INILAH gambaran bagaimana pemerintah melihat ke depan, sekurang-kurangnya melihat Indonesia sampai 1989 - seperti dipaparkan dalam Ikhtisar Repelita IV: penduduk Indonesia akan berjumlah 176 juta pada 1988, atau masih bertambah 2% tiap tahun penyebaran geografis mereka tidak banyak berubah: 60% masih tetap akan di Jawa sekalipun transmigrasi berlangsung terus pencari pekerjaan tiap tahun bertambah 1,5 sampai 2 juta satu di antara empat penduduk tinggal di kota ekonomi tumbuh 5% setahun, setelah 5-7% setahun selama lima tahun terakhir neraca pembayaran hanya memberi tambahan devisa sekitar US$ 200 juta tiap tahun struktur ekonomi tidak akan banyak berubah - sekalipun sektor pertanian tumbuh lebih lambat dan sektor industri lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi-nasional keseluruhan peranan pemerintah di bidang ekonomi masih tetap dominan. Rencana Pembangunan Lima Tahun kali ini terasa bernada "apa adanya". Tanpa optimisme dan ambisi, tapi juga tidak terlalu pesimistis dan pasrah. Implikasi dari Repelita IV ini adalah asumsi bahwa dana yang tersedia - terutama dari minyak - tak akan membanjir lagi, karena memang dunia tidak lagi butuh minyak sebanyak dulu. Asumsi lain: ekonomi dunia akan tumbuh dengan tenang dan stabil sampai akhir dekade. Itu berbeda sekali dengan yang terjadi 10 tahun terakhir, ketika perencanaan sulit dilakukan di tengah gejolak ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya: perang Arab-Israel 1973, yang merevolusikan harga minyak, yang kemudian dikejutkan lagi oleh Revolusi Iran 1979 inflasi, yang disusul resesi yang terlama dalam sejarah tingkat suku bunga, yang, kata Helmut Schmidt, "paling tinggi sejak Yesus Kristus" dan harga minyak, yang harus turun 15%, Februari 1983. Selama periode ini, devisa yang dihasilkan Indonesia menanjak dan meluncur seperti pemain ski gejolak krisis keuangan Pertamina 1975 terjadi dan Indonesia harus melakukan devaluasi dua kali dalam lima tahun. Tantangan yang akan dihadapi lima tahun mendatang tidak ringan. Pertama, pertambahan penduduk yang belum bisa direm. Harapan untuk bertambah makmur akan berhadapan dengan sumber yang makin terbatas. Berbeda dengan anggota OPEC lainnya yang berpenduduk sedikit (kecuali Nigeria), Indonesia menghadapi dilema: bagaimana menghidupi 158 juta penduduk dengan hanya 1,3 juta barel minyak sehari. Di situ pun masih ada yang menyesakkan: kalau minyak, yang digunakan sendiri di dalam negeri, naik rata-rata 8% seperti sekarang, lima tahun lagi jumlah minyak yang tersisa untuk ekspor tinggal sekitar separuh dari produksi. Di samping itu, bagaimana para pencari kerja yang tiap tahun bertambah dua juta orang itu, dalam keadaan ekonomi yang akan tumbuh hanya 5%, bisa diserap ke dalam lapangan kerja? Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun ini, dalam menyerap tenaga kerja, kurang menggembirakan. Dr. Hadi Soesastro, dalam sebuah makalah untuk seminar mengenai Indonesia yang diselenggarakan The Asia Society, tidak yakin persentase pertumbuhan ini cukup memberi tambahan lapangan. "Kalau pertumbuhan 5% ini harus selaras dengan jumlah lapangan kerja yang diinginkan, maka diperlukan tindakan drastis dalam penggeseran penggunaan faktor-faktor produksi." Sementara itu, David O. Dapice menilai pertumbuhan industri Indonesia pada 1970-an sebagai "substitusi impor yang tidak efisien, sangat padat modal, dan sedikit menambah lapangan kerja". Tantangan yang dihadapi industri juga tidak kalah beratnya. Pertumbuhan industri yang cepat selama 1970-an ternyata berlangsung pada landasan yang rapuh. Kemajuannya ditopang oleh tersedianya devisa untuk impor dan begitu devisa menyusut, pertumbuhan surut - turun dari 29% pada 1978-80 menjadi 17% pada 1980-82. Padahal, dalam waktu yang sama, pertumbuhan sektor-sektor lain kecuali pertambangan - tidak mengendur, justru menguat. Hadi Soesastro mengusulkan suatu "kebijaksanaan industrialisasi yang radikal." Di situ pertumbuhan industri harus lebih banyak didukung kaitan intern antarsektoral (internal linkages), dengan pengurangan ketergantungan pada impor. Tantangan lain industri Indonesia adalah meningkatkan ekspornya. Merebut pasaran luar negeri merupakan persaingan keras, dan ini hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang efisien, agresif, dan punya kepekaan luar biasa terhadap perkembangan pasar. Untuk mencegah ekonomi Indonesia terjerumus dalam kelesuan, dan menumbuhkan gairah menghadapi tantangan, perlu sekali dari sekarang dipikirkan cara untuk menggerakkan seluruh potensi, termasuk yang masih hidup pada sektor swasta. Ada semacam perasaan di negeri ini, sektor swasta belum diberi kesempatan memanfaatkan potensinya secara penuh - karena masih adanya beberapa prasangka tertentu. Beberapa negara yang mengalami kesulitan ekonomi telah membuktikan, sektor swasta yang diberi kepercayaan untuk bekerja bisa merupakan sekutu paling berharga dalam menggairahkan kembali perekonomian. Sebab, swasta umumnya bekerja lebih efisien dan iebih lincah. Di pihak lain, perusahaan negara dalam pengambilan keputusan kurang bisa komersial tidak bisa lepas dari semangat birokratis dan gampang boros, dan rugi. Itulah yang menyebabkan Perdana Menteri Margaret Thatcher memutuskan menjual beberapa perusahaan negara kepada swasta. Di Malaysia, Dr. Mahatir telah mulai program "privatisasi" beberapa perusahaan negara di bidang jasa. India, yang terkenal keras terhadap modal asing, kini harus mengakui perlunya mengundang modal luar itu. Maka, Indira Gandhi pun memperlunak persyaratannya. Sebaliknya, di Prancis, Presiden Francois Mitterand harus mengakui kegagalan program utama partai sosialisnya yang berupa nasionalisasi perusahaan swasta terkemuka, dan terpaksa menengok swasta untuk ikut memulihkan ekonomi Prancis yang sekarang sangat terbelakang dibanding negara industri lain. Hungaria kini negara komunis paling maju - di Iuar Rusia - karena mengizinkan sektor swasta berperan lebih besar. Dan yang paling spektakuler tentunya RRC, yang terpaksa berpaling dari filsafat ideologinya demi modernisasi ekonominya. Beberapa ekonom yang mengamati ekonomi Indonesia secara spesifik menyebut, peranan pemerintah di bidang ekonomi perlu dikurangi. Dr. Peter Mc Cawley dari Universitas Nasional Australia, misalnya, baru-baru ini menulis: "Beberapa kebijaksanaan pemerintah Indonesia di bidang ekonomi bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama filsafat antipasar yang dianut di lingkungan birokrasi Indonesia. Ada kecondongan pihak birokrasi untuk campur tangan sampai ke tingkat sektoral dengan maksud "menyesuaikan" harga dan jumlah bahan dan hasil jadi. Sistem pajak dan penentuan harga pemerintah sangat rumit, dan sistem perizinan menyebabkan pemborosan waktu." Memang, penerimaan pemerintah dari minyak yang melonjak, baik secara absolut maupun sebagai persentase GDP, telah mengakibatkan besarnya peranan pemerintah tak terelakkan. Mungkin inilah yang mempengaruhi sikap pemerintah. Ketika MPRS bersidang pada 1966, ketika pergolakan dimenangkan Orde Baru, ketetapan-ketetapannya di bidang ekonomi mempunyai satu tema sentral yang dirumuskan dalam dua kata yang sering didengungkan waktu itu: dekontrol dan debirokratisasi. MPRS menegaskan, campur tangan negara yang berlebihan atas kehidupan ekonomi harus dihindarkan. Keputusan ini memang merupakan reaksi atas sistem ekonomi zaman Soekarno, ketika sektor negara merupakan sektor yang dominan dan melumpuhkan. Tema itu sekarang jarang kedengaran, padahal seharusnya masih relevan. Pada 1979, ketika Repelita III diumumkan, pemerintah menegaskan bahwa selama Repelita itu sebagian-besar investasi akan berasal dari sektor swasta. Tapi ketika Repelita III berakhir, Maret 1984 nanti, itu tak terjadi. Investasi pemerintah masih lebih besar. Mungkin diperlukan perombakan sikap yang radikal dari pemerintah. Dan ini memang tidak mudah, karena menyangkut hal-hal yang selama ini peka dan sakral. Misalnya peninjauan sikap yang punya bias terhadap swasta dan kurang akomodatif terhadap ekonomi pasar sikap terhadap modal asing terhadap soal "pri" dan "nonpri" terhadap pengusaha besar dan kecil terhadap proteksi dan substitusl Impor. Syukurlah, pemerintah di masa lalu telah beberapa kali menunjukkan keberanian dalam mengambil tindakan: terhadap Pertamina, 1975 dalam melakukan devaluasi dan menaikkan harga BBM 50-60% tiap tahun dalam menunda beberapa proyek besar senilai US$ 20 milyar dalam melakukan dekontrol terhadap sistem perbankan dan menghapuskan subsidi bunga secara bertahap. Tapi rupanya untuk menghadapi tantangan lima tahun mendatang, dari pemerintah masih diharapkan serangkaian keberanian lagi. 1). Indonesia's Fourth Five Year Development Plan: The Political Economy of a Five Percent Growth Target, CSIS, 1983. 2). Dealing with 1980's: Indonesia and the World's Economy, Tufts Univershy, 1983. 3). BIES, Vol. XIX, No. 1, April 1983
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini