Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANGAN itu berubah menjadi bendungan. Tiang yang tercagak di tengah ruangan Cemeti Art House, Yogyakarta, dibuat menyerupai mistar besar dengan angka-angka warna merah: 180.50, 181.00, 181.50, 182.00…, 185.00. Angka-angka itu tercetak berurutan, dari bawah hingga atas, dalam font berukuran 10 sentimeter dan dilengkapi garis-garis merah. Di bendungan yang sesungguhnya, angka-angka itu menjadi penanda batas ketinggian air.
Angka-angka yang sama tercetak di dinding. Dari sana, empat utas benang putih ditarik vertikal membentuk kerangka balok yang memanjang hingga ke dinding seberang. Benang yang tergantung di langit-langit itu dilengkapi pemberat. Susunan benang itu mengingatkan kita pada benang-benang yang biasa digunakan para tukang bangunan untuk membantu pengukuran dalam membuat dinding atau tiang.
Itulah seni instalasi karya Moelyono, perupa asal Tulungagung berusia 54 tahun, dalam pameran tunggal "Retak Wajah Anak-anak Bendungan" di Cemeti Art House. Pameran yang dibuka pada 5 Agustus lalu itu—dan berlangsung hingga pekan ini—merupakan rekaman kehidupan anak-anak korban pembangunan Bendungan Wonorejo. Dam yang mulai dibangun pada 1982 itu membendung hilir dua anak Kali Brantas, Kali Gondang dan Kali Wangi, di Desa Wonorejo, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Sebanyak 520 hektare lahan persawahan, permukiman, pasar, sekolah, dan tempat ibadah tenggelam demi bendungan yang berfungsi sebagai pengendali banjir, pembangkit listrik, dan pemasok kebutuhan air minum ke kota industri Surabaya itu.
Sebagian warga dipindahkan dengan transmigrasi atau pindah ke keluarga dekat. Sebagian lagi hidup di kawasan sabuk hijau di sekitar bendungan. Mereka yang mendapat banyak ganti rugi membuka usaha baru, sedangkan yang mendapat sedikit ganti rugi beralih profesi menjadi buruh pabrik, penjaja makanan, sopir, pembantu rumah tangga, atau buruh sadap pinus. Ada pula warga yang masih bertani dengan menggarap lahan kering milik Perhutani di perbukitan di dekat bendungan.
Lewat pameran ini, Moelyono hendak menghadirkan kisah tragis di balik pembangunan bendungan. Selain menampilkan karya instalasi tadi, dia memamerkan sejumlah lukisan yang bergambar wajah anak-anak korban pembangunan bendungan dengan raut muka berbedak lumpur yang kering dan retak-retak. Dia juga menyertakan dokumen, data geografis, dan kliping koran yang mengangkat kisah pembangunan bendungan.
Menurut dia, akibat penduduk kehilangan sawah, hanya tiga anak di desa itu yang kini dapat melanjutkan pendidikan dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas. Sisanya sebagian besar hanya lulusan sekolah dasar. "Masa depan mereka mulai retak-retak," katanya.
Tak sekadar merekam kondisi warga korban pembangunan bendungan, Moelyono turut melakukan advokasi di sana. Dia melihat bagaimana sawah-sawah petani diganti dengan uang ganti rugi yang dalam sekejap menguap karena terpakai untuk membeli telepon seluler atau sepeda motor dan buat membangun rumah. Mereka pun beralih menjadi buruh pabrik di kota.
Kisah itu direkam dalam lukisan Oleh-oleh Ibu dari Kerja di Kota. Lukisan itu terdiri atas dua panel, seperti lukisannya yang lain, yang masing-masing menggambarkan separuh wajah bocah berbedak lumpur kering. Di atas gambar wajah anak itu ditambahkan gambar bungkus makanan ringan bermerek Jagoan Neon, kepala boneka, telepon seluler, peniti, kelereng, dan kepala sapi.
Lukisan Moelyono super-realis. Wajah anak-anak yang menjadi subyek utama dia lukiskan dalam ukuran sangat besar, yang hampir memenuhi seluruh kanvas, dan terperinci. Ada semacam kegetiran yang terpancar pada wajah bocah dengan bibir tersungging itu.
Ekspresi yang sama dapat dilihat pada lukisan Aku dan Simbah di Atas Sawah Retak #1 dan #2. Wajah bocah dalam kedua lukisan ini juga berbedak lumpur kering yang retak-retak. Di sudut bawah lukisan ditambahkan lukisan potÂret seorang perempuan tua yang diam dan anak-anak dengan senyum di bibir.
Di Wonorejo, Moelyono menghimpun anak-anak dalam satu kelompok kesenian tradisional kuda lumping. Hal itu dia gambarkan dalam lukisan Menari di Atas Sawah Retak. Dengan gambar utama wajah anak yang berlumpur kering, Moelyono menambahkan potret anak-anak dengan riasan penari dan meteran air di bendungan sebagai latarnya.
Dalam karya instalasinya yang lain, Moelyono menggambarkan jiwa para petani dengan menggunakan idiom tabung kaca beragam ukuran, yang mirip tabung eksperimen di laboratorium. Tabung kaca itu diisi benih, tanah, darah, air, dan jamu. Ada lima karya instalasi yang mengungkapkan gagasan itu, yakni Titip Tanah Sawah, Titip Jamu Tani, Titip Darah Tani, Titip Benih Tani, dan Titip Sumber Air Tani. Seri tabung itu ditempatkan di dalam rak-rak besi.
Ukuran rak bervariasi, tapi tingginya rata-rata sekitar 70 sentimeter. Empat rak menempel di dinding dan satu rak, yang berjudul Titip Sumber Air Tani, diletakkan di atas kotak putih setinggi pinggang. Tak semua benda ditaruh di dalam tabung. Titip Tanah Sawah merupakan rak dua tingkat yang tingkat atasnya berisi kerangka gigi binatang ternak yang terkubur tumpukan tanah. Titip Benih Tani merupakan rak dengan tabung-tabung sebesar gelas yang berisi bulir benih padi, jagung, dan kacang. Adapun pada Titip Darah Tani dan Titip Jamu Tani, Moelyono menggunakan tabung sebesar jempol orang dewasa.
Moelyono mengatakan sengaja menggunakan tabung kaca sebagai idiom jiwa warga yang tercerabut dari pribadinya sebagai petani. Seperti halnya bayi tabung yang bermula dari benih seseorang yang tersimpan di dalam tabung, kata dia, benda-benda yang menjadi jiwa petani itu kini tak lagi dimiliki warga. Mereka kini bukan lagi petani, tapi beralih profesi menjadi buruh pabrik atau penyadap getah pinus.
Sebagai seorang seniman yang bergelut dengan kegiatan pendampingan masyarakat, Moelyono mengakui orientasi utamanya dalam berkesenian tak sekadar mengejar kebutuhan pasar, tapi bukan berarti pasar itu tak penting. Hasil penjualan beberapa lukisannya bisa dia gunakan untuk membiayai kebutuhan pendidikan sejumlah anak korban pembangunan Bendungan Wonorejo.
Bagi Moelyono, seni rupa adalah bagian dari dialognya dengan warga. Dalam pameran kali ini, ia memamerkan tiga lukisan Pak Katar, seorang petani Wonorejo, yakni Tanah Sawah untuk Bertani, Tanah Sawah Jadi Bendungan, dan Kerja Tani Buruh Sadap Pinus. Dalam menggambarkan kegiatan Katar, Moelyono menggunakan idiom pewayangan. Mereka digambarkan sedang mencangkul di sawah, menggembalakan ternak, memancing, dan menyadap pinus. Moelyono juga mendorong Katar membuat lukisan-lukisan kaca, yang sebagian dia pamerkan di sini.
Moelyono mengakui perhatiannya terhadap persoalan kaum yang terpinggirkan itu terkait dengan pengalaman masa kecilnya. Dia tinggal di tepi Kali Brantas saat masih duduk di bangku sekolah dasar dan kerap menyaksikan mayat orang yang dicap PKI mengapung di sungai.
Anang Zakaria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo