Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang menyebutnya "bunker", ada juga yang bilang "bukit Teletubbies", tapi kami lebih merasa bangunan itu mirip rumah para hobbit di Desa Shire dalam Lord of the Rings. Terletak di belakang rumah dinas Bupati Banyuwangi, guest house itu tersembunyi di perut bukit buatan setinggi lima meter.
Dari luar, yang terlihat hanya jalan masuk dan jendela-jendela horizontal yang sekilas seperti cerobong asap. Namun, begitu melangkah ke dalam, kita seperti memasuki kediaman Bilbo Baggins, si hobbit bijak. Rumah tamu tersebut terdiri atas deretan tujuh kamar, lengkap dengan ruang makan, dapur, dan kamar mandi di setiap kamar.
Kita dibuat tercengang melihat ruang bawah tanah itu terang-benderang tanpa satu pun lampu dalam posisi on. Cahaya berasal dari tujuh jendela horizontal. Terik matahari di ujung timur Jawa pada siang pertengahan pekan lalu itu mampu menyentuh perut bukit tersebut. Tanpa penyejuk udara (AC), suhu menunjukkan kurang dari 28 derajat Celsius.
Rumah tamu bupati itu menjadi daya tarik baru kabupaten yang dijuluki Sunrise of Java tersebut. "Semua boleh masuk, cuma perlu izin ke personel Satpol PP yang berjaga," kata Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, kepada Tempo.
Memimpin sejak 2010, Anas menaruh perhatian besar terhadap arsitektur di wilayahnya. Menurut dia, perwujudan kebijakan tidak semata dari program pembangunan, tapi bisa lewat seni bangunan. Anas, 41 tahun, mencontoh Presiden Sukarno yang membangun Gelora Senayan dan Masjid Istiqlal berdasarkan ide arsitek Frederich Silaban. "Sampai sekarang bangunan Bung Karno tidak lekang oleh waktu," ucapnya.
Maka Anas menggandeng sederet arsitek kawakan—Adi Purnomo, Budi Pradono, Andra Matin, dan Yori Antar—untuk membangun dan merenovasi 15 gedung di wilayahnya. Dari musala di pendapa bupati, stadion, sampai bandar udara. Orang pertama yang dia gaet adalah Adi Purnomo—mereka saling kenal pada 2008 sewaktu Anas masuk tim panitia rancangan undang-undang tata ruang di Dewan Perwakilan Rakyat. Saat menjadi kepala daerah pada Oktober 2010, Anas mengundang Adi dan memintanya berbicara di depan sederet tokoh Banyuwangi. "Yang saya sarankan pertama adalah revitalisasi pendapa," ujar Adi, 46 tahun.
Pendapa Sabha Swagata pun dipugar pada tahun berikutnya. Ukiran yang menyelubungi empat pilar kayu jati dilepas. Cat putih dikerik dan pilar kembali ke warna alami kayu. Tembok setinggi 1,5 meter yang membatasi kompleks pendapa dan alun-alun diruntuhkan, berganti dengan gundukan tanah yang ditanami barisan bunga pisang-pisangan. "Sehingga tidak berjarak dengan warga di alun-alun," kata Anas.
Tiga unit bangunan di belakang rumah dinas pun disulap jadi dua bukit hijau yang mengandung rumah tamu di sisi barat dan kantor Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di timur. Konsep hijau jadi lebih kental dengan pohon mangga, matoa, sawo, sawo kecik, dan kepel.
Anas tidak cepat puas. "Semua desain di sini seragam," ujarnya. "Saya ingin ada yang beda, futuristik." Maka menjulanglah musala kayu setinggi 8 meter di halaman depan pendapa, sejak November tahun lalu. Hasil buah pikir Andra Matin ini berkonsep kubus yang ditekuk, mengadopsi posisi rukuk, menghasilkan ruang salat 8 x 9 meter dengan kapasitas 70-an orang. Hawanya selalu adem meski matahari sedang gahar.
Pembenahan Bumi Blambangan, tentu saja, tidak hanya di kompleks pendapa yang berdiri sejak 1771 itu. Sekitar satu kilometer di tenggara, berdiri Wisma Blambangan, yang pernah menjadi tempat menginap Bung Karno, suatu malam pada 1947. Anas jengah terhadap citra hotel esek-esek yang melekat pada penginapan milik pemerintah Banyuwangi tersebut.
Berdasarkan gambar Andra Matin, hotel tiga lantai itu dipugar mulai 2012. Selain kamarnya ditambah dari 16 jadi 24, ada kolam renang. "Bagian depan, tempat Bung Karno menginap, dipertahankan sebagai lobi," kata Anas. Seperti semua desain yang dia minta, Wisma Blambangan berkonsep hijau, dengan taman di setiap tingkat. Hotel yang dikelola swasta ini mulai beroperasi bulan lalu dengan tarif Rp 400-500 ribu per malam, meningkat lebih dari empat kali lipat sejak sebelum renovasi.
Proyek yang paling besar adalah pembangunan bandar udara Blimbingsari, yang menelan Rp 45 miliar. Bagi Anas, pembenahan infrastruktur merupakan harga mati. Maklum, Banyuwangi terletak di ujung timur Jawa, 300 kilometer dari Surabaya. Perjalanan mobil membutuhkan sekitar delapan jam. Waktu tempuh itu terpangkas jadi 50 menit via udara setelah dia membuka bandara pada 2011.
Namun ruang penumpang dengan luas dua kali minimarket itu tidak cukup. Maklum, saban siang, ATR72-500 milik Garuda Indonesia dan Wings Air—kapasitas 80 penumpang dan hampir selalu penuh—mengantar dan menjemput penumpang dari dan ke Surabaya di sana pada waktu yang hanya berselisih sepuluh menitan. Akibatnya, pengunjung berjubelan.
Anas pun meminta Andra mendesain gedung baru seluas 5.000 meter persegi dengan kapasitas 400 penumpang. "Ini akan jadi green airport karena tidak butuh AC," ujar Anas. Pendinginan berasal dari ruangan yang minim pembatas dan empat kolam di sana. Hijau bukan sebatas konsep, melainkan juga penampakan karena atap ditutupi rumput gajah mini.
Anas mengatakan pembangunan tidak cukup dengan hemat energi dan bersahabat dengan lingkungan, tapi juga harus merangkul kebiasaan masyarakat. Maka gedung bandara itu mengadopsi atap rumah Osing, suku di Banyuwangi, dengan pucuk seperti udeng, penutup kepala lelaki Osing. Maket di Dinas Pekerjaan Umum Banyuwangi menunjukkan sinar matahari masuk dari wuwungan atap sehingga ruang utama di lantai dua tidak butuh lampu pada siang hari. Mulai dibangun Juli tahun lalu, pelabuhan udara ini ditargetkan rampung September mendatang.
Selain mengadopsi desain yang baik, Anas menetapkan keterbukaan. "Semua desain bukan berdasarkan selera bupati," ucapnya. Anas meminta para arsitek mempresentasikan setiap rancangan mereka di depan seratusan pegawai pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. Hadirin berhak tidak setuju dan memberi masukan. Misalnya unsur Osing merupakan masukan audiens dalam paparan Andra tentang bandara. "Tadinya tidak seperti itu."
Contoh lain ada di musala pendapa, yang awalnya direncanakan menggunakan tumpukan genting. Ada ketakutan tumpukan genting menciptakan ruangan lembap dan menjadi sarang kecoak, sehingga diganti kayu ulin—sebagian besar bekas pakai dari jembatan dan bantalan rel kereta. Pemakaian bahan dari luar Banyuwangi hanya itu. Sisanya dari konstruksi, finishing, sampai perabotan harus lokal untuk memberi ruang kepada industri Banyuwangi.
Menjalankan lebih dari 15 pembangunan dalam waktu hampir bersamaan, Anas punya banyak akal dalam menyiasati anggaran—alokasi infrastruktur Rp 367,8 miliar dari total anggaran Rp 2,1 triliun pada 2013. Satu di antaranya membuka pintu bagi sumbangan corporate social responsibility (CSR). Stadion Diponegoro menerima sumbangan facade—gambar yang terbentuk dari lubang di baja—yang nilainya Rp 5 miliar dari sebuah perusahaan tambang emas. Semua proyek pun dicicil sehingga anggaran tidak bertumpuk di satu periode.
Jalan lain adalah penghematan. Ke mana-mana, Anas mengandalkan Toyota Avanza Veloz hitamnya. Mobil dinas itu ia beli pada pertengahan 2014, menggantikan Toyota Innova peninggalan bupati sebelumnya. "Kalau saya pakai Avanza, kepala dinas dan DPRD kan tidak enak untuk minta Innova," ujar ayah satu anak ini, terkekeh. Dia melakukan moratorium pembelian mobil dinas dari tahun lalu.
Jika mengacu pada anggaran, Anas melanjutkan, Banyuwangi tidak mampu membayar para arsitek papan atas tersebut. "Saya berterima kasih karena mereka tidak pernah menyebutkan harga, malah tanya, 'Pemda adanya berapa?'" katanya. Menurut Anas, untuk proyek sekelas bandara Banyuwangi, Andra Matin layak menerima lebih dari Rp 1 miliar. "Tapi ini cuma seperempatnya. Itu pun dari CSR perusahaan."
"Dia tidak punya latar belakang arsitektur, tapi gebrakannya luar biasa," ujar Yori Antar tentang Anas. "Bahkan mendahului Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung yang juga pakar arsitektur Institut Teknologi Bandung)." Yori mengatakan dia dan rekan-rekannya tidak pernah memikirkan soal fulus dari proyek di Banyuwangi karena sejalan dengan idealisme mereka.
Menurut Andra Matin, kepala daerah yang melek arsitektur jarang ditemui di Indonesia. Padahal setiap kota butuh ikon arsitektur layaknya Marina Bay Sands di Singapura dan Menara Petronas di Kuala Lumpur. "Kepala daerah perlu membentuk karakter kota dari segi etika dan estetika. Salah satunya lewat arsitektur," ucap arsitek kelahiran Bandung, 52 tahun lalu, itu.
Perlahan, karakter hijau yang dibangun Anas lewat kuartet arsitek itu meluas. Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan, misalnya, kini memiliki bidang hijau miring sebagai pengganti pagar pembatas lahan parkir dan Jalan Letkol Istiqlah. Begitu juga kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa di Jalan Adi Sucipto. Sedangkan RSUD Genteng dilengkapi ruang berumput di lantai dua.
Meski arsitek avant-garde dari Jakarta dilibatkan, pengerjaan bangunan-bangunan itu dilakukan kontraktor lokal. Masalahnya, kualitas para kontraktor itu belum bagus. "Kualitas kontraktornya masih jauh dari harapan," kata Budi Pradono, 44 tahun. Terdapat celah yang memungkinkan angin dan cahaya masuk di pintu kamar yang Tempo tempati di Wisma Blambangan. Gagang pintu kamar mandi terpasang terbalik sehingga tidak mungkin terkunci, sementara kakus ngejogrok di tengah kamar mandi—berjarak sekitar 15 sentimeter dari dinding dan menghalangi ayunan pintu. "Ini seperti penyakit yang susah disembuhkan."
Anas mengakui kekurangan tersebut. "Ini kelemahan sistem lelang elektronik. Kita tidak bisa hanya bisa memilih yang paling murah," ujarnya. "Padahal ada juga kontraktor lokal yang bagus."
Tahun ini Anas akan meresmikan sedikitnya 15 bangunan di Banyuwangi, kabupaten dengan tata ruang terbaik versi Kementerian Pekerjaan Umum. Dengan catatan, politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu kembali terpilih pada pemilihan bupati pertengahan tahun ini. Selalu ada kemungkinan perombakan bangunan saat pergantian rezim, terutama yang bentuknya tidak lazim seperti musala kayu di pendapa Banyuwangi. Namun Anas tidak khawatir berkat presentasi desain yang dia gelar saban sebelum memulai proyek. "Staf pemda telah memahami konsep bangunan-bangunan tersebut sehingga bisa menjelaskan ke rezim berikutnya," ujarnya. "Ini milik Banyuwangi."
Jorjoran ala Bumi Blambangan
Banyuwangi seperti tidak pernah puas mendandani diri. Bupati Abdullah Azwar Anas menggandeng arsitek papan atas Indonesia untuk misi tersebut. "Selama ini ada dikotomi bahwa bangunan yang dibangun pemda jelek, swasta bagus," katanya pekan lalu. "Saya ingin mengubah itu." Berikut ini sembilan dari seabrek proyek yang dilansir Anas di Bumi Blambangan sejak menjabat empat tahun lalu.
Guest House Pendapa
Lokasi: Jalan Sritanjung
Arsitek: Adi Purnomo
Pengerjaan: 2011-2012
Anggaran: Rp 3,2 miliar
Keterangan: Tujuh kamar tamu diselimuti bukit buatan setinggi lima meter di sisi selatan. Di bagian utara juga terdapat konstruksi serupa yang difungsikan sebagai kantor PKK.
Stadion Diponegoro
Lokasi: Jalan Jaksa Agung Suprapto
Arsitek: Budi Pradono
Pengerjaan: 2013-2017
Anggaran: Rp 12 miliar, untuk tahap pertama, yaitu tribun selatan.
Keterangan: Meningkatkan kapasitas dari 3.000 jadi 10.000, dengan atap di semua tribun. Ruangan di bawah tribun difungsikan sebagai kantor pengurus olahraga, ruang ganti pemain, dan kios. Dihiasi facade berupa penari gandrung, tarian khas Banyuwangi.
Bandara Blimbingsari
Lokasi: Desa Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi
Arsitek: Andra Matin
Pengerjaan: Juli 2014-September 2015
Anggaran: Rp 75 miliar
Keterangan: Mengusung konsep rumah Osing, tidak membutuhkan penyejuk udara, memiliki empat kolam di lantai dasar.
Stadion Atletik GOR Tawangalun
Lokasi: Jalan Wijayakusuma
Arsitek: Budi Pradono
Pengerjaan: 2013-2015
Anggaran: Rp 5,5 miliar untuk tahap pertama, termasuk pemeliharaan lintasan
Keterangan: Berbentuk kepompong yang bermotif daun kopi. "Kepompong" menggunakan membrane—semacam PVC lentur, seperti kain, yang didatangkan dari Jepang. Tribun terdiri atas bangku panjang dari kayu, berkapasitas seribu orang.
Pantai Boom
Lokasi: Kampung Mandar, 2 kilometer dari pusat kota
Arsitek: Adi Purnomo
Pengerjaan: 2014-2016
Anggaran: Rp 5,6 miliar
Keterangan: Pemugaran meliputi pembangunan jalan kawasan, los untuk 49 pedagang kaki lima, taman bermain anak, sampai kantor kepolisian perairan.
Rest Area Watudodol
Lokasi: Jalan Raya Situbondo, Ketapang
Arsitek: Budi Pradono
Pengerjaan: 2014-2015
Anggaran: Rp 3 miliar
Keterangan: Arena bersantai berupa dek kayu di ketinggian 3 meter dengan tiang beton. Dek utara sepanjang 40 meter dan selatan 88 meter. Di bawah dek ada 16 peti kemas untuk kios penjual dan dapur.
Musala Pendapa
Lokasi: Jalan Sritanjung
Arsitek: Andra Matin
Pengerjaan: April-Desember 2014
Anggaran: Rp 1,2 miliar
Keterangan: Terdiri atas tumpukan kayu ulin dengan rangka baja. Tinggi sekitar 8 meter, luas 8 x 9 meter, dan berkapasitas 70-an orang.
Asrama Atlet
Lokasi: Jalan Gajah Mada
Arsitek: Budi Pradono
Pengerjaan: 2014-2015
Anggaran: Rp 6 miliar
Keterangan: Memiliki 27 kamar yang masing-masing berkapasitas sampai 4 orang, dengan tempat tidur lipat dan tingkat. Lantai 4 (puncak) berfungsi sebagai taman.
Wisma Blambangan
Lokasi: Jalan Dr Wahidin
Arsitek: Adi Purnomo
Pengerjaan: 2012-2014
Anggaran: Rp 7 miliar
Keterangan: Menambah dua bangunan tiga lantai di bagian belakang dan kolam renang. Kamar bertambah dari 16 jadi 24. Bangunan muka, tempat Bung Karno menginap pada 1947, tidak diubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo