Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan mata membelalak, dengan teriak, dengan nama Tuhan dan tangan yang diayunkan, Imam Samudra sebenarnya tak mengagetkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tak gentar. Ia juga tak menyesal. Pengadilan membuktikan ia bersalah telah merancang pembunuhan besar-besaran yang terjadi di Bali pada Oktober 2002 itu, ketika bom meledak di sebuah kafe yang padat di Kuta. Hakim memutuskan: ia dihukum mati. Tapi hukuman itu akan dijalaninya—begitulah ia percaya—sebagai kesempatan untuk menjadi syuhada. Ia yakin bahwa Taman Firdaus menantinya.
Syuhada sebenarnya bukan hanya sebuah cerita tentang iman dan keberanian. Sebagaimana halnya pahlawan, ia petunjuk tentang sebuah masyarakat yang tak berbahagia. Bila orang hanya jadi berarti sesudah mati, pasti begitu buruknya kehidupan. Ketika orang harus menjalankan dan mengalami sesuatu yang brutal karena masa depan yang indah (dalam bentuk sebuah masyarakat yang ideal atau sebidang surga yang asyik), pasti ada yang tak beres dalam masa kini. Maka "yang-kelak" harus dibayar oleh "yang-kini" dengan amat mahal, dengan kematian dan kekejaman. Seperti diutarakan oleh dua baris dalam sebuah sajak Bertolt Brecht:
Ah, kita yang coba membuka tanah
yang ramah
Kita sendiri tak akan ramah
Persoalannya, tentu, apa yang dibayangkan sebagai "tanah yang ramah" itu, sehingga yang "tak akan ramah", bahkan yang kejam, harus dilakukan. Bagi Brecht, seorang sosialis, "tanah" itu pasti bukan Firdaus di akhirat buat diri sang syuhada sendiri—seperti kenikmatan seorang borjuis yang diperoleh setelah ia menanamkan modalnya dalam keadaan penuh risiko pada hari kemarin. Dalam cita-cita dan perjuangan politik umumnya, masyarakat masa depan itu adalah sesuatu yang dalam pelbagai hal lebih baik ketimbang masyarakat sekarang—dan dengan demikian, yang mati, yang mengorbankan diri, hadir merendah, bahkan menghilang, di tengah-tengah derap bersama. Itu sebabnya ada penghormatan istimewa bagi "pahlawan tak dikenal".
Adapun Imam Samudra ingin mati syahid dan masuk surga…. Tapi baiklah kita katakan bahwa ia melakukan dua hal sekaligus: menggapai Firdaus yang penuh bidadari itu untuk dirinya sendiri dan sekaligus menghasilkan sesuatu untuk "bersama"—yang agaknya diterjemahkannya sebagai "umat". Namun ada perbedaan antara para pelaku pengeboman Bali dan para teroris seperti yang dilukiskan Albert Camus dalam Les Justes. Kedua-duanya memang tak sepenuhnya melakukan kekejaman itu untuk diri mereka sendiri. Tapi bila dalam Les Justes, membunuh seorang yang duduk di takhta adalah bagian dari aksi politik, tak begitu jelas begitukah halnya dalam hal bom di Bali yang meledakkan hampir 200 orang yang tengah bersenang-senang di kafe itu.
Aksi politik bertujuan merebut kekuasaan—dan itulah yang ada dalam agenda kaum revolusioner Rusia, tokoh-tokoh dalam Les Justes. Bom yang diledakkan dan juga para pelakunya hanya salah satu unsur dalam sebuah strategi. Di kalangan kaum revolusioner itu, ada musuh yang didefinisikan secara jelas: kekuasaan Tsar dan struktur kekuasaan itu, yang harus dihabisi.
Tapi apa strategi dan apa musuh Imam Samudra? Merebut kekuasaan "Amerika"?
Tak mudah menjawab itu. Kata "Amerika" dapat berarti banyak: sebuah negeri, atau sebuah bangsa, atau sebuah pemerintahan, atau sebuah gaya hidup, mungkin sebuah kebudayaan. Tak setiap orang Amerika menjalankan "gaya hidup Amerika", sebagaimana tak selamanya "bangsa Amerika" identik dengan "pemerintah Amerika". Tak jauh berbeda dari itu adalah sebutan "Zionis". Seorang "Zionis" bisa berarti seorang Yahudi, tapi juga bisa berarti seorang yang meyakini paham Zionisme. Namun tak semua orang Yahudi penganut Zionisme, dan tak semua penganut Zionis mempunyai satu paham politik. Maka "Amerika" sebagai apa yang akan dikalahkan? "Zionis" dalam arti apa yang harus dihabisi?
Kerancuan ini jelas membedakan terorisme di Bali dari sebuah aksi politik. Sebuah aksi politik akan berangkat dari sebuah kata yang sama tentang musuh, tapi dengan dua pengertian dan fungsi yang berbeda. Yang pertama adalah pengertian definitif, untuk merumuskan sasaran secara persis: "Amerika" secara spesifik berarti, misalnya, "pemerintah Bush". Dengan itu ditentukan pula bagaimana ia dikalahkan, sesuai dengan kondisinya yang khusus, dan dengan cara yang cocok—yang tak selamanya melalui kekerasan. Yang kedua, kata "Amerika" atau "Zionis" adalah pengertian konotatif, mirip dengan stigma, sesuatu yang tak persis, malah mendekati gelap, sebuah kata yang dipakai untuk mencari dukungan orang ramai agar sama-sama membenci, memojokkan sang lawan.
Tapi politik menghilang ketika sebutan yang konotatif menjadi sepenuhnya pengertian definitif, dan jihad muncul. Dalam sebuah "perang suci", sang Setan tak pernah jelas sosoknya. Tak pula ia bertahan di satu tempat, di suatu waktu. Sebuah "perang suci" tak punya patokan yang jelas, bagaimana dan bila "pihak sini" menang dan "pihak sana" kalah. Yang berlaku bukan "tujuan menghalalkan cara", sebab "tujuan" itu tak dirumuskan. Akhirnya "cara" itu jadi tujuan. Perang itu berkecamuk kapan saja, di mana saja. Ia seakan-akan di luar ruang dan waktu. Ia bukan sebuah praxis. Ia sebuah langkah kosmis.
Perang di luar sejarah itukah yang hendak dilancarkan Imam Samudra—dan sebab itu tak perlu dipikirkan kapan Amerika kalah, bagaimana Amerika kalah? Jika demikian, yang utama bukanlah "membuka tanah yang ramah" seperti disebutkan dalam sajak Brecht. Yang utama adalah pensucian diri terus-menerus. Persekutuan dengan orang lain pun tak perlu. Maka politik pun dinafikan, rembukan, rundingan, dan komunikasi, dianggap tak penting—dan hidup, sebenarnya, kian menjadi mustahil.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo