Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mutiara Tetralogi Mia Bustam: Cinta Pertama, Perceraian, dan Penjara

Kisah dalam Tetralogi Mia Bustam merupakan cerita pribadi. Ia diminta menerbitkannya karena mengulas sejarah dan sejarah seni rupa.

10 Desember 2024 | 20.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejarawan Peter Carey menjelaskan sosok Mia Bustam, bekas tahanan politik 1965, serta silsilah keluarga Bustam, dalam peluncuran buku memoar keempat Mia, Kisah Mutiara Masa Lalu, di Pinang Ranti, Jakarta Timur, 7 Desember 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tetralogi Mia Bustam menceritakan perjalanan hidup dan seluk-beluk keluarga, cinta, penjara, serta perceraian Mia dan suaminya, S. Sudjojono. Mia menikahi suaminya seorang pelukis ternama, politikus Partai Komunis Indonesia, S. Sudjojono. Setelah bercerai, Mia belajar melukis dan menjadi aktivis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Nasti Rukmawati, putri kedua Mia Bustam, bercerita perihal isi buku yang ditulis ibunya pertama kali sejak bebas dari penjara sebagai tahanan politik 1965. Tahanan politik dimulai setelah meletus Gerakan 30 September 1965. Nasti menceritakan itu kala peluncuran buku memoar keempat ibunya berjudul Mutiara Kisah Masa Lalu.

Tetralogi Mia Bustam Bermula dari Catatan untuk Anak

Awalnya, catatan yang ditulis Mia, hanya diniatkan sebagai sebuah penjelasan kepada delapan anaknya—kenapa ia dan Sudjojono bercerai. "Buku Sudjojono dan Aku, sebetulnya untuk dibaca anak-anak saja, bukan untuk diterbitkan. Supaya anak-anak tahu kenapa Ibu dan Bapak bercerai," kata Nasti kepada Tempo, di Pinang Ranti, Jakarta Timur, Sabtu, 7 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Nasti, buku pertama itu, merupakan cerita sangat pribadi. Bahkan, banyak cerita sebenarnya yang berkaitan dengan orang dekat, tidak dimasukkan dalam buku Sudjojono dan Aku. Mia mulai menulis Sudjojono dan Aku pada 1985. Setelah naskah selesai, diketik lagi oleh Tedjabayu dan diperbanyak menjadi 10 buku, lalu dibagi ke anak-anaknya. Sepuluh buku itu dibagi pada perayaan ulang tahun Mia ke-72 di Semarang, pada 1992.

Mia, yang sejak awal tidak meniatkan catatan-catatan itu dikonsumsi orang banyak, akhirnya luluh setelah Hersri Setiawan, bekas tahanan politik Pulau Buru, Maluku, meyakinkan Mia menerbitkannya sebagai buku. Sejak itu, Mia menyerahkan sejumlah catatan itu.

Naskah itu tertuang dalam sepuluh buku yang diketik di komputer. Menurut Nasti, isi sepuluh bundel itu yang seluruh isinya akan dirangkum menjadi cerita dalam Sudjojono dan Aku. "Ini harus diterbitkan Mbakyu. Ini bukan hanya cerita tentang Mbakyu sama Mas Djon. Tapi ini cerita tentang sejarah seni rupa, sejarah kemerdekaan, dari tahun 1943 sampai 1949," tutur Nasti, menirukan ucapan Hersri.

Nasti menjelaskan, catatan ibunya itu menjelaskan keadaan politik hingga masa kemerdekaan, juga situasi masa pendudukan Jepang. Saat itulah, Mia setuju. Dan beberapa bagian cerita dalam catatan Mia harus dipotong. Hersri merupakan orang yang pertama kali mengedit buku-buku itu.

"Ada banyak hal menyinggung orang lain. Itu bukan untuk umum. Banyak di dalam hatinya dicurahkan," tutur Nasti. Saat itu, anak-anak Mia meminta isi cerita paling pribadi, yang cukup boleh dibaca keluarga, tidak dimasukkan dalam buku memoar pertama Mia.

Ramai Dibicarakan

Nasti, yang mengalami masa penangkapan ibunya, bercerita setelah buku itu terbit, cukup ramai dibicarakan. Kini buku terbitan Ultimus itu telah tiga kali naik cetak. "Itu termasuk referensi untuk anak-anak seni rupa," tutur dia. Isinya memuat cerita tentang Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), Seniman Indonesia Muda. Sudjojono termasuk salah satu orang penting dalam berdirinya dua organisasi itu.

Mia menulis buku lainnya setelah diminta oleh putra sulungnya, Tedjabayu Sudjojono. "Bu, ceritakan dong di penjara itu seperti apa," ujar Nasti, mengenang desakan kakak tertuanya kepada ibunya. Saat itulah, sejak 2005, Mia rutin menulis. Saat itulah muncul buku Dari Kamp ke Kamp. Memoar itu menuturkan masa ia dibui sebagai tahanan politik. Tapol 1965 diterungku tanpa proses pengadilan.

Buku Mutiara Kisah Masa Lalu diluncurkan Desember 2024, itu melengkapi periode perjalanan hidup Mia Bustam. Dimulai dengan buku Sudjojono dan Aku, Dari Kamp ke Kamp, Kelindan Asa dan Kenyataan. Keempat buku itu menjadi Tetralogi Mia Bustam. Buku pertama melukiskan pertemuan awal Mia dan Sudjojono, menikah, hingga keduanya bercerai.

Dari Kamp ke Kamp, mengisahkan masa ia dipenjara selama 13 tahun, Kelindan Asa dan Kenyataan, menceritakan masa ia bebas dari penjara hingga ia meninggal. Lalu kilas balik dari semua cerita itu ditutup dengan Mutiara Kisah Masa Lalu, sebuah cerita tentang masa kecil Mia, keluarga, sampai cinta pertamanya, yang ditulis sejak 2007.

Abang Rahino, putra bungsu Mia Bustam, mengatakan bahwa memoar keempat itu diberi judul olehnya. Ia memasang diksi "mutiara" karena berhubungan dengan masa kebahagiaan ibunya dari masa kecil, remaja, hingga bertemu cinta pertamanya, Sugiarto. Tapi perjalanannya membawa Mia bertemu Sudjojono.

"Itulah mengapa saya sebut judul itu dengan kata mutiara karena, itu mutiara-mutiara bagi kehidupan ibu seluruhnya," ucapnya. Cinta Mia dan Sugiarto patah ketika orang tua tidak menyetujui hubungan keduanya. "Ibu mencintai Pak Sugiaharto, dan Pak Sugiharto mencintai Ibu. Tapi terpaksa hubungan itu tidak berlanjut karena beda derajat," kata Abang. 

Mia Bustam lahir di Purwodadi, 4 Juni 1920. Dia lulusan Europeesche Lagere School dan lanjut studi di Van Deventer School (VDS) Surakarta. Mia menikah dengan pelukis S. Sudjojono pada 1943. Pasangan ini mempunyai lima orang putra dan tiga putri.

Kisah Mia Bustam menjadi tahanan politik, bermula saat tentara mendatangi rumahnya di Kali Tunjang, Yogyakarta, pada 23 November 1965. Para serdadu lantas menangkap Mia dan membawanya ke kantor polisi setempat. Dia dipindahkan ke berbagai tempat, dari Benteng Vredeburg; Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan; Plantungan, Kendal, Jawa Tengah; lalu Lembaga Pemasyarakatan Bulu, Semarang.

Selama 13 tahun Mia mendekam sebagai tahanan politik tanpa pengadilan hanya karena ia anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Perempuan tangguh itu meninggal usia 91 tahun, di Limo, Depok, Jawa Barat, 2 Januari 2011.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus