Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung -Sebagian perempuan menak atau ningrat Sunda tergerak membuat perubahan di zaman pra-kemerdekaan. Kisah tentang sosok, pemikiran, dan pergulatannya sebagai motor perubahan diangkat lewat pementasan tiga monolog berjudul Wanodja Soenda atau perempuan Soenda. Mereka adalah Raden Ayu Lasminingrat, Dewi Sartika, dan Raden Emma Poeradiredja.
Maudy Koesnaedi memerankan Lasminingrat kelahiran Garut 1843 yang wafat 1948. Kemudian Sita Nursanti anggota grup vokal Rida Sita Dewi sebagai Raden Dewi Sartika yang lahir di Cicalengka Bandung pada 1884 hingga wafat 1947. Sementara politikus Rieke Diah Pitaloka sebagai Raden Emma Poeradiredja kelahiran Bandung 1902 yang meninggal pada 1976.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sutradara Wawan Sofwan memberikan keleluasaan mereka tampil bermonolog masing-masing sekitar 30 menit. Putri mendiang Gus Dur, Inayah Wahid juga tampil menjadi narator serta Atalia Praratya. Istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil itu membacakan puisi di awal pementasan.
Lodge Foundation bersama Mainteater Bandung menggarap pentas monolog itu di Ballroom Hotel Savoy Homann Bandung, Rabu 29 Januari 2020. Rencana selanjutnya pertunjukan itu akan ditampilkan keliling dengan dukungan pemerintah provinsi Jawa Barat.
Wawan mengatakan ide pementasan monolog itu muncul Oktober 2019 setelah bertemu dengan Heni Smith pendiri Lodge Foundation. Setelah membongkar naskah koleksi Mainteater, Wawan meminta penulisnya merombak. “Dari awalnya naskah teater menjadi naskah monolog,” katanya seusai gladi resik Selasa 28 Januari 2020.Sita Nursanti sebagai Dewi Sartika dalam monolog Wanodja Soenda di Bandung, 29 Januari 2020. (TEMPO/Prima Mulia)
Penulis naskah monolog dan narasinya yaitu Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrulloh, dan Faisal Syahreza. Monolog ini kata Heni Smith merupakan seni budaya heritage Sunda yang harus diwariskan ke generasi berikutnya. “Bukan sekedar monolog dan perempuan tapi juga heritage yang harus dijaga dan diteruskan,” katanya.
Lasminingrat di Garut berupaya agar warga melek aksara. Namun sekolah gratis pendirian ayahnya yang mengadopsi sekolah Belanda malah dicap sebagai tempat pendidikan kafir. Selain terus berupaya meluaskan pendidikan lewat pendirian sekolah Kautaman Istri pada 1907, Lasminingrat pernah menjadi mata-mata pribumi.
Dia membocorkan rencana serangan pasukan Belanda ke warga Cimareme yang menolak pemberian hasil pertanian ke penjajah. Namun warga tetap diserang dan ada yang terbunuh. Lasminingrat pun harus berhadapan dengan keponakan yang menjadi Bupati dan pro penjajah.
Kerabat jauhnya di Cicalengka, Bandung, Dewi Sartika juga memperjuangkan pendidikan bagi warga khususnya perempuan. Dia harus berdebat dengan pejabat Belanda yang tidak mendukung gagasannya. Di dalam dirinya juga bergulat soal status menak atau ningrat.
“Gelar dan kemuliaan menak bukan hal yang penting lagi. Kepandaian dan ketinggian ilmulah yang seharusnya menjadi alasan mengapa seseorang dihargai dan dihormati. Mereka yang memiliki kepandaian dan ilmu inilah yang disebut Menak Pikiran. Dan, Menak Pikiran berhak menjadi gelar bagi siapa saja, baik menak atau somah, lelaki maupun perempuan.”Maudy Koesnaedi sebagai Lasminingrat dalam monolog Wanodja Soenda di Bandung, 29 Januari 2020. (TEMPO/Prima Mulia)
Emma Poeradiredja seakan mengamini Dewi Sartika soal status ningrat yang tak penting lagi. Dia masuk organisasi wanita dan menjalin jaringan pergerakan kemerdekaan. Setelah Soempah Pemoeda 1928 ia mendirikan organisasi Pasundan Istri yang bertujuan mengasah keterampilan perempuan agar bisa hidup mandiri. Selain itu dia berjuang agar ada keterwakilan wanita pribumi di dewan rakyat di berbagai kota dan berhasil.
Setelah kemerdekaan Emma meninggalkan jabatannya di jawatan kereta api yang dikelola Belanda. Dia tak sudi bekerja ke penjajah hingga kemudian ditangkap dan menjadi tahanan kota di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil usai pementasan itu mengatakan meskipun kisah-kisah itu terjadi di masa lalu, pemikiran dan pergulatannya masih kontekstual dengan kondisi sekarang. Karena itu dia mendukung monolog itu bisa dipentaskan keliling daerah Jawa Barat. Cara yang mudah dan cepat untuk merasakan nilai-nilai positif itu lewat monolog. “Pertunjukan itu punya aspek pendidikan dan aspek kesenian,” kata Ridwan Kamil.