Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, meresmikan angkut an sungai dengan rute Halimun-Pintu Air Karet sepanjang 1,7 kilometer. Di ayun arus Kanal Banjir Barat di atas kapal bermuatan 28 orang itu, penumpang boleh-boleh saja berkhayal sedang menyusuri Canal Grande, Venesia, di atas Gondola.
Venesia, kota di bagian utara Italia, oleh koran The Times, Inggris, disebut sebagai kota paling romantis di Eropa. Keindahan kota yang juga dijuluki Ratu Laut Adriatik itu tak bisa lepas dari keberadaan 177 kanal yang membelah Venesia dari berbagai penjuru.
Berkhayal bisa dibuai arus sungai di Kanal Banjir Barat laiknya di Venesia saat ini tentu masih jauh dari harapan. Bau busuk air Su ngai Ciliwung yang memenuhi udara di sepanjang perjalanan dari Halimun ke Karet segera membuyarkan angan-angan. Belum lagi segala macam jenis sampah meng apung, terutama saat musim hujan.
Rezza Rahdian, Erwin Setiawan, Ayu Diah Shanti, dan Leonardus Chrisnantyo tetap mempunyai mimpi mengubah Ciliwung menjadi seperti Canal Grande. ”Sayang, sekarang Ciliwung malah menjadi musibah besar bagi warga Jakarta,” kata Ayu, yang baru setahun lulus dari Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada. Kala musim hujan, Ciliwung banjir, di musim kemarau menjadi tempat sampah di Jakarta.
Mimpi keempat arsitek itu mereka tuangkan dalam sebuah konsep bangunan futuristik setinggi 300 meter atau lebih dari dua kali tinggi Monumen Nasional. Bangunan pencakar langit ini mereka rencanakan dibangun di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Bukan sekadar untuk gagah-gagah an, bangunan jangkung itu mampu mencuci air Ciliwung yang keruh sebelum masuk pusat Kota Jakarta. Bau busuknya pun hilang.
Desain ambisius empat arsitek dari UGM itu menjadi juara kedua lomba arsitektur Skyscraper 2010 yang diselenggarakan majalah Evolo, New York, Amerika Serikat, bulan lalu. Mereka menyisihkan 430 rancangan bangunan pencakar langit dari 42 negara. Juara pertama dari Malaysia dengan konsep penjara ”terbang”. Di urutan ketiga, rancangan pencakar langit dengan konsep jaring laba-laba dari Amerika.
Pencakar langit rancangan empat arsitek ini juga bersifat populis, berpihak pada rakyat kecil. Selain untuk memperbaiki kualitas air Sungai Ciliwung sehingga layak minum, bangunannya terintegrasi dengan perumahan vertikal yang menampung peng huni rumah-rumah di sempadan Ciliwung. ”Mengusir mereka dari pinggir sungai bukan solusi, karena penghidupan mereka ada di sekitar Ciliwung,” kata Rezza, 23 tahun, yang baru akan diwisuda Mei ini.
Bangunan ini menghidupi dirinya sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan energi, diatap pencakar langit ini ada taman-taman sel surya raksasa. Lift yang mengangkut warga naik dan turun bangunan memanfaatkan hukum Archimedes sehingga irit listrik. Sampah yang dijaring dari Ciliwung di olah menjadi pupuk yang menyuburkan taman dan hutan tropis di kompleks bangunan tersebut. Air limbah rumah tangga dari perumahan dan kantor diolah lagi sehingga bisa dikembalikan ke sungai atau dipakai menyiram tanaman.
Berharap bisa berwisata mengarungi Ciliwung dari Kampung Melayu hingga ke muara di Teluk Jakarta di atas gondola masih jauh dari mimpi. ”Konsep ini memang sulit diterapkan. Biayanya terlalu mahal,” kata Ayu.
Sapto Pradityo, Bernada Rurit (Yogyakarta)
Dari Comberan Mengucur Air Bersih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo