Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Antara Puskesmas Dan Spesialisasi

Menurut ketentuan, dokter yang baru lulus harus bertugas di daerah. Di FKUI, lulusan dokter tahun ini boleh langsung mengikuti program spesialisasi. Jadi bahan pergunjingan.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI papan pengumuman Fakultas Kedokteran UI, 14 Januari kemarin, tertempel sebuah pemberitahuan yang menyebutkan lulusan dokter tahun ini boleh langsung mengikuti program spesialisasi. Kabarnya keputusan itu dikeluarkan oleh Menteri P&K. "Bila berita itu benar, menurut pendapat saya keputusan itu akan mengundang pergunjingan", tulis dr Kartono Mohamad di ruangan surat Kompas beberapa hari kemudian. Keputusan itu, menurut dokter tadi dapat dipandang sebagai perlakuan tidak adil bagi dokter-dokter yang sudah terlanjur dikirim ke pelosok-pelosok. Apalagi bagi mereka yang gajinya pun tidak terbayarkan seperti yang terjadi di Irian Jaya. Karena itu akan sangat bijaksana bila kesempatan untuk mengambil spesialisasi itu diberikan kepada mereka yang sudah pernah bekerja di pedalaman. Sedang kepada yang baru lulus tetap berlaku keputusan harus bekerja di daerah. Maklumlah karena pendidikan spesialisasi itu juga bisa dikaitkan dengan masalah karier. Penulis surat itu juga menyebut, saat dikeluarkannya keputusan tadi tidak menguntungkan nama baik Menteri P&K. Karena, kebetulan, dalam tahun ini salah seorang putera sang Menteri akan lulus jadi dokter. Kabarnya juga putera-putera Sekjen Depkes dan Dr Ibnu Sutowo. Sehingga, demikian Kartono Mohamad, akan mudah timbul kesan bahwa keputusan itu hanyalah suatu jalan untuk menyelamatkan para putera tokoh-tokoh itu dari tugas di daerah. Kecuali jika ternyata mereka dikirim ke daerah - meskipun taroklah hanya Karawang. Kami Ngiler "Dapat dibayangkan betapa gondoknya dokter Inpres yang saat ini berada di daerah seperti saya ini", tulis dr Wachyu HA, yang berdinas di Parungpanjang, Jawa Barat, menanggapi tulisan dr Kartono pada harian yang sama kira-kira seminggu kemudian. Penempatan dokter Inpres, lanjut Wachyu, belum memuaskan semua fihak. Ini terbukti dari laporan-laporan yang ada. Misalnya Puskesmas dan rumah yang belum siap daerah yang terlalu sepi untuk sang dokter, gaji yang terlambat dan dokter yang jualan es mambo. "Bekerja di daerah memang berat. Tapi hal ini mudah-mudahan bisa diatasi dengan cara masing-masing", tambah Wachyu. "Yang saya inginkan, cobalah kami ini jangan dibuat nyesel, dongkol". Pada waktu dikirim ke daerah, tulis Wachyu, bapak-bapak pernah berjanji bahwa untuk spesialisasi akan diutamakan mereka yang telah kembali dari daerah. Yaitu setelah tiga tahun bagi mereka yang mendapat tugas di luar Jawa, dan lima tahun untuk yang dinas di Jawa. "Kami mohon janji bapak-bapak ditepati. Atau dirumuskan kembali strategi penempatan dokter baru yang tidak membuat kami ngiler", demikian Wachyu. Kebijaksanaan baru yang belum jelas, tapi sudah tersebar di kalangan yang berkepentingan itu -- nampaknya memang jadi bahan pergunjingan. Karena itu agak mengherankan bila kebijaksanaan yang kabarnya masih dalam rencana itu tahu-tahu muncul di papan pengumuman FKUI. "Kami baru akan mengadakan apat tentang itu hari ini", ucap Prof. Dody Tisna Amidjaja, Dirjen Pendidikan Tinggi P&K, ketika ditanya TEMPO tentang soal itu, 20 Januari kemarin. Program itu, demikian Dody, belum dilaksanakan dan masih akan diperbincangkan. "Jadi tidak benar anak pak Sjarif Thajeb dan anak pak Ibnu Sutowo ditarik begitu saja untuk tenaga asistensi", tambah Dody. Kan Relatif Benar atau tidak, kebijaksanaan untuk tidak menyebarkan seluruh lulusan dokter tahun ini ke Puskesmas di lain fihak bukan tanpa alasan. "Jumlah lulusan dokter memang melebihi target untuk Puskesmas", ucap dr Partomo Alibazah, Sekretaris Konsorsium Ilmu-Ilmu Kedokteran (CMS). Partomo yang juga pembantu Rektor UI bidang Akademis itu menyebut jumlah 250 orang yang tahun ini akan diserap untuk memperkuat tenaga asistensi. Jumlah tersebut pertama kali dinyatakan oleh Prof Samaun Samadikun, Direktur Pembinaan Sarana Akademis P&K dalam pertemuannya dengan kalangan dokter dan mahasiswa tingkat terakhir FKUI. Maka sejak itulah berita tentang kebijaksanaan yang masih dalam rencana itu menimbulkan heboh. Memang ada juga rencana untuk mengambil dokter-dokter yang sudah bekerja di Puskesmas bagi kebutuhan tenaga asistensi dan spesialisasi. Tapi itu berarti harus menunggu dinas mereka yang akan selesai tahun 1978 mendatang --bagi dokter yang tugas di luar Jawa. "Nah kenapa kita tidak memanfaatkan saja dokter dokter yang ada", ucap Partomo menunjuk lulusan baru yang tidak ke Puskesmas. "Memang tidak adil", tambah Partomo, "tapi keadilan itu kan relatif", katanya. Lantas masalahnya sekarang, bagaimana menentukan dokter yang baru ke Puskesmas dan yang tidak? Sekretaris CMS itu mengakui, mungkin akan sulit. Sebab, katanya, pencarian bakat talentscouting yang mestinya dilakukan terhadap mahasiswa kedokteran belum berjalan sempuma. Namun pertimbangan seperti nilai, kesenangan menghadapi masyarakat atau kesukaan meneliti selama kuliah, bisa dijadikan patokan. Hanya, menurut sumber di Departemen Kesehatan, kebutuhan dokter untuk Puskesmas sebenarnya belum seluruhnya terpenuhi. Di samping itu selama ini diam-diam sudah juga terjadi: ada dokter baru yang langsung diambil untuk tenaga asisten atau mengambil spedalisasi -- dan tidak ke Puskesmas yang seharusnya menjadi kewajibannya. Akan Pensiun Apakah kebijaksanaan diam-diam untuk menarik dokter baru untuk tenaga pengajar di FK yang kini diributkan itu hanya untuk melegalisir kenyataan yang memang sudah berlangsung lama? "Bagaimana pun tenaga untuk Puskesmas tetap merupakan prioritas utama", ucap Dody Tisna Amidjaja. Namun kebutuhan untuk tenaga adstend juga dibenarkan oleh kalangan fakultas kedoktelian. "Terlalu banyak staf pengajar FKUI yang merangkap" ucap dr Tumbelaka Pejabat Dekan UI. Maksudnya, sambii menunjuk dirinya yang mestinya aktif di pendidikan bagian anak, karena menjadi Pembantu Dekan bidang Akademis (sekarang bahkan merangkap Pejabat Dekan), para pengajar mengalami kekurangan waktu. Belum lagi yang sudah akan Pensiun. "Semuanya kan Perlu tenaga pengganti ujar Tumbelaka lagi. Apakah kebijaksanaan tersebut bakal dilaksanakan? Menurut Dody, persoalannya masih akan dibicarakan. "Sebab yang dikatakan pak Samaun Samadikun itu baru rencana, dan belum suatu keputusan yang segera dilaksanakan", ucap Dirjen Pendidikan Tinggi. Tapi kenapa sudah ada pengumuman?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus