Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SHAFA Azalia merajuk. Dari balik kaca di kamar perawatÂan intensif (ICU) gedung A lantai 6 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, bocah empat setengah tahun itu terlihat menjejak-jejakkan kaki ke kasur. Wajahnya cemberut. Sesaat, Wina, ibunya, menelepon seseorang. Entah apa yang dibicarakan.
"Shafa minta ayam goreng, biskuit, dan abon. Dengan kondisinya, ia belum bisa makan yang seperti itu. Makanya dia ngambek," kata Zulkarnain, ayah Shafa. Menjelang buka puasa Jumat pekan lalu, Zulkarnain datang ke rumah sakit, tapi tetap tak membawa apa yang diminta putri bungsunya itu. "Shafa sebenarnya doyan makan. Namun hari ini ia baru saja selesai operasi penggantian selang napas di leher (trakeostomi), sehingga sementara waktu belum bisa menelan makanan," kata warga Kramat Kwitang, Jakarta ini. Sebelum selang diganti, Shafa memang sudah bisa makan melalui mulut.
Sementara itu, di ranjang di depan Shafa, terlihat M. Azka Arriziq, 4 tahun, lelap tertidur. Beberapa selang, termasuk ventilator (alat bantu napas), terhubung ke tubuh anak sulung pasangan Anto Aryanto dan Rinawati ini. Menurut Rinawati, kondisi anaknya sudah membaik. "Sejak dua hari lalu, dia sudah bisa menggerakkan mata, mulut, dan leher. Bisa bilang papa, mama," kata Rina, warga Tajur, Bogor, Jumat pekan lalu. "Semoga fungsi parunya terus membaik sehingga tak perlu menjalani operasi di leher seperti Shafa."
Shafa dan Azka adalah dua pasien cilik pengidap sindrom Guillain-Barre, penyakit yang dinamai sesuai dengan ilmuwan Prancis yang mendeskripsikannya pada 1916, yakni Georges Guillain dan Jean Alexandre Barre. Penyakit ini berupa inflamasi akut, ditandai rusaknya selubung myelin, pelapis yang melindungi serabut saraf atau akson sebagai jalur transmisi utama sistem saraf dalam tubuh.
Guillain-Barre merupakan salah satu penyakit autoimun, yakni penyakit yang disebabkan oleh "pengkhianatan" sistem kekebalan tubuh. Imunitas, yang mestinya menjaga tubuh dari serangan penyakit, justru menyerang tubuh sendiri. Adapun yang diserang adalah saraf tepi, yang berakibat rusaknya myelin. Buntutnya, sistem saraf tepi kehilangan kemampuan meneruskan perintah otak. Infeksi virus diduga berada di balik timbulnya autoimun tersebut.
"Gejala khasnya adalah lumpuh layu akut secara tiba-tiba dan progresif. Mulai dari tungkai kaki, lalu naik terus ke atas," kata dokter Irawan Mangunatmadja dari divisi neurologi anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Dalam kasus Azka-Shafa, kelumpuhan ditandai dengan rasa kesemutan di kaki yang terus menjalar ke atas, hingga menyergap organ pernapasannya. Jika lumpuh tapi tidak progresif, Irawan menegaskan, "Itu bukan sindrom Guillain-Barre."
Derajat progresivitas penyakit ini terbagi tiga. Pertama lumpuh ringan, yang sembuh sendiri dalam 2-4 pekan tanpa pengobatan. Lalu sedang jika kelumpuhan naik dari tungkai hingga ke bagian tubuh di atasnya, lalu berhenti dan tak sampai menyerang organ pernapasan, dan beberapa bulan kemudian sembuh. Sedangkan yang berat jika kelumpuhan naik terus hingga mengenai organ pernapasan. Dalam kasus yang berat, kalau tak segera ditangani, pasien bisa meninggal karena tak bisa bernapas. Karena itu, memiliki ventilator merupakan syarat yang tak bisa ditawar bagi rumah sakit yang menangani kasus ini.
Kasus Guillain-Barre, menurut Irawan, tidak langka tapi termasuk jarang. Secara statistik, angka kejadianÂnya adalah 1 per 100 ribu penduduk. Tim pemantau polio Kementerian Kesehatan, yang bertugas mengawal program eradikasi polio—lumpuh layu karena virus polio—sudah lama menemukan kasus ini di berbagai daerah. Namun staf ahli tim pemantau ini mengaku temuan itu tak sempat terangkat ke publik.
Geger ihwal keberadaan penyakit ini baru muncul setelah Shafa dirawat sejak Oktober 2010, dan Azka yang terdiagnosis sejak 21 Juli 2011. Kasus keduanya, yang kini dirawat di Jakarta, tersiar melalui media massa. Kejadian ini membuat Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih kaget karena sebelumnya menduga Guillain-Barre hanya menyerang orang dewasa. Selain Azka dan Shafa, menurut laporan Komunitas Peduli Guillain-Barre Syndrom, kini ditemukan kasus serupa yang menimpa Tissa, warga Tangerang, Banten; dan Rohyati, warga Purwokerto, Jawa Tengah.
Kepedulian publik atas penyakit Azka dan Shafa memunculkan Gerakan Seribu Rupiah Peduli Azka dan Shafa, sejak 7 Agustus lalu. Hasil urunan ini digunakan membantu biaya peraÂwatan kedua bocah itu yang hingga kini orang tuanya sudah menghabiskan uang ratusan juta rupiah. Mereka terpaksa berutang sana-sini dan menjual harta benda yang dimilikinya. Namun, sepekan kemudian, gerakan ini dihentikan setelah berhasil mengumpulkan dana lebih dari Rp 400 juta. Anto, ayah Azka yang dosen, memilih tidak menerima santunan karena pengobatan anaknya dijamin asuransi kesehatan dari tempat kerjanya, Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru. Sedangkan pengobatan Shafa, menurut Zulkarnain, yang karyawan swasta, bakal ditanggung pemerintah lewat Jaminan Kesehatan Masyarakat.
Salah satu faktor yang membuat biaya perawatan pasien sindrom Guillain-Barre besar adalah penggunaan imunoglobulin, protein jaringan tubuh yang mengandung antibodi, sebagai satu-satunya obat. Dalam sehari, pasien bisa menghabiskan puluhan juta rupiah karena harga obat ini Rp 3-4 juta per botol. Pemberian dilakukan selama lima hari lewat infus, tergantung berat badan pasien.
"Biaya makin besar jika terjadi komplikasi. Misalnya ada infeksi di paru akibat penggunaan ventilator," kata Irawan. "Selain butuh antibiotik, tentu masa perawatan makin lama." Di sinilah keberadaan Askes dan Jamkesmas, fasilitas yang bisa diperoleh keluarga Azka dan Shafa, sangat membantu pembiayaan hingga keduanya sembuh.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo