juta dari target.
Dibanding APBN sekarang, RAPBN 1979/1980 akan bertambah dengan
Rp 2.108 milyar, dan 61% berasal dari pertambahan pajak
perseroan minyak. Ini dimungkinkan oleh devaluasi rupiah, yang
otomatis akan menambah penerimaan rupiah untuk setiap dollar
dengan 50%, di samping naiknya harga minyak yang diputuskan
konperensi organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) di
Abu Dhabi, ibukota Uni Emirat Arab, pertengahan Desember lalu.
Seandainya volume ekspor minyak sekarang ini tetap, devaluasi
rupiah saja akan menambah penerimaan minyak sekitar Rp 1.000
milyar. Bila Indonesia menaikkan bertahap harga minyak 14,5%
atau yang secara efektif akan jatuh 10% untuk sepanjang tahun
1979, penerimaan devisa akan bertambah US$ 600 juta.
Tapi dalam proyeksi neraca pembayaran 1979/1980, ekspor minyak
diperkirakan hanya naik 6%. Kesimpulan yang bisa diambil: volume
minyak yang diekspor sepanjang 1979 ini akan turun. RAPBN yang
mulai berlaku awal April nanti -- bertepatan dimulainya Pelita
III -- memang tak bercerita banyak tentang minyak. Di halaman
104 dari buku tebal itu hanya disebutkan: "Meskipun perkiraan
kenaikan produksi minyak dalam tahun 1979/1980 tidak secepat
tahun-tahun sebelumnya, namun diharapkan akan dapat dibarengi
dengan kenaikan gas alam cair (LNG) dalam periode tersebut. Maka
nilai ekspor minyak bersih termasuk LNG dalam periode tersebut
akan mencapai US$ 4.938 juta." Dalam APBN 78/79 devisa minyak
bersih, tanpa LNG, diperkirakan masuk US$4.656 juta, US$ 205
juta atau 4,6% lebih besar dari APBN sebelumnya.
Patut diketahui dalam semester I 1978 produksi minyak rata-rata
masih 1,69 juta barrel sehari. Tapi bulan-bulan berikutnya
produksi rata-rata turun menjadi 1,61 juta barrel sehari. Sedang
APBN 1978/1979 sendiri memproyeksikan produksi minyak rata-rata
1,6 juta barrel sehari. Masih sulitnya pemasaran minyak di luar
negeri, munculnya saingan dari Alaska, Laut Utara, Teluk Meksiko
dan mungkin sekali RRC, turut mempengaruhi volume ekspor minyak
Indonesia.
Untuk menarik pembeli tadinya Pertamina masih enggan memberikan
potongan harga, seperti dilakukan Kuwait, Aljazair dan Nigeria.
Tapi tahun ini tampaknya korting itu diberikan juga. Dalam
putusannya baru-baru ini Departemen Pertambangan hanya menaikkan
harga minyaknya dengan rata-rata antara 3,7 - 3,8% di bawah
kenaikan ratarata 5% yang diputuskan OPEC untuk tahap pertama
sampai dengan April 1979 (lihat TEMPO 6 Januari).
Sangat menarik adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang
dalam RAPBN 1979/1980 tercantum Rp 219,6 milyar. Dalam anggaran
1978/1979 subsidi BBM itu ditaksir hanya akan menelan Rp 59
milyar. Ternyata dalam setengah tahun pertama atau sampai akhir
September 1978, sudah melebihi Rp 120 milyar. Bisa dimengerti
kalau dengan penyesuaian kurs rupiah yang baru dan naiknya harga
minyak sekarang, pemerintah merasa beban subsidi itu makin
bera. Diduga harga BBM di dalam negeri akan naik lagi dalam
tahun ini, setelah berhasil dibendung subsidi selama tiga tahun
lebih. Presiden ketika membawakan keterangan Pemerintah di DPR
mengingatkan: " . . . kebutuhan subsidi yang sebenarnya adalah
jauh lebih besar, yaitu hampir 2 kali jumlah tersebut (Rp 219,6
milyar - Red.), andaikata harga bahan bakar minyak yang sekaran
tidak disesuaikan dalam tahun anggaran 1979/1980."
Devaluasi rupiah ternyata juga mempengaruhi proyeksi beberapa
jenis pajak tidak langsung. Pajak ekspor misalnya diperkirakan
Rp 173 milyar, dua kali lipat anggaran sekarang. Ini
menggambarkan optimisme pemerintah tentang ekspor non minyak
yang cukup besar. Tapi seperti sudah diduga, bea masuk dan pajak
penjualan impor berkurang Rp 65 milyar dibanding anggaran yang
masih berjalan, suatu hal yang pasti membuat Menkeu Ali Wardhana
pusing kepala. "Yah, saya terpaksa harus membantu pak Radius,"
katanya dalam suatu kesempatan. Sejak keluarnya Kenop-15,
hampir semua jenis impor bahan baku ditumnkan tarifnya 50%.
Akan halnya penerimaan pembangunan, yang seluruhnya berasal
pinjaman luar negeri, diproyeksikan Rp 1.494 milyar. Artinya
naik 75% dibanding anggaran 78/79. Tapi dalam nilai dollar,
kenaikan itu sebenarnya hanya 14%. Ini sesuai kenaikan pos
'pinjaman resmi' dalam rekening modal (capital account) neraca
pembayaran 1979/1980. Pos ini. diproyeksikan berjumlah US$ 2.551
juta. Itu tentunya bukan saja termasuk bantuan IGGI, tapi juga
penerimaan penjualan obligasi RI di Tokyo dan Jerman Barat, dan
pinjaman Euro dollar US$ 350 juta yang belum lama berselang
diperoleh Bank Indonesia dari sindikat bank yang dipimpin
Manufacturers Hannover Ltd. dan Toronto Dominion Bank.
Pinjaman itu ditaksir akan cukup untuk menutup lobang defisit
transaksi berjalan (current account) yang diperkirakan US$ 1.423
juta. Tapi yang akhirnya diperkirakan akan menghasilkan surplus
US$ 350 juta, suatu jumlah yang lebih kecil dari surplus US$ 646
juta seperti tercantum dalam neraca pembayaran 1977/1978. Adapun
surplus neraca pembayaran yang diperkirakan akan tercapai dalam
Rancangan Repelita III berjumlah US$ 1.450 juta, kurang dari US$
1.600 juta yang masuk selama 5 tahun Pelita II.
Pada anggaran pengeluaran rutin, belanja pegawai naik 33% dari
anggaran sekarang. Tapi, seperti dikemukakan Presiden,
pemerintah untuk tahun anggaran 1979/1980 tidak memberikan
kenaikan gaji pegawai. Sekalipun begitu gaji ke-13 akan
diberikan kepada para pegawai negeri bertepatan dengan tahun
ajaran baru yang jatuh awal Juni. Tapi di samping gaji ke-13
itu, kenaikan belanja pegawai yang 33% itu juga mencakup
kenaikan gaji rutin, misalnya karena kenaikan pangkat dan
pertambahan pegawai baru, dan penyesuaian pensiun pegawai negeri
sebanyak 100%.
Mengenai cicilan hutang dan bunga luar negeri diperkirakan akan
menelan Rp 598 milyar, naik 77% dari APBN sekarang. Namun bila
dihitung dalam dollar, kenaikannya hanya 18%.
Masih ada pos penting lainnya yang perlu disinggung. Tapi yang
tak boleh dilewatkan adalah pos 'pengeluaran pembangunan' yang
diproyeksikan mencapai Rp 3.488 milyar, 42% lebih banyak dari
APBN sekarang. Selama dua tahun terakhir pos tersebut meningkat
dengan 5,5%, lalu 13,2%. Adakah kenaikan yang 42% itu akan
berarti banyak untuk mengatasi dua masalah pokok Indonesia
sekarang: perluasan kesempatan kerja dan pembagian kue
pembangunan yang lebih merata? Mari kita tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini