PEMUGARAN PERSADA SEJARAH LELUHUR MAJAPAHIT Oleh: Prof. Dr. Slametmulyana Penerbit: PT Inti Idayu Press Jakarta, 1983, 367 halaman KITA semua mengenal Majapahit. Tapi agaknya cuma sejarawan yang menyadari rumitnya pemugaran sejarah kerajaan itu. Sebab, fakta bercampur dengan mitos dan interpretasi. Buku ini adalah buku kedelapan tentang Majapahit yang ditulis Prof. Slametmulyana selama 30 tahun. Karya terbarunya ini merupakan hasil revisi total terhadap A Story of Majapahit, serta penyempurnaan dari Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Deskripsi Prof. Slamet mengenai Singasari dan Majapahit sampai pertengahan abad XV saya milai cukup mantap. Tapi rekonstruksinya terhadap periode akhir Majapahit kiranya perlu dibenahi. Ada baiknya kita catat hubungan keluarga raja-raja Majapahit yang disepakati para ahli. Raja pertama, Raden Wijaya (1293-1309). Ia digantikan oleh dua anaknya berturut-turut: Jayanegara dan Ratu Tribhuwana. Dari Tribhuwana tahta beralih ke tangan anaknya, Hayam Wuruk (1350-1389). Ia kemudian digantikan oleh menantunya, Wikramawardhana. Setelah itu, berturut-turut yang naik tahta adalah anak Wikramawardhana: Ratu Suhita dan Kertawijaya (1447-1451). Uraian Pararaton mengenai periode akhir Majapahit sangat singkat dan kusut hingga para ilmuwan sering berbeda penafsiran. Apalagi, di masa itu raja-raja Majapahit sering memutasikan gubernur daerah. Misalnya, seseorang yang suatu saat menjadi Bhre Keling (Pangeran di Keling) pada saat lain sudah jadi Bhre Kahuripan. Prasasti Waringin Pitu (1447) menyebutkan Raja Kertawijaya, dan lima pangeran dengan urutan hirarki sebagai berikut: Bhre Kahuripan Rajasawardhana, Bhre Wengker Girisawardhana, Bhre Tumapel Suraprabhawa, Bhre Matahun Samarawijaya, dan Bhre Keling Wijayakarana. Pararaton mencatat Rajasawardhana Sang Sinagara sebagai raja Majapahit (1451-1453). Sesudah tiga tahun tak ada raja, Bhre Wengker Girisawardhana naik tahta (1456-1466). Ini berarti, dua pangeran tertua dalam Prasasti Waringin Pitu berturut-turut menjadi raja sesudah Kertawijaya. Selanjutnya, Pararaton mengatakan: bhre pandan salas anjeneng ing tumapel, anuli prabhu i saka 1388, prabhu rong tahun, tumuli sah saking kadaton, putranira sang sinagara bhre koripan bhre mataram bhre pamotan pamungsu bhre kertabhumi, kapernah paman bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400. (Bhre Pandan Salas mendaki tahta Tumapel tahun 1466 Masehi. Menjadi raja dua tahun, lalu meninggalkan istana. Putra-putra Sang Sinagara: Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan si bungsu Bhre Kertabhumi. Menurut aluran, Bhre Prabhu yang mangkat di istana tahun 1478 adalah paman mereka. [Terjemahan Prof. Slamet]). Menurut Prof. Slamet, Bhre Pandan Salas adalah raja Tumapel, bukan raja Majapahit. Jadi, kepergiannya dari istana tak perlu dipersoalkan. Berdasarkan Prasasti Pamintihan (1473) yang menyatakan Suraprabhawa raja tunggal pulau Jawa, Prof. Slamet berpendapat: raja Majapahit yang mangkat tahun 1478 adalah Suraprabhawa (pangeran urutan ketiga dalam Prasasti Warinin Pitu). Tapi Prof. Slamet lupa, Suraprabhawa adalah suami Bhre Singapura (Prasasti Trawulan III). Dalam Pararaton, suami Bhre Singapura ialah Bhre Pandan Salas. Jadi, Suraprabhawa mulanya menjabat Bhre Pandan Salas, lalu Bhre Tumapel, akhirnya menjadi raja Majapahit. Karena ia masih bertahta pada 1473, saya sependapat bahwa dialah yang mangkat tahun 1478. Karena Wijayakarana (pangeran urutan kelima pada Prasasti Waringin Pitu) juga bergelar Girindrawardhana, Prof. Slamet berpendapat: Majapahit runtuh akibat serbuan Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana. Lalu timbullah Kerajaan Keling yang diperintah berturut-turut oleh Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Berdasarkan keterangan Tome Pires (musafir Portugis, 1513) bahwa Batara Vigiayabertahta di Daha, Prof. Slamet menyimpulkan: Ranawijaya memindahkan ibu kota ke Daha. Akhirnya, Daha runtuh akibat serbuan Demak pada 1527 - tahun yang tercantum dalam Babad Sengkala. Tampaknya Prof. Slamet tidak teliti membahas silsilah keluarga Majapahit. Istri Wijayakarana adalah Dyah Sudayita (Prasasti Waringin Pitu). Sedangkan anak bungsu Kertawijaya adalah Suraprabhawa (Prasasti Trawulan III). Identifikasi Sang Munggwing Jinggan dengan Wijayakarana, meski benar, sangat spekulatif. Sebab, pada Prasasti Jiyu disebutkan bahwa Sang Munggwing Jinggan dan Wijayakusuma adalah abang-abang (harakanira) Ranawijaya. Akhirnya, satu pertanyaan belum terjawab: apa hubungan putra-putra Sang Sinagara dengan keruntuhan Majapahit? Berikut ini adalah rekonstruksi saya terhadap sejarah akhir Majapahit. Prasasti Trawulan III mengatakan, Suraprabhawa anak bungsu Kertawijaya. Menurut Pararaton, Suraprabhawa adalah paman anak-anak Sang Sinagara. Jadi, pangeran urutan kesatu, kedua, dan ketiga dalam Prasasti Waringin Pitu (yang berturut-turut menjadi raja) masing-masing adalah anak sulung, penengah, dan bungsu dari Kertawijaya. Berdasarkan hirarki, pangeran urutan keempat dan kelima tentu anak dari putra mahkota Sang Sinagara. Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara wafat, timbul perselisihan atas tahta antara adik-adik dan anak-anak Mendiang. Akibatnya, tahta kosong selama tiga tahun. Pada 1456, terjadi gentlemen's agreement: Girisawardhana (sang paman) menjadi raja, dan Samarawijaya (sang kemanakan) menjadi putra mahkota. Ketika Girisawardhana wafat, Bhre Tumapel Suraprabhawa "merampas" tahta. Tentu para kemanakannya sakit hati. Maka, pada 1468, dua tahun setelah Suraprabhawa naik tahta, putra-putra Sang Sinagara, kecuali Bhre Lasem, pergi dari istana, dan membuat persiapan di Jinggan untuk merebut tahta Majapahit. Bhre Kahuripan wafat sebelum 1478. Peranannya digantikan Bhre Mataram Wijayakarana. Dialah Sang Munggwing Jinggan (Penguasa di Jimggan) yang menyerbu Majapahlt tahun 1478. Ungkapan "mokta ring kadaton" mengisyaratkan terbunuhnya Suraprabhawa (serupa dengan kematian Ken Arok, yang "mangkat di tahta Kencana"). Setelah Bhre Mataram Wijayakarana mangkat, ia digantikan oleh Bhre Pamotan Wijayakusuma, dan kemudian Bhre Kertabhumi Ranawijaya. Semua raja itu bergelar Girindrawardhana. Dan Ranawijaya, yang memindahkan ibu kota dari Keling, ke Daha, adalah Prabu Brawijaya dalam Babad Tanah Jawi, yang dikatakan ayah Raden Fatah, Sultan Demak. Tome Pires menulis dalam catatannya, Suma Oriental (1513): Raja Jawa saat itu ialah Batara Vigiaya (Ranawijaya), dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram (Bhre Mataram Wijayakarana) yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Banyak sejarawan bingung oleh keterangan ini, dan menganggap keterangan Tome Pires tidak benar. Padahal, keterangan Tome Pires - yang diperolehnya dari pihak Ranawijaya - mudah dipahami karena Ranawijaya menganggap Girisawardhana dan Suraprabhawa "tidak sah" menjadi raja. Bilakah Majapahit runtuh? Jika dimaksudkan kerajaan yang beribu kota di Majapahit, ia runtuh tahun 1478. Tapi jika putra-putra Sang Sinagara (yang bertahta di Keling, lalu pindah ke Daha) bisa diangap rajaraja Majapahit, kerajaan itu runtuh tahun 1527, dengan jatuhnya Daha ke tangan Demak. Uraian ini merupakan antitesis terhadap teori-teori N.J. Krom, W.F. Stutterheim, B.J.O. Schrieke, Muhammad Yamin, J. Noorduyn, Slametmulyana, dan lainnya yang tidak tuntas menafsirkan periode akhir Majapahit. Sekaligus koreksi saya terhadap Sejarah Nasional Indonesia, terbitan Departemen P dan K, yang telanjur ditetapkan sebagai "buku standar". Nia Kurnia Sholibat Irfan Sejarawati lulusan IKIP Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini