Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR finansial mendapat kado tahun baru dari The Federal Reserve. Dalam rapat terakhirnya tahun ini, Rabu, 16 Desember, pemimpin The Fed memberikan sinyal terang-benderang: suntikan likuiditas dolar tidak akan berhenti dalam tempo dekat. Program pembelian obligasi oleh The Fed akan jalan terus meski kelak ekonomi sudah tidak berstatus gawat darurat karena pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi pasar, ini kabar melegakan. Sebelumnya, menjelang 2021, investor sungguh khawatir. The Fed bisa saja mengurangi suntikan likuiditas dolar jika menilai ekonomi Amerika Serikat sudah tidak kritis lagi karena pandemi teratasi. Suntikan likuiditas dolar itu berupa program quantitative easing, pembelian obligasi secara masif oleh The Fed. Sejak pandemi melanda, The Fed menggelontorkan US$ 120 miliar per bulan ke pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah ada jaminan bahwa pembelian obligasi itu tidak bergantung pada status pandemi, kini pasar bisa merayakan tahun baru dengan lega. Dan bukan hanya pasar negara maju yang menikmati guyuran dolar ini. Sebagian dolar juga meluber ke pasar negara berkembang.
Yang menarik, di antara pasar negara berkembang, pasar finansial di Tiongkok-lah yang paling menikmati banjir dolar dari The Fed. Ironis, ketika pemerintah Presiden Donald Trump hingga hari-hari terakhirnya masih bersikap sangat keras terhadap Cina dalam konteks perang dagang, pasar keuangan Cina justru turut menikmati kebijakan The Fed yang dimaksudkan untuk menyelamatkan pasar finansial dan ekonomi Amerika.
Sebagai gambaran, indeks saham CSI 300 di bursa Shanghai, tolok ukur utama kinerja saham di Tiongkok, sudah melonjak 27 persen sepanjang tahun ini. Lonjakan ini dua kali lipat kenaikan indeks S&P 500, yang merupakan patokan harga saham di Amerika. Kenaikan harga secepat itu antara lain terpicu pembelian saham oleh investor asing, melalui Hong Kong, yang secara netto nilainya mencapai US$ 29 miliar sepanjang 2020. Di pasar obligasi, banjir dana asing jauh lebih dahsyat. Investor asing, secara netto, memborong obligasi pemerintah Cina senilai 900 miliar renminbi—hampir US$ 140 miliar—selama 11 bulan pertama 2020.
Ekonomi Cina memang layak menjadi ajang pertaruhan bagi investor. Kendati pandemi yang melumpuhkan ekonomi global bermula dari sini, ekonominya bisa pulih paling cepat. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi Tiongkok menjadi satu-satunya ekonomi yang masih tumbuh positif pada 2020.
Jika keberhasilan menarik dana investasi portofolio asing yang menjadi patokan, situasi di pasar Jakarta sungguh kontras bertolak belakang. Di bursa saham, aliran dana asing malah masih deras keluar. Dalam sepekan terakhir, hingga 18 Desember, ada Rp 1,43 triliun lagi dana investor asing yang hengkang dari Jakarta. Jika dihitung sejak awal tahun, nilai dana asing yang keluar mencapai Rp 53 triliun.
Di pasar obligasi, situasinya sedikit lebih baik. Dana portofolio asing sudah mulai masuk kembali ke obligasi pemerintah. Namun, jika dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi meledak, masih ada sekitar Rp 100 triliun yang belum kembali. Hingga 16 Desember, ada Rp 973 triliun dana asing yang “parkir” di obligasi pemerintah. Sedangkan persis sebelum pandemi, Februari 2020, nilainya sempat mencapai Rp 1.070 triliun.
Memasuki 2021, investor di Indonesia harus mewaspadai fenomena ini. Ekonomi Indonesia bakal kembali menggelinding. Ini tentu positif. Persoalannya, sejalan dengan pulihnya industri, Indonesia harus mengimpor lebih banyak bahan baku. Neraca perdagangan bisa kembali mengalami defisit. Defisit neraca transaksi berjalan juga akan membesar.
Sebelum pandemi meledak, aliran masuk dana investasi portofolio asing merupakan ganjal yang penting. Aliran dolar yang masuk melalui pasar saham dan obligasi setidaknya bisa meringankan beban neraca pembayaran. Aliran dolar ini pula yang mengurangi tekanan pada kurs rupiah.
Kado dari The Fed membuat dolar begitu melimpah di pasar global. Tiongkok terus berpesta menyambutnya. Sayangnya, dolar itu segan datang kemari. Ini masalah besar. Tak ada lagi pengganjal defisit neraca pembayaran. Bersiaplah melihat rupiah yang terus tertekan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo