Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Nasionalisme Sang Dokter Bedah

Kisah hidup dokter, diplomat, sekaligus pejuang. Biografi yang langka.

12 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hidupku Bersama Eri-san Pejuang Kemerdekaan
Penulis: Mang Eri Soedewo
Penerbit: Kata Hasta Pustaka
Cetakan pertama, Desember 2008

Hidup Mayjen Prof Dr Eri ­Soedewo bak kanvas penuh warna. Ia dokter, diplomat, dan tentara pejuang. Melintasi empat zaman, Eri tak pernah berhenti memberi kepada Tanah Air, yang ia sebut ”istri pertamaku”.

Di masa revolusi kemerdekaan, Eri me­mimpin perkumpulan mahasiswa ke­dok­­teran di Jakarta. Ketika itu, Eri—yang dipanggil Eri-san oleh keluarga dan sahabatnya karena bermata sipit bak orang Jepang—adalah anggota Ke­lom­pok Prapatan 10. Mereka ini mahasis­wa kedokteran Universitas Indonesia—ka­la itu disebut Ika Daigaku dalam baha­sa Jepang—yang gigih dan militan. Bersama teman-temannya, Eri menggelar rapat-rapat gelap di selasar asrama di Prapatan 10 di antara kesibukan mere­ka di lab-lab kimia dan kamar-kamar bedah.

Tak hanya cakap bicara politik, Eri bergabung dalam pelatihan militer Pembela Tanah Air (Peta). Di sana ia bertemu dengan A.H. Nasution, yang ikut melatih para mahasiswa, dan kemudian menjalin pertemanan sampai ujung hayat mereka. Belakangan, sebagai ahli bedah, Eri pula yang mengoperasi Ade Irma Suryani, putri Nasution yang tertembak pada saat G30S-PKI meletus.

Setelah proklamasi, Eri secara spontan bergabung dalam ketentaraan. Pangkatnya mayor. Ia ikut bergerilya di hutan Jawa Barat saat Agresi Militer Belanda I. Kariernya tergolong cemerlang. Ia sempat menjadi Kepala Staf Divisi Siliwangi. Tapi rumah sakit lebih kuat memanggilnya. Eri kemudian bekerja di Rumah Sakit Angkatan Darat dan diangkat sebagai kepala bagian bedah. Pangkatnya naik jadi brigadir jenderal.

Ia pernah pula diangkat sebagai Rektor Universitas Airlangga. Pangkatnya naik lagi menjadi mayor jenderal. Di masa Orde Baru, Eri berkecimpung dalam dunia diplomasi. Ia ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Swedia.

Hidup Eri yang penuh warna itulah yang digambarkan Mang, istrinya. Sebagai kekasih, Mang tahu Eri pejuang yang gigih dan keras kepala. Tak aneh jika di malam ketika Eri duduk bermesraan dengan Mang sebelum mereka menikah, ia berkata dengan suara dingin, ”Saya sudah punya istri, dan kamu harus siap jadi istri kedua saya.” Istri pertama Eri, itu tadi, Ibu Pertiwi.

Kegigihan Eri, di mata Mang, tak saja terlihat dari sikapnya melawan agresi penjajah, tapi juga dari sikapnya terhadap ketidakadilan di depan matanya. Di zaman Orde Baru, Eri sempat bergabung dengan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, yang menyuarakan perlawanan terhadap para jenderal yang bergelimang kekayaan. Ia berhasil ”menggiring” para dokter sejawatnya turun ke jalan.

Dengan setia, Mang, yang pandai memasak, menyedia­kan rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sebagai tempat kumpul-kumpul dan rapat. Ia menjadi nyonya rumah yang baik dan dipuji banyak teman Eri.

Bersama kelompok orang keras kepala ini Eri bahkan sempat ”menghadap” Soeharto. Niatnya adalah menyuarakan keresahan atas ­sikap para jenderal yang do­yan bisnis dan korup itu. Tapi rupanya Soeharto tak suka. Pertemuan di­bu­barkan begitu saja oleh Soeharto. Sikap keras kepala Eri menda­pat ”hadiah”: kenaikan pangkatnya dibekukan selama empat tahun.

Ketika pensiun, Eri sempat terkena post power syndrome. Itu bukan karena takut tak lagi berkuasa, tapi lebih karena sedih lantaran merasa tak berguna. ”Hatiku protes karena harus pensiun, dimasukkan kotak, tak berguna sedikit pun,” katanya kepada Mang. Kepada Mang, ia bercerita bagaimana ia me­nyim­pan mimpi membebaskan ”istri pertama”-nya dari korupsi.

Di ujung hidupnya, ketika sirosis hati melapukkan keku­atan fisiknya, jiwa Eri tetap tak terpatahkan. Pada satu re­­uni perkumpulan Prapa­tan 10,­ ia berpidato menggelorakan semangat teman-temannya yang sudah kakek-kakek. ”Perjuangan kita di ta­hun­­ 1942 dulu belum selesai,” ucapnya.

Buku ini ditulis dengan pendekatan personal. Mang lebih dulu menerbitkannya dalam bahasa Inggris dengan judul My Life with Eri-san: A Freedom Fighter pada 1994. Putrinya sendiri kemudian mendorong dia menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia agar bisa dibaca lebih banyak orang. Di sana-sini memang masih ditemukan bahasa lisan. Tapi, sebagai sebuah biografi, buku ini menyuguhkan cerita yang kaya.

Pada akhir hayatnya—sebelum meninggal pada 1984—misalnya, Eri tetap kukuh pada karakter perjuangannya. Berbeda dengan banyak pensiunan jenderal yang berbisnis luar biasa, Eri ”bantu-bantu” istrinya berbisnis sirop asem. Ke mana-mana, mereka naik mobil Suzuki yang bunyinya ”ejrek-ejrek”. Seorang jenderal yang langka.

Angela Dewi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus