Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Exodus: Gods and Kings
Sutradara: Ridley Scott
Penulis naskah: Adam Cooper, Bill Collage, Jeffrey Caine, dan Steven Zaillian
Pemain: Christian Bale, Joel Edgerton, Ben Kingsley, Aaron Paul, Ben Mendelsohn, Sigourney Weaver
Durasi: 150 menit
Teks agama samawi lagilagi menjadi sumur ide yang disedot sineas Hollywood. Selang beberapa bulan setelah Noah dengan bahteranya, dirilis Exodus: Gods and Kings. Yang diangkat adalah kisah Musa dan pelariannya menembus Laut Merah dari kejaran Firaun.
Exodus dibuka dengan persahabatan antara Musa (Christian Bale) dan Ramses (Joel Edgerton), sebaya yang dibesarkan bersama. Bersahabat erat layaknya saudara, Ramses adalah seorang putra mahkota Kerajaan Mesir, sementara Musa adalah jenderal perangnya.
Diamdiam muncul mendung di hati Ramses, yang melihat kedekatan Musa dengan ayahnya, Seti. Apalagi terbit ramalan bahwa seorang pemimpin akan diselamatkan oleh seseorang yang kelak juga menjadi pemimpin. Ramalan ini menjadi nyata tatkala Musa menyelamatkan nyawa Ramses saat mereka menggempur pasukan Hittite yang mengancam kerajaannya. Musa kemudian diketahui keturunan bangsa budak, Yahudi. Ia diusir ke luar Mesir. Dalam pengasingannya, ia mendapat wahyu Tuhan untuk membebaskan bangsanya dan memimpin mereka menuju tanah impian, Kanaan.
Kisah Musa adalah salah satu kepingan yang paling dramatis dalam Kitab Suci, dari turunnya azab Tuhan yang bertubitubi hingga perjalanan Bani Israel menyeberangi Laut Merah yang terbelah. Dan Exodus adalah sebuah proyek ambisius yang berniat merangkum cerita kolosal ini. Tak mudah memang, selain karena cerita ini telah berulang kali diangkat dalam film, dari The Ten Commandments (1956) hingga film animasi The Prince of Egypt (1998), juga lantaran kisah ini sudah diketahui orang sejak ribuan tahun lalu. Exodus butuh kejutÂan baru untuk bisa bersinar.
Kejutan pertama datang dari penggambaran tokoh Musa dan Ramses yang—meski mendapat kritik keras karena dibawakan para pemain kulit putih—dikawal dengan baik oleh Christian Bale dan Joel Edgerton. Sejak awal muncul sebagai karakter kesatria yang percaya pada logika, yang menertawai ramalan yang dibaca dari jeroan angsa. Ia tak membawa tongkat seperti digambarkan Perjanjian Lama, tapi pedang. Ia jenderal petempur yang jago mengayunkan pedang.
Setelah menerima wahyu, ia berubah 180 derajat menjadi sosok penuh keyakinan, bahkan bisa dikatakan obsesif, untuk menjalankan perintah yang diwahyukan kepadanya. Entah memang diniatkan entah tidak, ikatan emosional antara Musa dan masyarakat Yahudi tak terlalu diperlihatkan. Langkahnya menolong bangsanya seakanakan lebih terdorong dari obsesinya menjalankan perintah Tuhan dibandingkan dengan kesadaran dari dalam dirinya sendiri.
Walaupun Exodus masih mengikuti cerita Alkitab, dengan menampilkan sepuluh azab Tuhan, nalar juga ikut disuntikkan dalam film yang kisahnya banyak berisi mukjizat Ilahi ini. Beberapa azab, seperti wabah kodok, serangga, serta terbelahnya Laut Merah, dicoba dijelaskan secara rasional—meski azab pemuncak, yakni kematian anakanak, pada akhirnya harus kembali ke penjelasan supernatural.
Hal lain yang menonjol di film ini adalah penggambaran "suara Tuhan" dalam persona sesosok bocah lelaki yang kerap muncul dengan bersungutsungut di hadapan Musa. Ketimbang penggambaran stereotipe sebagai sosok bijak welas asih, "Tuhan" dalam film ini digambarkan keras hati dan tega, seperti anak kecil yang mesti Âdituruti keinginannya. Musa bahkan berdebat dengan suara Tuhan ini. Dalam pertemuan dengan Tuhan di gunung, Musa menolak rencana Tuhan yang seakanakan haus kematian, berencana membunuh setiap anak sulung orang Mesir.
Plot cerita dalam skenario yang ditulis keroyokan antara Adam Cooper, Bill Collage, Jeffrey Caine, dan Steven Zaillian ini seperti terbelah antara ambisi ingin menceritakan biografi Musa dan dahsyatnya azab yang turun dari langit ala film bencana alam. Pada setengah awal film, misalnya, Exodus mengeksplorasi penuh karakter Musa, bahkan menampilkan panjanglebar kehidupan romansa dan keluarganya yang sebenarnya tak banyak berdampak pada inti cerita.
"Tuhan" yang berwujud anak kecil ini akhirnya ditampilkan tak sabar terhadap tindakantindakan Musa. Tuhan kemudian mengambil alih kemudi, melempar azab demi azab—alias ruang untuk kedahsyatan efek komputer yang membombardir mata penonton. Peran Musa di sini direduksi hanya sebagai penonton fenomena alam mengerikan itu. Bahkan Ramses pun sampai bertanya kepada Musa, Tuhan seperti apa yang sampai hati menurunkan azab sekeras itu.
Banyak karakter yang muncul tak optimal dalam film ini. Misalnya Harun, adik Musa yang selalu mendampingi Musa. Betapapun demikian, film ini tetap memikat. Tatkala sampai ke laut, Musa melihat dari langit seperti ada benda jatuh. Entah meteor entah apa. Laut Merah esoknya dangkal. Laut tak terbelah karena ketukan tongkat Musa sebagaimana gambaran populer Perjanjian Lama Keluaran. Tanpa tongkat, Musa pun memimpin penyeberangan, sebelum dari sisi kanan muncul gelombang laut ganas menenggelamkan pasukan Ramses.
Ratnaningasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo