Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Napas dalam Sepotong Mesin

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas dipan berseprai putih kumal, Radhar Panca Dahana terbaring lemah. Wajahnya pucat, warna putih kekuningan melingkupi bibirnya yang terkatup. Di sisi kiri, sebuah mesin hemodialisis bekerja. Tiga batang selang menancap di pergelangan tangannya, memompakan butir-butir darah segar ke tubuh yang terbaring.

Hari menjelang sore di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa pekan lalu. Radhar, 38 tahun, mengenakan celana pendek cokelat pudar dan kaus putih. Ruangan seluas 100 meter persegi itu sunyi. Selain Radhar, ada sekitar lima pasien lain yang juga menjalani cuci darah. Tapi tak ada suara. Semua tenggelam dalam sepi. Aroma obat menusuk hidung. Radhar yang terbaring mencoba tersenyum. Pahit. Senyum. Sakit. Detik memberat.

Setahun terakhir, Radhar melewatkan waktunya di ruang cuci darah. Dua kali seminggu masing-masing selama 5 jam ia terbaring di sana. Ginjalnya rusak total. Tubuhnya tak lagi mampu memproduksi urine. Setiap cairan yang berlebih akan menggenangi rongga dada, termasuk jantung dan paru-paru. Itulah sebabnya jatah minumnya dikurangi. Sehari-hari ia hanya diizinkan mengecup bongkahan kecil es batu. Selain ginjal, ia juga dihinggapi penyakit lain yang datang belakangan seperti asam urat, rapuh tulang, dan jantung. "Saya sering sesak napas," kata Radhar.

Tapi sakit tak melekangkan semangatnya. Sehari-hari, jika tak di rumah sakit, ia tetap menulis puisi, esai, dan cerita pendek. Ia juga masih bisa gesit menyetop taksi, lalu meluncur memenuhi undangan berbicara di sebuah seminar.

Sering kali ia harus berhenti menulis saat rasa sakit menyerangnya tiba-tiba. Padahal segudang ide tengah mengucur deras dari kepalanya. Setelah rasa sakit itu reda, terpaksa ia harus mengingat kembali kata-kata yang sudah telanjur menguap.

Salah satu karya Radhar yang lahir dengan susah payah adalah antologi puisi Lalu Batu, yang diluncurkan tiga pekan lalu. Kumpulan puisi tersebut sebagian ia tulis saat masih sehat. Sebagian lainnya digarap bersama rasa sakitnya.

Proyek yang dikerjakan selama tujuh tahun itu merupakan bagian dari trilogi, setelah sebelumnya ia menerbitkan Lalu Waktu (1994). Pada tahun 1985, ia sempat pula meluncurkan kumpulan puisinya yang berjudul Simfoni Dualuluh. Radhar juga nekat terlibat dalam berbagai pementasan untuk mempromosikan Lalu Batu, termasuk rencana keliling Jawa pada awal Oktober mendatang.

Tak jarang di sela pementasan ia harus menahan sakit. Seperti yang terjadi dalam peluncuran Lalu Batu di Bentara Budaya, Jakarta, tempo hari. Di belakang, ia sempat mengeluh. Napasnya tercekat. Dadanya sesak.

Radhar mungkin telah berdamai dengan penyakitnya. Tapi ini tak mudah. Pada awalnya, ketika divonis gagal ginjal dua tahun lalu, ia terpuruk dan putus asa. Selama enam bulan pertama, ia gampang naik darah dan mengutuk.

Namun, akhirnya Radhar menemukan caranya sendiri. Sarjana sosiologi UI ini sadar bahwa penyakit akan makin berkuasa bila jiwanya tertekan. Ia memang bukan orang yang mudah menyerah pada keadaan. Penulis Noorca Massardi mengenang Radhar sebagai sosok yang kuat dan keras dalam menghadapi hidupnya sendiri. "Ia tidak pernah mengasihani dirinya sendiri. Ambisinya begitu kuat untuk menjadi pencipta, pemikir, lebih dari apa yang sudah dicapainya saat ini," kata Noorca.

Radhar mengawali hidupnya dengan kekerasan hati. Pada usia 10 tahun ia sudah menulis cerpen berjudul Tamu Tak Diundang—kisah yang merefleksikan ibunya, yang terus diburu penagih utang. Kelas 2 SMP, ia meninggalkan rumah dan memilih menjadi "gelandangan" dan bergaul dengan sesama seniman. Ia sempat nyantri pada penyair W.S. Rendra. Ketika kuliah, ia mendirikan semacam padepokan dengan menanggung hidup sejumlah seniman. Mereka tinggal di rumah kontrakan Radhar yang sempit di kawasan Depok.

Selanjutnya ia berkeliling: menjadi wartawan, menyelesaikan skripsi, mengelola majalah kampus (Kabar Depok). Akhir 1990-an, Radhar melanjutkan studi sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, Prancis. Pulang ke Indonesia, ia kembali bekerja, lalu penyakit menyergapnya. Tapi ia tak jera. "Saya harus tetap bekerja untuk membiayai keluarga," katanya.

Saat ini ayah satu anak itu tetap menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Ia juga membiayai sekolah dua adik iparnya. Beruntung biaya cuci darah, yang lebih dari Rp 10 juta per bulan, ditanggung oleh salah seorang kakak Radhar dan pengusaha media Pia Alisyahbana. Tapi untuk membeli obat, membayar dokter, dan tetek bengek rumah tangga lainnya, Radhar mencarinya sendiri.

Tantangan hidup itulah yang membuat Radhar bertahan. Sore itu, terbelit di antara selang-selang mesin hemodialisis, mata Radhar tetap berapi-api. "Saya pasrah. Kalaupun harus mati, saya ingin mati dengan tersenyum," katanya.

Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus