Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELUK Ambon pada 1991 adalah dunia nelayan yang ketinggalan zaman-. Para pencari ikan berperahu motor tempel—mengandalkan nasib baik dan sedikit pengalaman—menebar jala. Tak tahu kapan ikan akan datang me-ngunjungi jala-jala aus mere-ka.
Di antara para nelayan yang sedang menikmati hidup itu, sesosok tubuh kurus duduk mencangkung di perahu kecil yang membelah- Teluk Ambon. Di- kiri dan kanan- pe-ra-hunya- terpasang sebuah jala halus. Lelaki itu bukan nelayan biasa. Dia adalah pem-buru udang renik. Pria itu, Mulya-di, jauh-jauh terbang dari Jakarta ke Ambon hanya untuk berburu udang yang ukurannya kurang dari setengah sentimeter itu.
”Pekerjaan aneh,” begitu mungkin komentar para nelayan. Tapi itu bukan pekerjaan ganjil bagi doktor ilmu plankton lulusan Tokyo University of Fisheries itu. Dari jala halus, Mulyadi memanen ratusan makhluk bening yang dalam dunia ilmiah biasa disebut kopepoda ini. Dari hewan renik itulah Mul-yadi bisa memetakan laut-laut Indonesia yang menjadi lumbung ikan.
Menurut Mulyadi, hewan yang memiliki kaki dayung ini adalah rantai- makanan terpenting kedua di laut setelah fitoplankton (plankton nabati-). Kopepoda ini menguasai sekitar 75 per-sen isi laut. Pepatah di kalangan ilmuwan laut, di mana ada kopepoda di situ ada ikan pelagis (ikan yang berenang di dekat permukaan secara berkelompok), seperti tuna dan cakalang.
Kopepoda ini tergolong zooplankton (plankton hewani). Panjang badannya 0,5 hingga 4 milimeter. Sebagian besar transparan, namun ada juga yang berwarna kuning telur, biru, ungu, atau hitam.
”Saya jatuh cinta dengan plankton ini sejak kuliah di Universitas Jenderal Soedirman,” kata peneliti berusia 45 tahun ini. Kecintaannya itulah yang membuat dia menjadi ahli kopepoda yang disegani. Dia telah menjelajahi berbagai perairan dari Jawa hingga Papua. Pene-liti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu telah menemukan 120 kopepoda dari 550 jenis yang ada di Indonesia! Salah satunya adalah kopepoda yang ia temukan di Teluk Ambon, yang ia beri nama Paramacrochiron amboinensis.
Setelah menjelajahi banyak perair-an di Indonesia, Mul-yadi bisa memetakan daerah yang kaya ikan. Ia menemukan ada delapan lokasi- yang jumlah kopepodanya melimpah, yakni tercatat ada 1.000 udang per liter air laut. Delapan lokasi itu adalah Selat Makassar, Laut Banda, Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafuru, perairan utara kepala burung Papua, perairan timur Papua, dan perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.
Mulyadi juga menemukan fakta baru ba-hwa melimpahnya udang renik itu ter-kait dengan fenomena upwelling-. Ini adalah proses naiknya air laut yang ada di kedalaman laut ke permukaan. Ke-naik-an air ini terjadi bila angin ber-embus- terus-menerus di sepanjang pantai dengan kecepatan 15 sampai 25 knot (27 sampai 46 kilometer per jam). Embus-an angin ini menyebabkan air permukaan laut yang hangat (bersuhu 28 hingga 29 derajat Celsius) bergerak ke arah laut lepas.
Kekosongan di permukaan yang di-tinggalkan air hangat ini diisi air dari laut dalam yang lebih dingin dan kaya unsur hara sehingga menyuburkan fitoplankton. Fitoplankton ini menjadi ma-kanan kopepoda. Dan rantai makanan pun berlanjut, kehadiran kopepoda ini akan memikat ikan.
Namun berkumpulnya kopepoda ini hanya terjadi selama Maret hingga September. ”Di luar masa itu adalah masa paceklik, kopepoda berenang ke dasar laut,” ujarnya.
Menurut Mulyadi, pemetaan lokasi kenaikan air dengan menggunakan- indikator kopepoda lebih akurat ke-timbang menggunakan teknik penci-tra-an satelit. Sebab, pemetaan satelit hanya dilakukan berdasarkan perbedaan warna air laut, yang sangat terpengaruh oleh temperatur dan kadar garam. Lokasi banyak ikan biasanya berwana biru.
Ia yakin, jika lumbung-lumbung ikan itu dipublikasikan secara luas, pendapatan nelayan akan meningkat. Asal syaratnya, nelayan dibekali kapal yang cukup besar dan berpendingin. ”Lokasi kenaikan air biasanya di laut dalam atau pada jarak 10 mil dari tepi pantai,” ujar bapak dua anak ini.
Namun, tak semua seyakin Mulyadi. Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Augi Sahilatua mengatakan, meski temuan itu akurat untuk pemetaan lokasi ikan, cara ini memakan waktu lama. Penyebabnya, kelimpahan plankton baru terjadi dua hingga tiga pekan setelah kenaikan air. Di sisi lain, kenaik-an air bersifat dinamis, yang akan berpindah tempat dalam tiga pekan.
Efri Ritonga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo