Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka yang Menumbuhkan Kota
Para pemimpin ini tidak hanya berhasil membuat daerahnya terlihat lebih baik. Mereka juga membuat masyarakat memiliki kesadaran akan estetika.
Arsitektur adalah seni membuat ruang. Karena itu, arsitektur tidak melulu tentang para arsitek. Ada sejumlah pihak yang terlibat dalam pembuatan ruang tersebut, termasuk para penguasa suatu daerah. Pemimpin negara, provinsi, kabupaten, atau kota memiliki peran penting dalam hal ini.
"Hampir semua kota yang berpengaruh di dunia mempunyai ikon arsitektur, seperti Marina Bay Sands, ikon baru buat Singapura; Menara Petronas di Kuala Lumpur; Menara Eiffel untuk Paris; Gedung Opera di Sydney; dan Guggenheim di Bilbao. Tentu pemegang kebijakanlah yang berperan penting di sini," ujar arsitek Andra Matin. "Yang perlu dilakukan kepala daerah adalah membentuk karakter kota dari segi etika dan estetika. Salah satunya lewat arsitektur."
Tentu bangunan yang bagus tak hanya yang monumental dan yang menjadi simbol kemakmuran. Peran penting kepala daerah dalam hal ini adalah bagaimana mereka bisa mengarahkan pembangunan kota untuk kualitas hidup penduduknya. "Dengan membuat bangunan publik yang baik, aktivitas kota juga jadi baik. Kota jangan dibangun berdasarkan ruko, hanya dengan pertimbangan semakin banyak ruko semakin banyak pula pendapatan pemerintah daerah," kata arsitek Budi Pradono.
Sayangnya, selama ini sebagian besar kota di Indonesia dibangun tanpa desain dan konsep yang baik. Para pemimpin tak mempedulikan rakyatnya. Ketidakpedulian pemimpin akan penduduk di wilayahnya dapat tecermin dari minimnya fasilitas publik di sana. "Di mana-mana bangunan pemerintah enggak pakai desain atau konsep. Pokoknya dibangun asal mewah dan mahal saja," ujar Budi.
Korupsi dan manajemen yang asal-asalan juga terefleksikan pada kualitas bangunan. "Selama ini, jarang ada bangunan publik yang pengerjaannya transparan. Bisa dikatakan 99 persen bangunan publik di Indonesia memakai kontraktor yang itu-itu saja," kata Budi.
Meski hal seperti itu masih terjadi di sebagian besar daerah di Indonesia, sejumlah titik terang mulai muncul. Pemilihan kepala daerah secara langsung memunculkan sejumlah pemimpin yang berpikiran maju. Mereka memperbaiki banyak hal di daerahnya, termasuk membuat pemerintah daerah lebih peduli kepada rakyatnya. Hal ini kemudian tecermin pada penataan kota atau kabupaten yang mereka pimpin. Kemunculan bangunan-bangunan baru yang bermanfaat untuk publik, perbaikan bangunan atau kawasan tua yang bersejarah, serta penataan ruang publik adalah refleksi dari perbaikan di tubuh pemerintahan.
Hal-hal itulah yang membuat kami memutuskan memilih Tokoh Arsitektur 2014 dari kalangan wali kota atau bupati. Setidaknya ada tiga pemimpin daerah tingkat dua yang menurut kami telah memperbaiki kualitas arsitektural di wilayah yang mereka pimpin. Mereka adalah Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi; Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya; dan Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung. "Benang merah dari ketiga daerah itu adalah memiliki kepala daerah yang bagus, yang bisa mengakomodasi ruang kota dan membuat iramanya kontinu," ujar arsitek Adi Purnomo.
Risma dan Ridwan adalah arsitek, sehingga keduanya memang paham akan pentingnya arsitektur dalam membangun kota. Sedangkan Azwar kuliah di bidang pendidikan dan sastra. Namun Azwar memiliki kesadaran arsitektural yang bagus. Itu dimulai saat dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa pada 2004-2009. Di Senayanlah ia bertemu dengan para arsitek—di antaranya Budi Pradono—yang memperjuangkan Undang-Undang Arsitektur. "Pak Azwar enggak punya latar belakang arsitektur, tapi punya passion tinggi soal arsitektur," kata Budi.
Passion itu ia tumpahkan saat menjadi bupati pada 2010. Ia mengundang para arsitek hebat, seperti Budi, Andra Matin, Adi Purnomo, dan Yori Antar, untuk menyumbangkan ide guna perbaikan Banyuwangi—terutama wilayah kotanya. Mereka diminta urun rembuk untuk membuat bangunan publik, seperti taman, penginapan, museum, perpustakaan, pantai, dan bandar udara. "Banyuwangi adalah satu-satunya daerah yang berhasil mengoleksi bangunan publik dari para arsitek avant-garde, seperti Andra Matin dan Adi Purnomo," ujar Yori, yang dimintai ide untuk bangunan perpustakaan.
Bangunan yang dihasilkan kemudian sangat berbeda dengan gedung-gedung yang dibangun pemerintah daerah. Penginapannya dibuat seperti terpendam dalam sebuah taman. Musalanya kotak, bergaya sangat modern, tidak memakai kubah. Dan, yang terpenting, publik menjadi alasan utama adanya ruang-ruang itu. Pagar di Taman Blambangan dirobohkan. Toilet di pantai didesain agar tidak menjadi tempat seks singkat seperti masa lalu. Penginapan yang dulunya hotel esek-esek menjadi bersih. "Menurut saya, dia adalah pemimpin avant-garde yang menggunakan budaya sebagai alat negosiasi politik dan sosial," kata Budi.
Pembenahan fasilitas publik juga dilakukan Risma. Dia membuat Surabaya berubah sama sekali. Jalan lebih lebar dan resik. Taman ada di mana-mana. Sungai menjadi bersih dan enak dipandang. Ia juga berhasil menutup Dolly, tempat pelacuran di tengah permukiman. Di bawah kepemimpinan Risma, Surabaya menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, bukan lagi kota yang sumpek dan tak tertata.
Meski baru setahun menjabat Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil yang sebelumnya terkenal sebagai arsitek itu berhasil mengubah sejumlah wajah kota tersebut. Sejumlah taman dibenahi. Alun-alun, yang dulu semrawut dan tertutup pedagang kaki lima, kini nyaman dan mudah diakses publik. Trotoar ditata agar nyaman untuk pejalan kaki. Dan dia mengeluarkan kebijakan "atap hijau" (taman) untuk bangunan bertingkat.
Tak mudah tentu memilih siapa yang terbaik di antara ketiga orang itu. "Dinamika tiap kota berbeda," ujar Adi Purnomo. Kota Banyuwangi bisa dibilang lebih seimbang karena tingkat kerusakannya belum besar. "Sedangkan Surabaya dan Bandung punya timbunan persoalan dari masa lalu yang enggak bisa diselesaikan dengan segera," ucap Adi. Ridwan, yang baru memimpin setahun, juga dianggap oleh sejumlah arsitek belum bergerak dalam gigi tertinggi.
Karena itu, kami memilih ketiga pemimpin ini sebagai Tokoh Arsitektur 2014, tanpa menetapkan peringkat untuk ketiganya. Kalaupun penulisan tentang Azwar lebih panjang, hal itu lebih karena pertimbangan bahwa publisitas terhadap Risma dan Ridwan jauh lebih gencar dibanding Anas.
Ketiga orang itu tidak hanya berjasa membuat kawasan yang mereka pimpin lebih tertata dan terlihat apik. "Yang penting adalah bagaimana mereka telah membentuk kesadaran stakeholder," kata Adi Purnomo. Mereka berhasil menggerakkan orang untuk memperbaiki kota mereka, menyadarkan penduduk bahwa perbaikan itu bukan hanya urusan pemerintah. "Edukasi yang digelar rutin oleh Pak Anas, misalnya, membuat masyarakat tumbuh bersama dengan proses yang terjadi di kotanya," ujar Adi.
Tim Tokoh Arsitektur 2014 Penanggung Jawab: Qaris Tajudin. Kepala Proyek: Reza Maulana. Penyunting: Qaris Tajudin, Yos Rizal Suriaji. Penulis: Reza Maulana, Firman Atmakusumah, Qaris Tajudin. Penyumbang Bahan: Isma Savitri, Anwar Siswadi, Artika Rachmi Farmita, Agita Sukma Listyanti. Foto: Ijar Karim, Nita Dian, Wisnu Agung Prasetyo, Aditya Herlambang, Fully Syafi. Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Desain: Djunaedi, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo