Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA puluh lima tahun Norbertus Riantiarno tak pernah berakting dalam film. Seniman 71 tahun yang akrab disapa Nano itu kerap menolak tawaran bermain film karena ia lebih banyak mengalokasikan energinya untuk dunia teater dan kepenulisan. Namun kali ini ia tak kuasa menerima tawaran Deddy Mizwar ikut terlibat dalam film Bidadari Mencari Sayap. “Bayangkan, saya terakhir main film 35 tahun lalu, film Wim Umboh,” kata Nano.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di film Deddy, Nano berperan sebagai Babah, seorang bapak dan kakek dalam keluarga keturunan Cina. Ia memerankan ayah yang sederhana, menyayangi keluarga, dan menjadi pengayom bagi anak-anaknya. Akting Nano yang wajar apa adanya saat menampilkan karakter Babah dalam film Bidadari Mencari Sayap membuat juri terpikat dan memilihnya sebagai Aktor Pendukung Pilihan Tempo 2020. Nano terlihat matang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Babah adalah sosok ayah yang sangat menyayangi putrinya, Angela. Saat sering terjadi percekcokan dalam rumah tangga Angela, ia memilih tak mau mengintervensi. Namun, suatu ketika, terjadi pertengkaran hebat antara Angela (diperankan Leony Vitria Hartanti) dan suaminya, Reza (diperankan Rizky Hanggono), pada pagi hari. Reza, yang semalam baru pulang setelah minggat, sangat marah ketika istrinya hendak pamit kerja di tempat kakak iparnya yang kaya dari hasil judi.
N. Riantiarno (kiri) dalam salah satu adegan di film Bidadari Mencari Sayap. Dok. Bidadari Mencari Sayap
Babah masih asyik duduk membenahi sesuatu di gudang ketika pertengkaran itu terjadi. Dia lantas menghentikan sejenak aktivitasnya, mendongakkan kepala, mendengarkan pertengkaran itu. Kemarahan Reza makin tak terkendali. Ia menjadi sangat kasar dengan membanting barang-barang, termasuk laptop dan konsol PlayStation anaknya.
Babah lalu membuka pintu. “Heiii... jangan kasar sama anakku, ya!” katanya sambil memandang menantunya dengan tatapan marah. Dengan tubuh rentanya yang agak bungkuk, ia langsung memeluk tubuh putrinya. Reza makin meradang dan meminta mertuanya itu tak ikut campur karena istrinya melawan. “Istrimu melawan karena kamu terlalu kasar!” ujarnya menjawab menantunya.
Adegan yang singkat tapi sangat berarti itu mampu memencet tombol emosi penonton. Begitulah seorang ayah yang marah, tak rela anaknya diperlakukan kasar oleh menantunya. Ayah yang berusaha tetap mengayomi dan melindungi putrinya dari kekerasan dalam rumah tangga. Bahasa tubuh yang sangat menyentuh diperlihatkan Nano dengan sangat pas, sangat tepat. Kematangan akting ini sangat layak dipuji. Terasa ada kepedulian kepada anaknya yang ditunjukkan dengan halus, tidak menggurui, ataupun membosankan.
Bukan hanya itu, dalam kisah ini, juri melihat dimensi sosok Babah sebagai peran pendukung juga cukup berat. Film ini menghadirkan figur ayah yang melihat anaknya terzalimi dalam pernikahan, juga sebagai bagian dari kelompok minoritas di keluarga serta lingkup sosial. Dimensinya lumayan luas dan berat untuk peran pendukung. Dalam beberapa bagian adegan, peran ini memantik perubahan tokoh lain. Akting Nano mampu menyajikan sebuah ruang untuk itu. Lihatlah adegan ketika Babah menonton di layar televisi penangkapan menantunya oleh aparat. Terasa ada kekecewaan yang sangat. “Aku kehilangan ketiga anak lelakiku,” ucapnya sambil menangis. Sebuah adegan yang liris.
Sejak awal Nano memperlihatkan sosok ayah yang tak ingin kesepian. Sepeninggal istrinya, ia memilih tinggal bersama anak bungsunya yang masih mengontrak. Ia lebih suka pada kehangatan keluarga dan mengobrol dengan tetangga ketimbang hidup dalam kemewahan dan kesepian. Ketika berkumpul dengan anak-anaknya, Babah selalu memberikan nasihat, petuah yang oleh mereka sering dianggap sebagai omelan menyebalkan. “Lebih baik aku di sini, bisa bertemu dengan kalian. Kalau di rumah anakku yang lain, mau ke dapur saja jauhnya minta ampun,” tutur Baba ketika mengobrol dengan Bang Johan, penjual baju koko, dan Lae Boro, penjual batu nisan, yang masing-masing diperankan oleh Deddy Mizwar dan J.E. Sebastian.
Menghadirkan sosok Babah tidak sulit bagi Nano. Sejak awal ia melihat tokoh dan naskah cerita ini bagus. Meski dialognya banyak, dalam dua minggu dia telah hafal seluruhnya. Sebuah keuntungan bagi Nano berakting sebagai bapak dalam keluarga Cina. Sebab, sepanjang kiprahnya di dunia teater, Nano banyak mementaskan naskah dari Cina yang menurut dia punya banyak kemiripan persoalan. “Dari Sampek Engtay sampai Sie Jin Kie, banyak persoalan keluarga yang sama,” kata Nano.
Nano banyak membaca kisah klasik dari Cina. Dia hafal karakter tokoh dalam kisah tersebut. Ia mengenali dengan baik persoalan dalam sastra klasik Cina. Karakter seperti Babah yang ia mainkan banyak terdapat dalam naskah klasik Cina. “Saya hafal, sudah ngelotok. Problemnya sama, persoalan keluarga, pengkhianatan. Saya meneliti macam-macam perihal Cina, perselisihan keluarga. Ya begitu itu,” ujar Nano kepada Tempo, Senin, 14 Desember lalu.
Nano memuji naskah Bidadari Mencari Sayap. Menurut dia, naskah ini menghadirkan banyak konflik, dari konflik personal, agama, ras, hingga nilai-nilai kemanusiaan serta kekeluargaan. “Ini naskah bagus. Seorang perempuan keturunan Cina masuk Islam dan menikah dengan seorang lelaki keturunan Arab dan harus beradaptasi satu sama lain dari perbedaan yang mendasar. Masalah yang nyata dan sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari,” kata Nano.
Dalam beberapa adegan penting, selain lewat dialog, Nano mampu menampilkan bahasa tubuh yang kuat untuk mengekspresikan sesuatu. “Ketika tidak ada dialog, ya butuh sesuatu untuk dikeluarkan. Ketika enggak ngomong, ngapain? Saat itu, sebagai aktor saya harus mengeluarkan gestur,” ujarnya. Menurut Nano, ketika tak ada dialog, secara otomatis seorang aktor harus menghadirkan bahasa tubuh.
N. Riantiarno (kedua kiri) bersama sutradara Aria Kusumadewa (kanan) saat proses syuting film Bidadari Mencari Sayap. Dok. Bidadari Mencari Sayap
Aktor kelahiran 6 Juni 1949 ini mengaku awalnya agak segan kembali berakting di depan kamera. Tapi, seperti dikatakan di awal, ia mengaku susah menolak ketika Deddy Mizwar menawarkan naskah ini. Bukan hanya Deddy, sutradara Aria Kusumadewa pun menghubungi dia dan menyerahkan naskah cerita ini. Ketika membaca naskah itu, Nano kaget. “Naskahnya bagus,” katanya. Ia lantas mengiyakan tawaran tersebut. Ia pun tak mengubah dialog Babah dalam naskah.
Nano menerangkan, ini pertama kalinya ia beradu akting dengan Deddy Mizwar di layar lebar. Di teater pun ia tak pernah bermain dengan Deddy. Tapi ia merasa bisa langsung cocok. Deddy dan Nano sudah saling kenal sejak muda. Saat muda, Deddy menjadi aktor utama kelompok Teater Remaja pimpinan Kassim Ahmad. Waktu itu, Teater Remaja banyak memainkan naskah yang ditulis Nano. Namun baru kali ini mereka beradu akting dalam sebuah film. Akting Deddy, tutur Nano, sangat membantu penampilannya. Dialog, kalimat, pengucapan, dan gestur tubuh Deddy membuatnya terasa pas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo