Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik Borobudur di Hutan Karet

Sound of Borobudur menutup Festival Pamalayu di Dharmasraya, Sumatera Barat, yang digelar sejak Agustus 2019.

13 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penari Eko Supriyanto dan Astri Kusuma Wardani dalam pertunjukan Sound of Borobudur di Festival Pamalayu Dharmasraya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petikan dawai Dewa Budjana terasa menyihir. Ia membawakan Indonesia Pusaka dalam pentas Sound of Borobudur di Festival Pamalayu, di situs Candi Padang Roco, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, Senin malam lalu. Ratusan penonton yang duduk di depan panggung di tengah hutan karet itu serentak mendendangkan syair lagu itu. Mata sebagian dari mereka berkaca-kaca.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sound of Borobudur merupakan kelompok orkestra yang digagas Trie Utami dan Dewa Budjana. Malam itu, selama 45 menit, Trie Utami membawakan enam lagu. Indonesia Pusaka, yang menonjolkan petikan dawai, adalah salah satunya. Lagu lain yang dinyanyikan, adalah Padma Swargantara, yang cenderung pop; dan Jataka, yang menonjolkan petikan dawai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juga Lan e Tuyang, yang diambil dari lagu Dayak Kenyah, yang dominan alat musik tiup. Adapun lagu Brekuk Regang memainkan alat musik perkusi dan tiup sekaligus, diwarnai tampilan tari dari dua penari, Eko Supriyanto dan Astri Kusuma Wardani. Lagu terakhir, Catur Gaya, lebih kental dengan irama musik tradisi Sunda karena menggunakan kendang Sunda

Sound of Borobudur menjadi penutupan yang menyenangkan Festival Pamalayu yang digelar Pemerintah Kabupaten Dharmasraya sejak Agustus 2019 hingga awal Januari 2020. Festival ini mengetengahkan beragam acara, seperti festival rakyat, pertunjukan, karnaval, workshop, seminar, hingga pesta rakyat, selama tujuh malam pada 1-7 Januari 2020.

Orkestra Sound of Borobudur dimainkan 14 pemusik, antara lain Bintang Indrianto, Herwan Wiradireja, Mochamad Saatsyah, Jalu Gatot Pratidina, Victor Parulian, Dunung Basuki, Fariz Alawan, Taufan Irianto, Aktivano Cristian, Chaka Priambudi, dan Agusto Andreas.

Mereka memainkan alat musik yang serupa dengan yang terpahat di panel relief Candi Borobudur. Ada lima alat musik petik, dua set alat musik pukul, dua set perkusi, satu alat musik gesek yang mirip berimbau dari Afrika, dan alat musik seperti ceng-ceng dan kenong. Dewa Budjana memegang alat musik dawai yang sekilas mirip pipa, alat musik petik dari Cina.

Purwa Tjaraka, Eksekutif Produser Sound of Borobudur, mengatakan butuh waktu tiga tahun untuk menginterpretasikan gambar alat musik yang ada di relief candi menjadi alat musik yang bisa dimainkan. Ia mengatakan, di relief Borobudur, setidaknya terdapat 45 jenis alat musik yang sebarannya pada hari ini meliputi 34 provinsi di Indonesia dan 40-an negara di seluruh dunia.

Bahkan banyak relief yang menggambarkan suatu ensemble musik yang bermain bersama dalam satu panel. "Di relief Borobudur, tidak dapat dimungkiri bahwa pada abad ketujuh, bangsa kita sudah mengenal komposisi, aransemen, progresi, dan segenap aspek musikal yang modern," kata Purwa Tjaraka.

Trie Utami mengatakan perjalanan Sound of Borobudur tidaklah mudah. Awalnya, ia memulainya bersama Dewa Budjana pada akhir 2016, lalu bergabung pula Purwa Tjaraka, komposer yang juga kakak Trie Utami. Mereka memulai dengan meneliti relief, membongkar skripsi tentang relief Candi Borobudur, hingga menelusuri berbagai jurnal ilmiah dalam dan luar negeri.

Mereka lalu membuat berbagai komparasi, membangun skema berbagai sebaran budaya, mencari alat-alat musik yang ada di 34 provinsi, dan membeli satu per satu alat musik itu. Mereka juga melakukan reka ulang dan membuat alat musik yang sudah punah, menata ulang interpretasi bunyi, membuat komposisi, merangkainya dalam sebuah aransemen, dan berlatih bersama.

"Ada 21 jenis dawai atau alat petik yang harus dibuat ulang, semuanya sesuai dengan yang terpahat di relief di Candi Borobudur," ujarnya. Kini mereka telah mengumpulkan 190 alat musik, "Yang saya yakin akan terus bertambah dengan temuan-temuan selanjutnya."

Ternyata, meskipun telah berselang 13 abad atau 1.300 tahun, banyak alat musik yang masih dipakai hingga hari ini, baik di Indonesia maupun dunia. "Bentuknya relatif sama atau minimal berkembang dari satu bentuk yang dapat dikatakan sebangun," kata Trie Utami. Ia mengatakan semua alat musik yang direplika itu belum ada namanya. "Jika dilihat, bentuknya aneh-aneh, saya juga enggak tahu namanya apa."

Dewa Budjana menambahkan, tidak ada yang tahu seperti apa komposisi orkestra pada abad ke-7 yang ada di relief Borobudur. "Kita enggak pernah tahu, karena peradabannya jauh sekali ke belakang, jauh sebelum ada musik klasik, mungkin. Karena itu, kita coba interpretasikan," ujar Budjana.

Butuh waktu cukup lama untuk merekam komposisi musik yang tercipta dari alat-alat musik replika relief candi itu. "Rekamannya cukup lama karena menyamakan dawai, semacam bikin orkestra."

Trie Utami melanjutkan, Sound of Borobudur akan menjadi sebuah gerakan kebudayaan. "Bayangkan saja kalau sekian banyak alat musik yang ada di relief Candi Borobudur itu ternyata, setelah 13 abad, pada saat ini ada juga di Spanyol, Burma, dan Eropa," ujar Trie Utami. Boleh jadi, menurut dia, bangsa kita yang pergi ke sana membawa dan menyebarkan alat musik. "Berarti bangsa kita dulu adalah bangsa yang penting." FEBRIANTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus