Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu Ananda Sukarlan kembali menyita perhatian. Penonton di Graha Bhakti Budaya tertawa pada setiap lelucon yang dilontarkan pianis kelas dunia kelahiran Jakarta berusia 40 tahun itu. Lelucon tentang krans bunga dari panitia yang jumlahnya tidak cukup untuk semua pianis, komponis, plus koreografer; tentang tokoh-tokoh dalam musiknya, dan banyak lagi.
Malam itu, Jumat dua pekan lalu, Ananda tidak hanya tampil sendiri. Di atas panggung yang temaram itu, Ananda justru sibuk memperkenalkan wajah baru. Wajah adik-adik, pianis dan komponis, para pemenang Ananda Sukarlan Award tahun lalu. Dengan santai Ananda menjadikan tujuh pemenang sayembara itu bagian dari pertunjukannya yang bertajuk Konser Pianissimo itu.
Ada Andhanu Candana, 15 tahun, siswa kelas satu SMA 2 Bekasi. Ia mencipta Fantasie, karya yang malam itu dimainkan pianis remaja Victoria Audrey Sarasvathi, 11 tahun, dan Randy Ryan, 13 tahun. Andhanu menggubah Fantasie dua tahun lalu, tatkala ia masih SMP. ”Saya sudah punya sekitar lima puluh partitur sendiri,” katanya.
Adapun karya Ananda The Humiliation of Drupadi dibawakan oleh Randy Ryan. Juga Rescuing Ariadne (terinspirasi mahakarya Bacchus & Ariadne oleh Titian) dimainkan oleh Alfred Young Sugiri, 17 tahun (piano), dan Elizabeth Ashford (flute). Satu yang terakhir Mahasunyi yang Meniti Butir-Butir Gerimis (terinspirasi puisi Sapardi Djoko Damono) oleh Inge Melania Buniardi, 22 tahun. Vokal dalam sejumlah komposisi diisi oleh dua vokalis yang berulang kali disebut Ananda sebagai ”pemilik suara terindah” di negeri ini: soprano Bernadeta Astari, 20 tahun, dan bariton Joseph Kristanto, 40 tahun.
Ada dua nomor yang dipertunjukkan dengan tari, The Humiliation dan Schumann’s Psychosis. Yang terakhir ini karya untuk tiga piano-12 tangan. Semua pianis di atas terlibat, ditambah dengan Sheila Victoria Pietono, 15 tahun, dan Handy Suroyo. Koreografer Chendra Panatan mengatakan tak mendapat kesulitan bekerja sama dengan para musisi muda yang menjadi pianisnya.
Meski begitu, ia mencatat, ”Lucu juga, kalau mereka melihat penari bergerak, tempo mereka bisa jadi lebih cepat. Jadi, saya minta mereka konsentrasi ke partitur saja, biar penari menyesuaikan.”
Konser Pianissimo akan bergulir tanpa cela jika pencahayaan di gedung pertunjukan itu memadai. Dalam Schumann’s Psychosis, kostum dan rias para penari tampak cemplang karena lampu menyorot mereka dari samping. Pencahayaan seperti ini juga mengganggu karakter cerita yang dibawakannya: dinamis melakonkan karakter orang berkepribadian ganda.
Namun itu tidak menghalangi orang tua para pianis muda itu—juga seluruh hadirin—merasa bangga dan terharu. Pianis senior yang juga pelatih, Latifah Kodijat. ”Ia sudah demikian matang, dan memberikan tempat bagi generasi berikutnya,” kata lulusan Conservatory of the Muziek Lyceum di era 1950 itu.
Malam itu memang Ananda hanya sedikit membawakan sendiri komposisinya, seperti komposisi baru I Sit and Look Out, yang diinspirasi dari puisi Walt Whitman dan kekejian di masa pemerintahan Presiden Amerika George Bush. Selebihnya, waktu diluangkan untuk unjuk kebolehan para cantriknya. Dan para cantriknya, tanpa gugup, memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo